Manusia membutuhkan air untuk hidup, dan bukan hanya karena meminumnya. Semua hal yang hidup berasal dari lautan, dan manusia masih bergantung padanya sampai hari ini. Tanpa lautan yang sehat, tidak ada masa depan yang berkelanjutan di planet bumi ini.
Perubahan iklim menyebabkan permukaan laut naik dan peristiwa cuaca ekstrim terjadi lebih sering, jumlah pengungsi iklim pun akan meningkat. Meskipun merupakan salah satu senjata paling mematikan dari perubahan iklim, laut juga memainkan peran penting dalam mencegahnya (mitigasi). Lautan penuh dengan organisme mikroskopis yang bertindak sebagai penghasil utama sekitar setengah karbon bumi dan 70% oksigen atmosfer.
Beberapa fotosintetik fitoplankton sangat efisien dalam hal penyerapan karbon dan dapat mengurangi jumlah karbon di atmosfer dengan menggunakan karbon dioksida (CO2) untuk membentuk cangkang kalsium karbonat. Alga haptophytic menghilangkan setengah dari CO2 yang dihasilkan dari pembakaran bahan bakar fosil, dan menghasilkan senyawa sekunder yang membantu hamburan cahaya dan pendinginan.
Lautan memainkan peran penting dalam menyerap emisi karbon dioksida dan sangat bermanfaat sebagai sumber daya bagi para ilmuwan yang mencari cara untuk memerangi perubahan iklim melalui inovasi biologis.
BACA JUGA: Ekonomi Biru Sebagai Alternatif Pemulihan Ekonomi dan Pencapaian Komitmen Iklim Indonesia
Rumput laut, adalah contoh yang baik dari semua layanan jasa ekosistem yang disediakan laut bagi manusia. Rumput laut adalah penyerap CO2 yang signifikan, sehingga berperan dalam memerangi perubahan iklim. Hutan rumput laut raksasa bertebaran di seantero pantai berbatu dan memberikan perlindungan bagi ratusan spesies, mungkin yang paling terkenal adalah berang-berang laut yang karismatik. Ini merupakan anugerah besar bagi keanekaragaman hayati, tetapi juga sangat bagus untuk industri pariwisata.
Hutan rumput laut menghadirkan kesempatan untuk menghibur masyarakat dengan hewan-hewan lucu sambil mendidik tentang masalah kelestarian laut. Selain itu, rumput laut dapat dipanen secara berkelanjutan dengan “memotong” bagian atas seperti rumput tanpa merusaknya. Produk yang dihasilkan sangat fleksibel untuk membumbui banyak masakan, dan karbohidratnya dapat digunakan sebagai bahan pengental, pasta gigi, obat-obatan, dan shampo (https://www.mongabay.co.id/; 8 Juni 2020).
Langkah Tingkatkan Peran Laut Atasi Krisis Iklim di Tingkat Dunia
Mencakup lebih dari 70% permukaan bumi, lautan memiliki potensi besar dalam melawan perubahan iklim, dan diyakini mampu mendorong ekonomi yang kuat dan berkelanjutan. Hal inilah yang menjadi penilaian penuh harapan dari 14 negara pesisir dan lautan yang tergabung dalam High-Level Panel for A Sustainable Ocean Economy atau dikenal dengan Ocean Panel.
Kerjasama global yang terdiri dari hampir 40% garis pantai dunia itu telah mengumumkan komitmen mereka pada Rabu, 2 Desember 2020, dalam mengelola 100% perairan laut nasional secara berkelanjutan pada tahun 2025.
Komitmen ini mencakup berbagai tindakan yang dapat dilakukan guna mengurangi perubahan iklim, karena lautan yang memanas telah menjerumuskan negara-negara pesisir ke dalam keadaan darurat iklim. Ocean Panel mencatat bahwa perlindungan bakau, lamun, dan rawa asin yang membentuk ekosistem ‘karbon biru’ dapat membantu penyerapan karbon guna memenuhi target pengurangan emisi yang tertuang dalam Perjanjian Iklim Paris 2050 – yaitu membatasi pemanasan global hingga 1.5 derajat celcius. Karbon biru dapat menyerap karbondioksida dengan kecepatan hingga empat kali lipat dari hutan daratan.
BACA JUGA: Benarkah Indonesia Mampu Mencapai Netral Karbon pada 2070?
