Joe Biden Effect benar-benar nyata, buktinya belum lama resmi memimpin Amerika Serikat (AS), Joe Biden seketika langsung menegaskan perintah eksekutifnya untuk peduli terhadap kondisi lingkungan bahkan salah satunya membawa kembali negaranya pada komitmen iklim dunia atau Paris Agreement (Persetujuan Paris). 

Kembalinya AS kepada Persetujuan Paris jelas merupakan angin segar, bagaimana tidak, negara super power ini bukan hanya kuat secara ekonomi dan politik, tapi juga merupakan negara penyumbang emisi karbon terbesar kedua di dunia setelah China. Tercatat Negeri Paman Sam ini berkontribusi atas emisi karbon sebesar 5.414 juta metrik ton emisi karbon dioksida per tahun.  Berdasarkan laporan “Keadaan Udara” American Lung Association 2018, menyebut bahwa lebih dari 133,9 juta orang AS tinggal di daerah dengan tingkat pencemaran udara yang tidak sehat. 

Dengan kekuasaannya, kebijakan Donald Trump yang sangat eksploitatif terhadap sumber daya alam dibuat jungkir balik. Joe Biden meneken serangkaian perintah eksekutif yang dirancang khusus untuk pengendalian krisis iklim, termasuk larangan energi yang berasal dari perut bumi. Perintah eksekutif bertujuan untuk membekukan kontrak pengeboran minyak dan gas di tanah milik pemerintah federal, serta melipatgandakan energi terbarukan tenaga angin di lepas pantai pada 2030 mendatang.

BACA JUGA: Surat Terbuka untuk Joe Biden

Oleh karena itu, selain sebagai penanda kembalinya AS ke Paris Agreement, Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Perubahan Iklim atau Leaders Summit on Climate yang diselenggarakan secara virtual pada Kamis, 22 April 2021 yang lalu juga harus diartikan sebagai momentum untuk memperkuat komitmen iklim dunia.

Lantas, apakah Indonesia mampu menangkap peluang dari Joe Biden Effect ini?

Dalam Konferensi yang diikuti oleh 41 kepala negara, kepala pemerintahan, dan ketua organisasi internasional ini, banyak negara telah menyampaikan komitmen yang begitu serius dan ambisius bahkan optimis bahwa negaranya akan berkontribusi besar dalam upaya melawan krisis. Seperti halnya, Brasil yang memiliki hutan hujan tropis terluas di dunia berkomitmen mencapai netralitas karbon pada tahun 2050.

Dilansir dari Media Berita Satu, dalam Leaders Summit on Climate, Presiden RI Joko Widodo atau Jokowi menyampaikan tiga pemikiran terkait dengan isu perubahan iklim. Pertama, Jokowi menegaskan Indonesia sangat serius dalam pengendalian perubahan iklim dan mengajak dunia untuk melakukan aksi-aksi nyata. Sebagai negara kepulauan terbesar dan pemilik hutan tropis, penanganan perubahan iklim adalah kepentingan nasional Indonesia. Melalui kebijakan, pemberdayaan, dan penegakkan hukum, laju deforestasi Indonesia saat ini turun terendah dalam 20 tahun terakhir.

Penghentian konversi hutan alam dan lahan gambut mencapai 66 juta hektare, lebih luas dari gabungan luas Inggris dan Norwegia. Penurunan kebakaran hutan hingga sebesar 82 persen di saat beberapa kawasan di Amerika, Australia, dan Eropa mengalami peningkatan terluas,” kata Jokowi.

Kedua, Jokowi mengajak para pemimpin untuk memajukan pembangunan hijau untuk dunia yang lebih baik. Menurutnya, Indonesia telah memutakhirkan kontribusi yang ditentukan secara nasional (nationally determined contributions/NDC) untuk meningkatkan kapasitas adaptasi dan ketahanan iklim.

Ketiga, untuk mencapai target Persetujuan Paris dan agenda bersama berikutnya, Presiden Jokowi memandang bahwa kemitraan global harus diperkuat. Kesepahaman dan strategi perlu dibangun di dalam mencapai net zero emission dan menuju UNFCCC COP-26 Glasgow. 

BACA JUGA: Setelah Joe Biden Bawa Amerika Kembali ke Paris Agreement

Namun, pidato yang disampaikan Jokowi pada KTT Perubahan Iklim tersebut dinilai tidak optimis. Menurut Yayasan Madani Berkelanjutan, Indonesia telah kehilangan kesempatan untuk memimpin penyelamatan iklim dunia. Dalam pidato yang disampaikan Presiden Joko Widodo, Indonesia terkesan tidak berani untuk lebih optimis menunjukkan komitmen yang ambisius dalam mencapai net zero emission sebelum 2050. 

Strategic Engagement Director Yayasan Madani Berkelanjutan, Nadia Hadad mengatakan bahwa seharusnya Leaders Summit on Climate ini dapat menjadi momentum bagi Indonesia untuk memimpin negara-negara lain di dunia untuk mengatasi krisis iklim, serta menjadi momentum bagi Indonesia untuk menyampaikan pencapaian netral karbon di 2050 sebagaimana target di dalam Persetujuan Paris.

Indonesia dinilai punya kekuatan yang lebih besar untuk melawan krisis iklim sehingga target dari Persetujuan Paris dapat dengan mudah tercapai. Apalagi jika berhasil membuktikan kemampuan Indonesia pada saat KTT Perubahan Iklim, maka Indonesia jelas akan mendapatkan manfaat dari Joe Biden Effect ini karena layak memimpin banyak negara di dunia dalam upaya melawan krisis iklim. Lantas, apakah Indonesia gagap menangkap peluang itu? []