Dilansir dari Kompas.id, Masa depan produksi pangan global terancam karena kenaikan suhu akan berdampak tidak hanya pada merosotnya produtivitas tanaman, tetapi juga kapasitas fisik petani untuk bekerja di sektor pertanian. Di Indonesia, fenomena ini telah terjadi di Berau, Kalimantan Timur, di mana petani harus bekerja pada dini hari dan sore hingga malam hari untuk menghindari terik matahari.

Dampak pemanasan global terhadap sektor pangan sering kali hanya dilihat dari menurunnya produktivitas tanaman akibat paparan suhu ekstrem. Laporan terbaru tentang hal ini misalnya dirilis oleh para peneliti dari Cornell Atkinson Center for Sustainability, The Environmental Defense Fund (EDF) dan Kansas State University pada Jumat (19/1/2024).

Dalam laporan kebijakan ini disebutkan, untuk setiap pemanasan 1 derajat celsius, hasil panen tanaman utama seperti jagung, kedelai, dan gandum di daerah Kansas akan turun sebesar 16-20 persen. Hal ini akan menurunkan pendapatan kotor pertanian sebesar 7 persen dan pendapatan bersih pertanian anjlok 66 persen.

Dalam laporan ini, para peneliti menyebut ambang batas panas ekstrem yang bisa mengganggu produktivitas jagung, kedelai, dan gandum sebesar 32 derajat celsius. Hasil panen mulai menurun pada suhu tersebut. Dari tahun 1981 hingga 1990, Kansas mengalami 54 hari panas ekstrem, dari 2011 hingga 2020 menjadi 57 hari.

BACA JUGA: Gen Z Cemaskan Perubahan Iklim dan Dampak Bencana yang Ditimbulkan

Penelitian terhadap dampak perubahan iklim terhadap tanaman padi juga telah dilakukan. Menurut laporan peneliti dari Peking University, China dan tim di jurnal Nature Food pada 4 Mei 2023, penyusutan produksi padi di China akibat perubahan iklim bisa mencapai 8,1 persen pada tahun 2100. Selain paparan panas yang bisa memicu kekeringan, penurunan produksi padi juga bisa disebabkan oleh hujan ekstrem akibat perubahan iklim.

Dampak perubahan iklim terhadap produksi padi di Indonesia juga sudah diproyeksikan bakal terjadi. Riset Edvin Adrian dan Elza Surmani dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) menunjukkan, Indonesia dapat kehilangan nilai ekonomi padi rata-rata Rp 42,4 triliun per tahun pada 2051-2080 dan meningkat menjadi Rp 56,45 triliun per tahun pada 2081-2100 (Kompas, 24 November 2022).

Kapasitas fisik petani

Tak hanya produktivitas tanaman, dampak pemanasan global juga bisa memukul petani, yang menjadi penopang produksi pangan. Laporan terbaru kolaborasi para peneliti Amerika Serikat, Inggris, dan Australia ini diterbitkan di jurnal Global Change Biology pada Jumat (19/1/2024). Gerald C Nelson dari University of Illinois menjadi penulis pertama laporan ini.

Penelitian yang berjudul ”Global Reductions in Manual Agricultural Work Capacity Due to Climate Change” ini menggunakan model komputasi untuk memprediksi kapasitas kerja fisik, yang didefinisikan sebagai ”kapasitas kerja individu relatif terhadap lingkungan tanpa tekanan panas”. Para peneliti menggunakan berbagai skenario perubahan iklim yang diprediksi.

Model tersebut dikembangkan oleh George Havenith, peneliti dari Universitas Loughborough, Inggris, didasarkan pada data dari lebih dari 700 uji coba tekanan panas, yang melibatkan pengamatan orang-orang yang bekerja dalam berbagai suhu dan kelembapan, serta kondisi cuaca yang berbeda, termasuk sinar matahari dan angin. Kapasitas kerja maksimum yang dapat dicapai oleh individu di iklim sejuk digunakan sebagai tolok ukur penelitian ini, yang dianggap mewakili 100 persen kapasitas kerja fisik.

Pengurangan kapasitas berarti orang-orang dibatasi dalam hal apa yang dapat mereka lakukan secara fisik meskipun mereka termotivasi untuk bekerja. Hal ini mungkin berarti petani membutuhkan pekerja tambahan untuk melakukan pekerjaan yang sama atau jika pekerja tersebut tidak tersedia, itu akan mengurangi jumlah panen mereka.

Para pekerja di sektor pertanian sudah mulai merasakan dampaknya, demikian ungkap studi tersebut, dengan separuh dari petani di lahan pertanian di dunia diperkirakan bekerja di bawah kapasitas 86 persen dalam kondisi iklim ”baru-baru ini” atau dalam periode 1991–2010.

Seiring dengan kenaikan suhu, kapasitas fisik petani untuk bekerja di laur ruangan dinilai akan terus menurun. Berdasarkan model ini, pada akhir abad ini, produktivitas tenaga kerja di wilayah penghasil tanaman penting di Asia Tenggara dan Asia Selatan, Afrika Barat dan Afrika Tengah, serta Amerika Selatan bagian utara diperkirakan mengalami penurunan kapasitas kerja fisik hingga 70 persen.

