Pemilihan Kepala Daerah (pilkada) merupakan satu bentuk pesta demokrasi yang wajib dijalani dalam kurun 5 tahun sekali. Namun, praktiknya perlu diawasi dan dikawal ketat, karena ada peluang mengganggu implementasi adaptasi dan mitigasi perubahan iklim sebagaimana yang tertuang dalam dokumen Nationally Determined Contribution (NDC).
Yayasan Madani Berkelanjutan mencatat bagaimana deforestasi atau penggundulan hutan serta kebakaran hutan dan lahan (karhutla) sering meningkat sebelum, saat dan setelah pilkada. Tahun 2020 saja, daerah yang mengadakan pilkada serentak memiliki luas hutan alam yang mencapai 60,05 juta hektare atau 67,72% dari keseluruhan hutan alam Indonesia yang tercatat pada 2019.
Angka tersebut menjadi krusial mengingat sektor kehutanan merupakan ujung tombak dalam komitmen iklim Indonesia. Tercatat, ada 17,2% dari 29% penurunan emisi yang diemban oleh sektor kehutanan dalam NDC.
Berdasarkan catatan Madani, beberapa ancaman risiko deforestasi dan degradasi kawasan hutan ini berasal dari fungsi dan status kawasan tersebut yang sudah ditujukan untuk pembangunan non-kehutanan serta potensi obral izin karena kawasan berada di luar perlindungan kebijakan penghentian izin baru. Selain itu, beberapa kawasan juga ada yang berada di dalam area penggunaan lain (APL) hingga berada di dalam wilayah izin/konsesi.
BACA JUGA: Rapor Penurunan Emisi Indonesia
Pilkada serentak 2020 ini sendiri melibatkan 9 provinsi, yaitu Kalimantan Tengah, Kalimantan Utara, Sulawesi Tengah, Sumatera Barat, Jambi, Kalimantan Selatan, Bengkulu, Sulawesi Utara dan Kepulauan Riau. Dari 9 provinsi ini, terdapat 21,7 juta hektare hutan alam yang tersisa.
12,5 juta hektare di antaranya berisiko mengalami deorestasi dan degradasi terencana. Rinciannya ialah 1,65 juta hektare berada di luar kawasan hutan (APL), 794 ribu hektare berada di kawasan Hutan Produksi Konservasi, 3,45 juta hektare di kawasan Hutan Produksi dan 6,57 juta hektare berada di Kawasan Hutan Produksi Terbatas.
Peran Kepala Daerah
Untuk memastikan agar pilkada tetap sejalan dengan komitmen iklim, tentu dibutuhkan kepala daerah yang menjadikan isu kehutanan sebagai prioritas kerjanya. Terutama di wilayah dengan hutan alam dan gambut yang asri.
Kepala daerah harus bisa melihat bagaimana hutan alam dan ekosistem gambut yang luas di daerahnya sebagai aset atau pembawa peluang, alih-alih liabilitas atau pembawa risiko. Jika mereka jeli, maka hutan alam dan gambut yang dilindungi bisa jadi peluang untuk mengakses berbagai inovasi pendanaan dan skema insentif berbasis lingkungan.
Dana-dana tersebut telah tersedia atau bahkan sedang dikembangkan. Antara lain Transfer Anggaran ke Daerah dan Dana Desa, Hibah Dalam dan Luar Negeri terkait skema Reducing Emissions from Deforestation and Degradation atau REDD+, Skema Keuangan dan Investasi Hijau, Instrumen Nilai Ekonomi Karbon serta Kompensasi/Imbal Jasa Lingkungan Hidup.
Untuk mengakses berbagai pendanaan itu, diperlukan penguatan perencanaan pembangunan daerah. Dalam hal ini, kepala daerah bisa melakukan beberapa langkah untuk meminimalisasi risiko ekonomi, politik dan sosial akibat merosotnya kualitas aset alam di wilayah mereka.
BACA JUGA: Adaptasi NDC, Payung yang Bisa (Jadi) Menyelamatkan Bumi
Setidaknya ada tiga langkah yang bisa didorong pemerintah daerah. Yaitu memperkuat perencanaan pembanguann dan penganggaran daerah dengan menerapkan prinsip pembangunan ekonomi tanpa merusak alam, mengedepankan perlindungan gambut sebagai pembangunan ekonomi daerah serta menjadikan publik atau masyarakat adat sebagai mitra pembangunan.
Berpegang pada peta jalan
Pilkada ini bisa dijadikan momen untuk meminimalisasi risiko bencana di daerah dan meningkatkan daya saing daerah untuk mewujudkan pembangunan ekonomi berkualitas asalkan kepala daerah terpilih mampu melindungi dan mengelola hutan alam dan ekosistem gambut. Meskipun demikian, pilkada tidak hanya terjadi pada tahun 2020 saja.
Berdasarkan periode berlakunya NDC pada 2020-2030, apa yang dialami di 2020 ini akan berulang pada tahun 2025. Belum lagi dengan daerah lain yang juga mengadakan pilkada, bisa dipastikan tiap tahun NDC akan mengalami tantangan politik yang sama.
Untuk itulah, kepala daerah dan semua pihak harus berpegang pada peta jalan NDC baik mitigasi dan adaptasi. Pasalnya, dalam kedua dokumen ini jelas disebutkan aturan main pengelolaan kawasan hutan, batasan deforestasi hingga pengurangan emisi secara spesifik per tahunnya.
Yang perlu diingat, dalam peta jalan disebutkan kalau luas lahan yang masih dapat dikonversi untuk mencapai target NDC pada tahun 2018-2030 adalah sebesar 3,963 juta hektare. Jika ingin mencapai target pengurangan emisi 41%, maka batas hutan yang bisa dikonversi dipersempit menjadi 0,845 juta hektare.
Dalam dokumen peta jalan NDC disebutkan kalau strategi penurunan emisi dari deforestasi dapat dilakukan dengan mencegah konversi hutan yang sudah direncanakan dan yang tidak direncanakan (planned and unplanned deforestation). Planned deforestation sendiri merupakan kegiatan konversi hutan alam yang secara hukum diperbolehkan sesuai izin usaha. Sementara unplanned deforestation merupakan kegiatan konversi hutan terlarang seperti perambahan.
Ironisnya, dalam kajian Madani disebutkan kalau hutan alam seluas 2,6 juta hektare di 9 provinsi peserta pilkada serentak 2020 berada dalam kondisi terancam. Hal ini karena ada potensi obral izin sebelum, selama dan setelah pilkada.
BACA JUGA: Bagaimana Perhutanan Sosial Berkontribusi pada Penurunan Emisi
Tidak hanya itu, dalam kajian madani juga disebutkan kalau 1,2 juta hektare kawasan hutan alam daerah pilkada serentak 2020 sangat terancam deforestasi terencana karena berada di APL. sementara 2,6 juta hektare sudah berada di izin/konsesi yang kegiatannya tentu akan menyebabkan deforestasi.
Di sinilah kembali diingatkan bagaimana peran kepala daerah menjadi penting. Karena itu, sebagaimana tertulis di dalam peta jalan NDC, diperlukan inovasi dan program baik berupa kebijakan optimasi kawasan, insentif untuk pemilik konsesi yang mengonservasi area mereka yang masih berhutan hingga peraturan pelarangan penebagan area berhutan alam.