Guna mewujudkan target tahun 2050 itu, peningkatan energi laut bersih seperti tenaga angin lepas pantai dan energi pasang surut untuk selanjutnya juga akan ditingkatkan. Rencana berkelanjutan dari Ocean Panel akan mencakup target-target capaian, insentif, dan peningkatan infrastruktur yang dimungkinkan menghasilkan 40 kali lipat keluaran energi laut yang ada saat ini.
Rencana berkelanjutan itu juga bertujuan untuk mencegah hilangnya keanekaragaman hayati, mengatasi polusi, dan menghentikan penangkapan ikan ilegal dan berlebihan yang meluas. Salah satu contohnya terjadi di Kepulauan Galapagos. Kehidupan laut yang beraneka ragam di sana terancam karena kapal pukat Cina menjadi sorotan atas penjarahan di perairan Amerika Latin.
Pada intinya, tujuan akhir dari komitmen tersebut adalah untuk menghidupkan kembali ekonomi dan budaya berbasis kelautan yang bergantung pada perikanan dan pariwisata secara berkelanjutan. Negara-negara yang tergabung dalam Ocean Panel tersebut di antaranya Australia, Kanada, Chili, Fiji, Ghana, Indonesia, Jamaika, Jepang, Kenya, Meksiko, Namibia, Norwegia, Palau, dan Portugal. Mereka juga ingin menginspirasi para pemimpin dari semua negara pesisir dan laut lainnya untuk turut berkomitmen mewujudkan 100% pengelolaan laut berkelanjutan pada tahun 2030.
“The Ocean Panel menyerukan kepada setiap pemimpin negara pesisir dan laut untuk bergabung bersama kami dan mewujudkan 100% tujuan menjadi kenyataan,” ujar Tommy Remengesau Jr., Presiden Palau yang juga mengepalai Ocean Panel (https://www.dw.com/; 3 Desember 2020).
Baru-baru ini pun. Pemerintah Inggris melalui Menteri Negara Pasifik dan Lingkungan, Zac Goldsmith, mengundang para pemimpin dunia untuk berkomitmen menjaga kesehatan laut dunia untuk mencapai emisi nol karbon dan menjaga temperatur bumi tidak melebihi 1.50 C dalam pertemuan COP26 Presidency Ocean Action Ministerial Event pada Jumat (5-11-2021).
Mewakili Menteri Luhut B. Pandjaitan, Deputi Bidang Pengelolaan Lingkungan dan Kehutanan, Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Nani Hendiarti turut berpartisipasi dalam pertemuan tersebut bersama pemimpin negara lainnya dan pakar kelautan dunia.
“Laut yang sehat merupakan poin penting untuk melawan perubahan iklim. Melindungi laut dan seluruh ekosistemnya sangat penting untuk membantu kita mengatasi perubahan iklim dan menanggapi dampaknya”, ujar Menteri Goldsmith dalam pembukaannya.
Lebih lanjut disampaikannya bahwa diskusi ini ingin menekankan bahwa lautan merupakan salah satu bagian penting dari ketahanan iklim bumi. Negara-negara kepulauan tentunya dibutuhkan komitmen dan aksi nyata demi mengurangi dampak pemanasan global khususnya bagi masyarakat pesisir. Pertemuan ini hadir sebagai salah satu bentuk pengingat bagi seluruh dunia untuk mulai menyadari pentingnya tindakan mitigasi dari kehidupan kemaritiman tersebut.
Sylvia Earle. pakar biologi laut dunia juga menyebutkan bahwa laut adalah sumber kehidupan dan menyerukan untuk menjaga 30%-nya sebagai kawasan yang terjaga.
Indonesia pun menjadi salah satu negara yang dikaruniai lautan luas dengan berbagai sumber dayanya, dan tidak menutup fakta bahwa kegiatan kemaritiman memberikan kontribusi dalam menurunkan keseimbangan iklim kelautan yang memiliki dampak luas bagi manusia.
Pada pernyataan Indonesia, Deputi Nani menyampaikan aksi rencana strategis pemerintah dalam rehabilitasi mangrove seluas 600.000 hektar sampai dengan tahun 2024 sebagai bentuk kontribusi Indonesia dalam menanggulangi perubahan iklim, “Sebagai negara kepulauan, Indonesia memiliki cadangan karbon biru yang begitu besar, untuk itu kami terus berjibaku dalam merehabilitasi mangrove sebagai salah satu sumbernya dan tentunya ini membutuhkan dukungan dari dunia internasional,” tegasnya.