BACA JUGA: Anak Muda Harus Pilih Pemimpin yang Berprinsip Keadilan Iklim

Penilaian secara konsisten menyimpulkan bahwa perubahan iklim akan mengurangi hasil panen dan membuat tantangan ketahanan pangan menjadi lebih buruk,” kata pemimpin studi Gerald Nelson.

Bukan hanya tanaman pangan dan peternakan saja yang terkena dampaknya. Para pekerja pertanian yang menanam, mengolah, dan memanen sebagian besar pangan yang kita perlukan juga akan menderita karena paparan panas sehingga mengurangi kemampuan mereka untuk melakukan pekerjaan di ladang.

Sebagai langkah selanjutnya, studi ini mempertimbangkan potensi adaptasi untuk memitigasi dampak perubahan iklim terhadap pekerja pertanian. Beralih ke pekerjaan malam hari atau di tempat teduh untuk mengurangi radiasi matahari langsung terbukti menghasilkan peningkatan produktivitas pekerja sebesar 5–10 persen.

Pilihan kedua yang diteliti adalah meningkatkan penggunaan mesin dan peralatan mekanis secara global, khususnya di Afrika Sub-Sahara, di mana praktik pertanian sebagian besar melibatkan kerja fisik yang berat.

Mengenai pentingnya penelitian ini, George Havenith dari Universitas Loughborough mengatakan, penelitian ini menunjukkan sekali lagi dampak besar perubahan iklim terhadap kehidupan di berbagai wilayah di dunia dan mengukur dampaknya terhadap produktivitas pertanian.

Memahami dampak penuh perubahan iklim terhadap produktivitas pekerja memungkinkan kita memprediksi dampak ekonomi dari perubahan iklim dan memandu upaya mitigasi yang memastikan kita menjaga keselamatan pekerja sekaligus membatasi hilangnya produktivitas,” ujarnya.

Adaptasi petani Berau

Dampak kenaikan suhu terhadap produkvitas petani juga telah terjadi di Indonesia. Laporan Kompas pada 5 Juni 2023 menunjukkan, petani sayur di Kampung Baru, Kelurahan Teluk Bayur, Kecamatan Teluk Bayur, Kabupaten Berau, Kalimantan Timur, tidak bisa bertani selepas pukul 10.00 karena suhu yang terlalu panas.

Seperti disampaikan Mardiono (54), salah seorang petani, dia mesti beradaptasi dengan kondisi terik ini dengan mengubah jam kerja. Biasanya dia pergi ke ladang selepas shalat Subuh, pukul 05.30 Wita. Begitu matahari mulai naik, pukul 09.30, dia sudah kembali ke rumah dan baru kembali ke ladang selepas ashar, pukul 16.00. Setelah maghrib, Mardiono akan kembali ke ladang, hingga pukul 21.30.

Selain mengubah jam kerja, Mardiono juga mesti menggunakan sprinkler untuk menyirami tanah yang lebih cepat kering di bawah paparan terik matahari. Ini berarti, dia harus menambah biaya bertani.

BACA JUGA: 5 Fakta Menarik Fatwa MUI Tentang Hukum Pengendalian Perubahan Iklim Dunia

Penelitian Nicholas H Wolff dari The Nature Conservancy dan tim di jurnal Lancet Planetary Health (2021) menunjukkan, suhu di Berau telah meningkat hingga 0,95 derajat celsius dalam kurun 2022 hingga 2018 atau 16 tahun. Peningkatan suhu ini merupakan kombinasi deforestasi yang marak di kawasan ini, mencapai 4.375 kilometer persegi dalam 16 tahun.

Menurut kajian Wolff dan tim, peningkatan suhu harian di Berau ini telah meningkatkan 7,3–8,5 persen kematian dari semua penyebab atau sekitar 101–118 tambahan kematian per tahun pada tahun 2018. Selain itu, peningkatan suhu ini juga menyebabkan peningkatan waktu kerja yang tidak aman sebesar 0,31 jam per hari di daerah yang terdeforestasi dibandingkan dengan 0,03 jam per hari di daerah yang mempertahankan tutupan hutan.

Selain mitigasi untuk segera menurunkan emisi untuk membatasi laju pemanasan, adaptasi tak bisa ditunda lagi. Tanpa ada dukungan beradaptasi, output tenaga kerja di sektor pertanian yang menjadi penopang kebutuhan pangan global bakal terus merosot. Paparan terhadap tekanan panas tingkat tinggi dalam jangka waktu yang lama, terutama di wilayah berpendapatan rendah di mana akses terhadap pendingin ruangan terbatas, akan mempunyai dampak yang lebih melemahkan.

Berita ini adalah milik Kompas.id yang sudah dimuat melalui tautan berikut ini: https://www.kompas.id/baca/humaniora/2024/01/22/bumi-terlalu-panas-untuk-petani?open_from=Section_Artikel_Terkait