Pemilihan kepala daerah (pilkada) serentak di sembilan provinsi, 224 Kabupaten dan 37 kota telah berlangsung pada 9 Desember lalu. Momentum politik ini dapat memengaruhi perlindungan hutan dan gambut yang tersisa, serta komitmen iklim Indonesia di sektor kehutanan.
Kaitan tersebut mengingat daerah-daerah yang melaksanakan pilkada serentak memiliki luas hutan yang signifikan. Hasil kajian Yayasan Madani Berkelanjutan menunjukkan, total hutan alam dari seluruh daerah yang melangsungkan pilkada 2020 seluas 60,053 juta ha dan 13,89 juta ha ekosistem gambut.
Momen politik seperti pilpres atau pilkada sebelumnya, kerap kali diikuti oleh pemberian izin besar-besaran yang menggerus hutan dan ekosistem gambut tersisa. Penggundulan hutan (deforestasi) serta kebakaran hutan dan lahan seringkali meningkat di tahun-tahun sebelum, saat, dan setelah pilkada.
Namun sebenarnya pemimpin daerah yang terpilih memiliki peluang besar untuk mewujudkan ekonomi yang berkualitas dan berkontribusi pada pencapaian komitmen iklim Indonesia. Caranya dengan memberi perhatian lebih pada perlindungan hutan alam dan ekosistem gambut.
BACA JUGA: NDC Indonesia terganjal agenda politik?
Seperti diketahui, Indonesia telah meratifikasi Paris Agreement melalui Undang-Undang No. 16 Tahun 2016 yang mengikat Indonesia untuk wajib menurunkan emisi bersama negara-negara lain di dunia. Dalam dokumen pertama rencana perubahan iklim (First NDC), berisi komitmen target penurunan emisi sebesar 29 persen pada 2030. Tanggung jawab pemenuhan target ini tidak hanya di pundak pemerintah pusat, melainkan juga di tangan pemerintah daerah (pemda).
Pada 2019, luas hutan alam di sembilan provinsi yang melangsungkan pilkada tersisa 21,7 juta ha. Jumlah ini menyusut dibandingkan tahun 2015 dengan luas hutan sebesar 22,4 juta ha. Hutan alam di sembilan provinsi tersebut terancam karena di dalamnya terdapat banyak konsesi minerba, perkebunan sawit dan Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu.
Padahal, hilangnya hutan tak hanya mengancam sumber kehidupan, melainkan juga berkaitan erat dengan meningkatnya bencana alam seperti banjir dan longsor. Selain telah menyusut, sejumlah hutan alam Indonesia berada dalam risiko tinggi deforestasi, degradasi, maupun bentuk eksploitasi lainnya.
Di tingkat provinsi misalnya, terdapat 12,5 juta ha hutan alam dalam risiko tersebut yang tersebar di Provinsi Kalimantan Tengah, Kalimantan Utara dan Sulawesi Tengah. Luasan tersebut setara dengan 22 kali Pulau Bali.
Sedangkan di tingkat kabupaten, setidaknya ada 11,9 juta hektare hutan alam di Kabupaten Malinau, Boven Digoel, Merauke, dan Berau yang terancam serius.
BACA JUGA: Rapor Penurunan Emisi Indonesia
Pemda juga harus berupaya mencegah terjadinya karhutla, terutama daerah yang memiliki ekosistem gambut yang cukup luas. Di antaranya, Provinsi Kalimantan Tengah dan Jambi yang memiliki ekosistem gambut terluas, masing-masing 4,7 juta ha dan 865,2 ribu ha. Dua provinsi tersebut mengalami karhutla pada 2015-2019 dengan jejak terbakar masing-masing seluas 56,8 ribu ha dan 50,5 ribu ha.
Daerah lain yaitu Kabupaten Pelalawan, Rokan Hilir, dan Bengkalis yang memiliki ekosistem gambut terluas, yakni masing-masing 745,8 ribu ha, 648,4 ribu ha, dan 620,2 ribu ha. Kabupaten Rokan Hilir dan Bengkalis mengalami karhutla pada 2015-2019 seluas masing-masing 68,8 ribu ha dan 65,5 ribu ha. Sementara Pelalawan berada di peringkat ke-6 dengan jejak terbakar di ekosistem gambut seluas 42,3 ribu ha.
Pemda yang berkomitmen pada lingkungan juga mendapat peluang untuk mengakses berbagai inovasi pendanaan atau skema insentif berbasis lingkungan, baik yang telah tersedia maupun yang sedang dikembangkan.
Skema insentif tersebut antara lain transfer anggaran ke daerah dan Dana Desa, hibah dalam dan luar negeri terkait program Pengurangan Emisi dari Deforestasi dan Degradasi (Reducing Emissions from Deforestation and Degradation/REDD+), skema keuangan dan
investasi hijau, instrumen nilai ekonomi karbon, serta kompensasi jasa lingkungan hidup sebagai salah satu instrumen ekonomi lingkungan hidup.
Peluang Pasca-UU Cipta Kerja
Terlepas dari terbitnya UU No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja yang memangkas beberapa kewenangan pemda, masih ada sejumlah peluang yang bisa digunakan pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten untuk melindungi hutan dan ekosistem gambut.
Tiga hal utama yang bisa dilakukan pemda yakni: pertama, memperkuat perencanaan pembangunan dan penganggaran daerah tanpa merusak alam. Ini bisa dilakukan dengan menyusun perencanaan pembangunan yang kuat berdasarkan Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS); menjadikan perlindungan hutan alam dan ekosistem gambut sebagai indeks kinerja utama; dan melakukan penandaan terhadap perencanaan dan penganggaran daerah berdasarkan kinerja ekologis.
Kedua, mengutamakan strategi perlindungan hutan dan ekosistem gambut sebagai garda terdepan pembangunan ekonomi daerah. Caranya antara lain dengan memasukkan hutan alam yang berada di area penggunaan lain sebagai kawasan yang dilindungi dalam RTRW dan RDTR daerah; menghentikan pemberian izin berusaha di hutan alam dan ekosistem gambut; menyusun strategi diversifikasi ekonomi daerah agar tidak bergantung pada sumber daya ekstraktif.
BACA JUGA: Perdagangan Karbon Jangan Abaikan Masyarakat Adat dan Lokal
Ketiga, menjadikan publik khususnya masyarakat adat dan masyarakat di sekitar investasi sebagai mitra utama pembangunan. Ini bisa dilaksanakan dengan mempercepat pengakuan hak-hak masyarakat adat dan memasukkan perhutanan sosial sebagai salah satu program prioritas dalam perencanaan pembangunan dan penganggaran daerah.
Apabila kepala daerah terpilih mampu melindungi hutan alam serta ekosistem gambut, pilkada serentak 2020 dapat menjadi momentum untuk meminimalkan risiko bencana di daerah dan mewujudkan pembangunan ekonomi yang berkualitas. Pada akhirnya pemerintah daerah dapat berkontribusi besar pada pencapaian komitmen iklim Indonesia pada tahun 2030.***