Dilansir dari beritasatu, tahun 2021 adalah tahun terpanas kelima yang tercatat sejak tahun 1850. Para ilmuwan Uni Eropa (UE) mengatakan tingkat karbon dioksida dan metana yang menghangatkan planet di atmosfer mencapai titik tertinggi baru.
Seperti dilaporkan Al Jazera, Layanan Perubahan Iklim Copernicus (C3S) UE menyatakan dalam satu laporan pada Senin (10/1/2022) bahwa tujuh tahun terakhir adalah yang terpanas di dunia “dengan margin yang jelas” dalam catatan sejak tahun 1850. Suhu global rata-rata pada tahun 2021 adalah 1,1-1,2 Celsius di atas level tahun 1850-1900.
Tahun-tahun terpanas dalam catatan Layanan Perubahan Iklim Copernicus (C3S) UE adalah 2020 dan 2016.
Negara-negara yang berkomitmen berdasarkan Perjanjian Paris 2015 untuk mencoba membatasi kenaikan suhu global hingga 1,5 Celsius, tingkat yang dikatakan para ilmuwan akan menghindari dampak terburuknya. Perjanjian itu akan menargetkan emisi untuk kira-kira berkurang setengahnya pada tahun 2030.
BACA JUGA: Sri Mulyani Klaim RI Dihormati Karena Tak ‘Omdo’ soal Perubahan Iklim
Karena emisi gas rumah kaca mengubah iklim planet, tren pemanasan jangka panjang terus berlanjut. Perubahan iklim memperburuk banyak peristiwa cuaca ekstrem yang melanda dunia pada tahun 2021, dari banjir di Eropa, Tiongkok dan Sudan Selatan, hingga kebakaran hutan di Siberia dan Amerika Serikat.
“Tahun 2021 adalah satu lagi tahun suhu ekstrem dengan musim panas terpanas di Eropa, gelombang panas di Mediterania, belum lagi suhu tinggi yang belum pernah terjadi sebelumnya di Amerika Utara,” ungkap Direktur CS3 Carlo Buontempo.
“Peristiwa ini adalah pengingat yang jelas tentang perlunya mengubah cara kita, mengambil langkah tegas dan efektif menuju masyarakat yang berkelanjutan dan bekerja untuk mengurangi emisi karbon bersih,” bunyi peringatan Buontempo.
Tingkat global CO2 dan metana, gas rumah kaca utama, terus meningkat, dan keduanya mencapai rekor tertinggi pada tahun 2021.
“Tingkat CO2 di atmosfer mencapai 414,3 bagian per juta pada tahun 2021, naik sekitar 2,4 ppm dari tahun 2020,” kata para ilmuwan.
C3S menyatakan tingkat metana, gas rumah kaca yang sangat kuat, telah melonjak dalam dua tahun terakhir, tetapi alasan mengapa tidak sepenuhnya dipahami. Emisi metana berkisar dari produksi minyak dan gas dan pertanian hingga sumber alami seperti lahan basah.
Setelah penurunan sementara pada tahun 2020 pada awal pandemi Covid-19, data sementara menunjukkan emisi CO2 global meningkat sebesar 4,9% pada tahun 2021.
Musim panas lalu adalah rekor terpanas di Eropa, kata CS3, menyusul Maret yang hangat dan April yang luar biasa dingin yang telah menghancurkan tanaman buah-buahan di negara-negara termasuk Prancis dan Hongaria.
BACA JUGA: Relevansi SDGs di Tengah Krisis Iklim
Pada Juli dan Agustus, gelombang panas Mediterania memicu kebakaran hutan yang hebat di negara-negara termasuk Turki dan Yunani. Sisilia menetapkan suhu tertinggi baru di Eropa sebesar 48,8 Celsius, rekor yang menunggu konfirmasi resmi.
Pada bulan Juli, lebih dari 200 orang tewas ketika hujan deras memicu banjir mematikan di Eropa barat. Para ilmuwan menyimpulkan bahwa perubahan iklim telah membuat banjir setidaknya 20% lebih mungkin terjadi.
Dalam Pakta Iklim Glasgow, anggota PBB menegaskan pada bulan November bahwa negara-negara ingin menghentikan pemanasan global pada 1,5 derajat Celsius dibandingkan dengan masa pra-industri. Namun, para ahli iklim mengatakan bahwa pakta itu tidak cukup jauh, terutama dalam membantu melindungi negara-negara yang rentan dari efek pemanasan global.
Sumber: Beritasatu.com