Niat pemerintah untuk mengatur nilai ekonomi karbon (NEK) dalam peraturan presiden memang merupakan langkah yang progresif demi mencapai target nationally determined contribution (NDC) dan pembangunan rendah karbon. Tapi, masih banyak hal yang perlu mendapat perhatian, salah satunya mengakomodir keterlibatan masyarakat.
Pasalnya, tidak sedikit proyek karbon di dunia yang kerap mengorbankan hak-hak masyarakat, khususnya masyarakat adat dan lokal. Salah satunya adalah proyek waduk pembangkit tenaga listrik di Barro Blanco, Panama yang merupakan salah satu proyek clean development mechanism.
Kejadian senada pun kerap terjadi di dalam negeri. Banyak proyek yang sering mengabaikan hak-hak masyarakat adat dan lokal, salah satunya bisa dilihat dalam Kalimantan Forest and Climate Partnership di Kalimantan Tengah.
BACA JUGA: Bagaimana Perhutanan Sosial Berkontribusi pada Penurunan Emisi
Untuk mencegah hal-hal ini, masyarakat sipil, termasuk Yayasan Madani Berkelanjutan, menilai diperlukan adanya safeguards sosial dan lingkungan berbasis hak, dibentuknya mekanisme keluhan yang dijalankan oleh lembaga independen hingga partisipasi para pihak dalam perencanaan dan pelaksanaan proyek karbon. Jika tidak, maka masyarakat berpeluang semakin termarjinalkan.
Untuk melaksanakan hal itu semua, penting agar konsultasi dengan masyarakat adat dan lokal dikedepankan. Hal ini bukan hanya bermanfaat memastikan keberlanjutan proyek karbon saja, tapi juga agar dampak negatif proyek terhadap masyarakat bisa diperkecil.
Sebenarnya, keuntungan melibatkan masyarakat bisa dilihat dari pembayaran REDD+ dari green climate fund periode 2014-2016. Dalam proposal yang disusun pemerintah, tercantum dua kebijakan utama yang berkontribusi terhadap penurunan emisi dan dari deforestasi dan degradasi, yaitu kebijakan moratorium hutan dan perhutanan sosial.
Dengan memasukkan kebijakan perhutanan sosial ini, maka dengan sendirinya pemerintah dan GCF mengakui kalau keberhasilan mengurangi emisi dan menjaga stok karbon di dalam hutan tidak bisa lepas dari peran masyarakat setempat. Maka dari itu, implementasi NEK ini pun sepatutnya memfasilitasi masyarakat adat dan lokal.
Pengaturan tentang offset
Sektor kehutanan Indonesia memiliki nilai ekonomi yang sangat besar jika berhasil dijaga dari kerusakan. Mengutip mongabay.co.id, berdasarkan perhitungan rata-rata, kandungan karbon dari hutan saja mencapai 200 ton C per hektare. Lalu ada juga kandungan karbon dalam mangrove (termasuk soil karbon mencapai 1.082,6 ton C per hektare, gambut yang mencapai 460 ton C per hektare hingga hutan gambut primer yang mencapai 1.385,2 ton per hektare.
Akan tetapi, potensi karbon ini bisa disalahgunakan jika pengaturan NEK tidak dilakukan dengan baik. Maka dari itu, masyarakat sipil memberi perhatian khusus terhadap pencantuman offset sebagai salah satu mekanisme perdagangan karbon bersama dengan cap and trade.
Pencantuman mekanisme offset ini dinilai bisa digunakan oleh aktor-aktor yang tidak dapat memenuhi pengurangan emisi mereka dengan upaya sendiri. Hal ini bisa terjadi kalau kredit karbon dari sektor hutan dan lahan akan diperbolehkan untuk meng-offset emisi dari pembakaran bahan bakar fosil.
Kekhawatiran terhadap mekanisme offset ini sendiri sebenarnya juga pernah mengemuka dalam konsultasi publik RanPerpres Instrumen NEK yang dihelat bulan Desember 2020 lalu. Disebutkan kalau offset justru berisiko melemahkan pencapaian target NDC jika dilakukan untuk memenuhi kewajiban pengurangan emisi atau memenuhi batas atas emisi yang telah ditetapkan.
BACA JUGA: Menanti Perpres Nilai Ekonomi Karbon yang Mumpuni
Offset lintas sektor, seperti misalnya antara hutan dan lahan dengan energi fosil, juga mengandung risiko pembalikan karena ketidakpastian pengurangan emisi di sektor hutan dan lahan. Karena pengurangan emisi di sektor hutan dan lahan bisa berubah jika terjadi bencana alam seperti karhutla.
Oleh karena itu, mekanisme offset ini sebaiknya tidak dicantumkan dalam Perpres NEK nantinya. Kalaupun ada, offset sebaiknya hanya bersifat tambahan/additional setelah kewajiban pengurangan emisi terpenuhi di sektor lain.
Peran BPDLH
Ekosistem pasar karbon yang akan terbangun diyakini berbagai kalangan turut berperan dalam mendukung upaya pencapaian target NDC. Salah satu yang menarik diperhatikan adalah bagaimana nantinya peran Badan Pengelola Dana Lingkungan Hidup (BPDLH) di kancah pasar karbon.
Harapan akan peran BPDLH ini dalam pasar karbon sebelumnya pernah disuarakan oleh Wakil Menteri Keuangan Suahasil Nazara dalam ajang EBTKE Conex 2019 lalu. Dirinya menyebut BPDLH harus mampu menjadi standby buyer bagi perdagangan karbon nusantara.
Dengan peran tersebut, maka BPDLH dimungkinkan untuk membeli karbon di kisaran harga dasar jika pihak penjual merasa harga yang diperoleh di Indonesia tidak kompetitif dibandingkan biaya administrasi. Nantinya, ketika stok karbon yang dicatat BPDLH sudah memenuhi target NDH, mereka kemudian layak memperdagangkan karbon di pasar internasional maupun domestik.
Peneliti di Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan, Joko Tri Haryanto, mencatat dengan melakukan aktivitas tersebut maka BPDL bisa memperhitungkan selisih harga beli dan jual untuk memupuk laba yang bisa dikembalikan sebagai operasional membesarkan bisnis badan tersebut sekaligus memperbaiki harga dasar pembelian karbon. Tidak lupa, BPDLH juga wajib memperbarui rujukan harga karbon dalam satu periode tertentu.
Meskipun demikian, masih banyak ada pekerjaan rumah yang harus diselesaikan dalam pembentukan BPDLH ini. Salah satunya adalah memberikan ruang bagi keterwakilan masyarakat sipil, masyarakat adat dan lokal dalam struktur organisasi.
Karena sebagaimana yang sudah disebutkan di atas, masyarakat menjadi satu kunci penting dalam pelaksanaan proyek karbon. Tidak hanya itu, masyarakat pun merupakan aktor yang paling merasakan dampak dari proyek tersebut di tingkat tapak.
BPDLH yang memiliki peran sebagai fund manager pun akan berhubungan dengan masyakarat. Sehingga, keterwakilan dan akses pendanaan yang disederhanakan bagi masyarakat menjadi satu hal yang penting untuk diakomodir dalam BPDLH.