“Mangrove tidak hanya untuk mitigasi perubahan iklim, tapi memberikan manfaat bagi masyarakat pesisir melalui ekonomi biru. Masyarakat pesisir dapat memanfaatkan produk turunannya untuk menambah pendapatan”, tambah Deputi Nani.
Turut hadir pula membuka John Kerry, Utusan Khusus Presiden AS untuk Perubahan Iklim yang menyampaikan pengalamannya hidup di lautan semasa muda dan menegaskan bahwa lautan adalah kunci untuk solusi perubahan iklim.
Selain Indonesia, perwakilan menteri dari beberapa negara yang diundang berasal dari Ekuador, Seychelles, Costa Rica, Fiji dan Belize. Pertemuan ini tentunya memberikan komitmen nyata bagi berbagai negara perwakilan yang ada, dalam mengawal serius perkembangan aksi tiap negara dalam menjaga iklim bumi. (https://maritim.go.id; 7 November 2021).
Upaya Dalam Negeri Untuk Tingkatkan Peran Laut Atasi Krisis Iklim
Indonesia hanya memiliki waktu hingga 2030 untuk bisa mengantisipasi dampak dari perubahan iklim yang saat ini sedang melanda dunia. Sebelum batas waktu tersebut datang, Indonesia harus bisa melakukan mitigasi dan adaptasi pada sektor kelautan dan perikanan yang akan terdampak.
BACA JUGA: Sri Mulyani Klaim RI Dihormati Karena Tak ‘Omdo’ soal Perubahan Iklim
Di antara upaya yang sedang disiapkan, adalah mitigasi berbasis kelautan dengan melibatkan teknologi seluler melalui layanan berbasis sistem operasi Android. Dalam layanan berbasis aplikasi tersebut, disediakan beragam informasi yang menjadi kebutuhan panduan untuk beraktivitas di laut.
Kehadiran aplikasi ini, akan memudahkan nelayan untuk beraktivitas menangkap ikan di laut dengan lebih cepat sampai tujuan, menghasilkan tangkapan lebih banyak, dan mengurangi penggunaan bahan bakar minyak (BBM) yang menjadi bagian dari energi fosil.
Cara tersebut, diyakini bisa memicu nelayan untuk mendapatkan tingkat kesejahteraan ekonomi lebih baik lagi, karena stok ikan meningkat, sementara biaya operasional menurun. Tetapi, nelayan harus diberikan peningkatan kapasitas keilmuan, agar pendekatan tersebut bisa berjalan baik (https://www.mongabay.co.id/; 15 Februari 2021).
Selain itu, Menteri Kelautan dan Perikanan Indonesia, Sakti Wahyu Trenggono di Jakarta belum lama ini menyatakan akan menerapkan kebijakan penangkapan ikan secara terukur mulai pada 2022 mendatang. Kebijakan ini diharapkan akan menata kembali subsektor perikanan tangkap yang ada di seluruh wilayah perairan laut Indonesia dan lebih dari itu mampu memicu dampak positif lainnya yang akan bermanfaat bagi semua makhluk hidup.
Manfaat yang dimaksud, tidak lain adalah bisa menekan dampak fenomena perubahan iklim yang sedang terjadi di seluruh dunia saat ini. Pernyataan tersebut didasarkan pada fakta bahwa laut dan ekosistem pesisir merupakan komponen utama bumi yang memiliki peran penting dalam mengendalikan iklim dunia. Peran tersebut menjadi harapan yang bisa dimaksimalkan oleh manusia (https://www.mongabay.co.id/; 2 November 2021).(*)
Sumber:
https://www.mongabay.co.id/2020/06/08/hari-lautan-sedunia-mengingatkan-peran-laut-di-planet-bumi/; 8 Juni 2020;
https://www.dw.com/id/pemimpin-dunia-lautan-jadi-kunci-atasi-krisis-iklim/a-55806132; 3 Desember 2020;
https://maritim.go.id/meningkatkan-peran-laut-dalam-mitigasi-perubahan-iklim-indonesia/; 7 November 2021;
https://www.mongabay.co.id/2021/02/15/bersiaga-di-laut-untuk-antisipasi-perubahan-iklim/; 15 Februari 2021;
https://www.mongabay.co.id/2021/11/02/penangkapan-ikan-terukur-bisa-tekan-laju-perubahan-iklim/; 2 November 2021)