Sumber emisi gas rumah kaca Indonesia penyebab pemanasan global berasal dari energi, pertanian, limbah, IPPU, FOLU dan kebakaran hutan. Program pemanfaatan bahan bakar nabati (BBN) bertujuan untuk menurunkan emisi gas rumah kaca (GRK) dari sektor energi dan transportasi. Berdasarkan hasil uji Direktorat Jenderal EBTKE pada 2014, kendaraan berbahan bakar B20 menghasilkan emisi karbon yang lebih rendah dibandingkan BBM.
Uji coba itu menunjukkan angka kualitas pembakaran solar (cetane) dan kandungan oksigen dalam B20 lebih tinggi. Hal itu membuat mesin kendaraan melakukan pembakaran lebih sempurna sehingga emisi total hydrocarbon (THC) yang dihasilkan pun lebih rendah.
Namun menurut Greenpeace Indonesia, program biodiesel justru tidak efektif dalam pengurangan emisi gas rumah kaca. Produksi minyak sawit sebagai bahan baku BBN justru berpotensi meningkatkan emisi. Indonesia merupakan negara dengan lahan panen CPO terluas di dunia. Berdasarkan data Departemen Pertanian Amerika Serikat (USDA) luas lahan tanaman menghasilkan (mature) kelapa sawit Indonesia diperkirakan mencapai 11,75 juta ha pada 2019. Jumlah ini setara 49,5% dari total lahan sawit dunia.
BACA JUGA: Ekspansi Sawit Ancam Kerusakan Hutan dan Tingkatkan Emisi
Luasnya lahan sawit tersebut diikuti pula dengan terjadinya penggundulan dan kebakaran hutan serta lahan setiap tahun yang mengakibatkan deforestasi. Masih banyaknya izin usaha perkebunan sawit di kawasan hutan serta tumpang tindih perizinan pertanahan menjadi ancaman bagi kelestarian hutan hujan tropis di Indonesia yang mampu menyerap emisi gas rumah kaca.
Kasus kebakaran hutan akibat pembukaan lahan perkebunan sawit juga masih terus terjadi. Artinya, emisi karbon pun meningkat. Kalau ada kebakaran lahan gambut karena pembukaan lahan, berarti biodiesel sebenarnya menaikkan emisi, bukan menurunkan.
Tak heran jika perkembangan lahan perkebunan kelapa sawit yang mengarah pada pembukaan hutan dan gambut semakin mengkhawatirkan banyak pihak. Terlebih cara pembakaran hutan untuk pembukaan lahan barunya. Sehingga banyak pihak pun menyebut kelapa sawit sebagai salah satu pendorong utama kerusakan hutan hujan tropis dan meningkatkan emisi gas penyebab pemanasan global.
Menurut kajian The Brenthurst Foundation, industri minyak sawit global menyumbang 85 persen deforestasi (kerusakan hutan) Indonesia dan Malaysia. Lebih dari separuh deforestasi di Kalimantan dikaitkan dengan produksi minyak sawit. Meskipun terlihat “hijau”, perkebunan kelapa sawit menyerap karbon jauh lebih sedikit daripada hutan asli dan merusak keanekaragaman hayati.
Data dari Wetlands International Indonesia, juga menyebutkan hingga 2014 total luas perkebunan sawit di lahan gambut telah mencapai lebih dari 11,5 juta hektare. Artinya emisi gas rumah kaca yang dihasilkan dari perkebunan kelapa sawit pada tahun 2014 mencapai 747,5 juta ton CO2.
Pada awal 2020, penelitian dari Universitas Nottingham menunjukan bagaimana proses konversi hutan gambut ke kebun kelapa sawit bisa memberi sumbangan pada total emisi gas rumah kaca secara global. Penelitian ini menemukan bahwa emisi gas rumah kaca akibat konversi hutan ke kebun kelapa sawit yang terjadi di Asia Tenggara bernilai 0,8% dari nilai total emisi gas rumah kaca seluruh dunia. Atau, setara dengan setengah jumlah emisi industri penerbangan dunia.
Hasil pengukuran penelitian dan data satelit menunjukan total emisi gabungan dari dua negara, Malaysia dan Indonesia, antara 16,6% dan 27,9%, untuk perkebunan kelapa sawit pada lahan gambut. Angka tersebut setara dengan 0,44% hingga 0,74% dari emisi gas rumah kaca dunia per tahun.
Penelitian ini juga menemukan kapan emisi gas rumah kaca lepas saat terjadi proses konversi. Tingkat emisi gas rumah kaca tersebut tertinggi dihasilkan oleh kebun baru (sampai umur lima tahun) dengan pohon sawit muda, atau dua kali lipat dibandingkan dengan kebun lebih lama. Hal ini disebabkan oleh lebih banyak makanan yang diperlukan mikroba saat lahan baru dikonversi.
Sedangkan pada kebun lama sudah banyak kehilangan nutrien dan karbon, maka mikroorganisme akan kekurangan makanan untuk diubah menjadi gas emisi rumah kaca sehingga cenderung menghasilkan emisi gas rumah kaca lebih rendah daripada lahan yang baru dibuka.
BACA JUGA: Kebijakan Kontradiktif yang Mengintai Capaian Penurunan Deforestasi Indonesia
Untuk menurunkan emisi gas rumah kaca nasional, baik di Malaysia maupun di Indonesia, perlu mengubah arah kebijakan terkait perubahan penggunaan lahan gambut sebagai langkah krusial yang patut dilakukan.
Selain meningkatkan emisi gas rumah kaca, ternyata perkebunan sawit juga membawa dampak negatif lainnya seperti pencemaran lingkungan yang mengancam warga sekitar. Menurut kajian Universitas Padjadjaran, dalam proses perkembangan tumbuhan kelapa sawit, para pengelola umumnya menggunakan pupuk dan pestisida, yang mengandung bahan-bahan kimia tertentu, sebagai bentuk intensifikasi agar tumbuhan kelapa sawit itu dapat tumbuh secara optimal dan menghasilkan minyak mentah yang berkualitas.
Pada kasus-kasus tertentu, terjadi galat dalam mekanisme pengelolaan perkebunan kelapa sawit yang menggunakan pupuk dan pestisida tersebut. Karena galat itulah, maka pupuk serta pestisida yang telah digunakan dan terbuang ditangani secara tidak maksimal (tidak benar-benar dibuang berdasarkan prosedur yang berlaku). Sebagian besar yang mengendap ke dalam tanah, atau terbawa oleh air hujan menuju aliran sungai terdekat mengganggu stabilitas ekosistem juga menyebabkan lingkungan warga sekitar hancur, baik sementara atau mungkin selamanya. (Diolah dari berbagai sumber)