Kabar gembira, uji terbang pesawat CN235-200 FTB menggunakan campuran bahan bakar bioavtur J2.4 berhasil dilakukan. J2.4 sendiri adalah bahan bakar campuran bioavtur yang dihasilkan dari bahan baku 2 persen dan 2,4 persen minyak inti sawit atau refined bleached degummed palm kernel oil (RBDPKO) dengan menggunakan katalis merah putih.
Produk bioavtur J2.4 ini diproduksi di kilang Cilacap Pertamina. Dilansir dari katadata.co.id, Corporate Secretary Subholding Refining & Petrochemical Pertamina, Ifki Sukarya mengatakan bahwa melalui tahap pengembangan yang komprehensif, Bioavtur J2.4 terbukti menunjukkan performa yang setara dengan bahan bakar avtur fosil.
BACA JUGA: Asia Tenggara Tekor Rp952 Kuadriliun Jika Abai Terhadap Krisis Iklim, Kalau Indonesia Tekor Berapa?
“Performa Bioavtur sudah optimal. Perbedaan kinerjanya dengan avtur fosil hanya 0,2-0,6%. Bioavtur J2.4 mengandung nabati 2.4%, ini merupakan pencapaian maksimal dengan teknologi katalis yang ada,” kata Ifki dalam keterangan tertulis, Rabu (8/9).
Dalam sejarahnya, pengembangan Bioavtur J2.4, yang dimulai pada 2014, dilakukan melalui dua tahap penting. Tahap awal pengembangan dilakukan oleh anak usaha Pertamina, PT Kilang Pertamina Internasional unit Dumai, melalui distillate hydrotreating unit (DHDT).
Pada tahap pertama ditandai dengan proses ‘hydrodecarboxylation’, di mana target awalnya adalah produksi diesel biohidrokarbon dan bioavtur dalam skala laboratorium. Sedangkan, tahap kedua ditandai dengan proses ‘hydrodeoxygenation’, di mana perusahaan berhasil memproduksi diesel biohidrokarbon yang lebih efisien.
Puncaknya, pada 2020, Kilang Dumai berhasil memproduksi diesel biohidrokarbon D-100 yang 100% berasal dari bahan baku nabati.
BDPO merupakan minyak kelapa sawit yang sudah melalui proses penyulingan untuk menghilangkan asam lemak bebas serta penjernihan untuk menghilangkan warna dan bau. Tahap awal tersebut menjadi langkah penting pengembangan green product termasuk green diesel dan bioavtur.
Benarkah Bahan Bakar Nabati Dapat Atasi Krisis Iklim
Sejalan dengan upaya pemerintah Indonesia dalam mengatasi krisis iklim, penggunaan bahan bakar nabati dianggap sebagai salah satu cara untuk beralih dari energi kotor menuju energi bersih yang ramah lingkungan.
BACA JUGA: Pakar Sebut Bumi Kita Makin Redup Akibat Krisis Iklim, Begini Penjelasannya!
Dalam dokumen Long-term Strategy on Low Carbon and Climate Resilience 2050 (LTS-LCCR 2050) disebutkan bahwa bahan bakar nabati merupakan salah satu langkah efisien dalam melakukan dekarbonisasi dengan penggunaannya sebagai bahan bakar transportasi sehingga memungkinkan sektor energi untuk mencapai pengurangan emisi yang signifikan.
“Sumber energi utama untuk transportasi adalah biofuel, bahan bakar minyak dan listrik. Target mitigasi di bidang transportasi akan dicapai dengan: (i) elektrifikasi transportasi; (ii) memasok lebih banyak bahan bakar nabati untuk pengganti diesel (asam lemak metil-ester dan bio-hidrokarbon atau diesel hijau); dan (iii) pengganti bensin (bioetanol dan bensin berbasis CPO). Sejak 10 tahun terakhir pemerintah telah memperkenalkan biofuel yang terbuat dari CPO, yang dicampur dengan minyak solar dan disebut B20 (20% biodiesel ditambah 80% solar minyak bumi).” Dikutip dari LTS LCCR 2050. [ ]
Terkait dengan hal ini, Direktur Eksekutif Yayasan Madani Berkelanjutan, Nadia Hadad dalam diskusi virtual “Menakar Aktualisasi Kebijakan Bahan Bakar Nabati Nasional Guna Mencapai Komitmen Iklim Indonesia” (07/09/2021), mengatakan Indonesia merupakan salah satu negara yang serius dalam mengembangkan bahan bakar nabati atau BBN yang dibuktikan dengan adanya kebijakan energy mix policy atau bauran energi sejak 2006.
Di mana dorongan awalnya adalah untuk mencapai kedaulatan energi dan peningkatan ekonomi terutama melepaskan ketergantungan dari energi fosil dan menjadi salah satu strategi penurunan emisi gas rumah kaca nasional.
BACA JUGA: Krisis Iklim Mengancam Sejumlah Profesi dan Pekerjaan Masyarakat, Ini Alasannya!
Namun, menurut Nadia, pengembangan produk bahan bakar nabati ini masih melalui tantangan karena masih didominasi satu komoditas, yakni sawit.
“Strategi kebijakan BBN sudah tertuang dalam Nationally Determined Contribution (NDC) Indonesia serta strategi pencapaian net zero emission. Namun, tantangan dari pengembangan BBN nasional masih cukup didominasi oleh satu komoditas, yakni sawit,” ujar Nadia.
Dalam pengembangan bahan bakar nabati salah satunya bioavtur, memperhatikan komoditas lain harus menjadi solusi karena jika bertumpu pada satu komoditas saja, apalagi itu adalah sawit maka sisi keberlanjutan demi mengatasi krisis iklim patut menjadi perhatian. Hal ini karena masih banyak pekerjaan rumah yang masih harus diselesaikan dalam urusan tata kelola sawit di tanah air. [ ]