Sejak Agutus lalu Green Climate Fund (GCF) sudah menyetujui Indonesia mengakses dana GCF atau Dana Iklim Hijau berdasarkan result based payment (RBP) sebesar 103,8 juta dollar AS. Dana sekitar Rp1,54 triliun rupiah ini adalah bayaran atas keberhasilan Indonesia menurunkan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan selama 2014-2016 sebesar 20,3 juta ton CO2e.

Tapi, semuanya tak berhenti sampai di sini. Indonesia masih harus menunjukkan komitmen untuk konsisten mencegah deforestasi di masa depan jika ingin bisa terus menyerap dana internasional untuk menangkal krisis iklim. Konsistensi ini dipertanyakan dengan disahkannya Undang-Undang Cipta Kerja yang berisiko melemahkan perlindungan hutan dan lingkungan hidup.

Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) menyampaikan setidaknya ada 10 masalah fundamental berbasis agraria dalam UU Cipta Kerja. Selain menabrak konstitusi, UU ini dinilai tak berlandaskan pada filosofi, ideologis, yuridis dan sosiologis sehingga berwatak sangat liberal di bidang pertanahan. 

Selain itu UU ini juga dinilai menghidupkan lagi azas dan cara-cara negaraisasi tanah (domein verklaring) yang sudah dihapus dalam UU Pokok Agraria 1960. Belum lagi penyesatan publik tentang reforma agraria dalam bentuk bank tanah. Bank tanah yang melayani pemilik modal juga dikhawatirkan sarat monopoli dan spekulasi tanah.

BACA JUGA: Kemana Alokasi Dana Perubahan Iklim?

Sementara itu ketimpangan penguasaan tanah dan konversi tanah pertanian kecil justru dilegitimasi oleh UU ini. Bagi KPA, aparat keamanan dan perusahaan jadi alat hukum baru pemerintah untuk mengkriminalisasi rakyat. Tak heran jika kelak muncul diskriminasi hak petani akibat klaim hutan negara dan penghilangan hak konstitusional dan kedaulatan petani atas benih lokal. Diskriminasi petani dan nelayan sebagai produsen pangan negara yang utama, dan kebijakan kontraproduktif terhadap janji kedaulatan pangan, juga menjadi sorotan. 

Di sisi lain, tinjauan risiko UU Cipta Kerja terhadap hutan alam dan pencapaian komitmen iklim Indonesia yang dilakukan Yayasan Madani Berkelanjutan menyimpulkan bahwa jika UU ini diterapkan, risiko hilangnya hutan alam akan meningkat. Lima provinsi terancam kehilangan seluruh hutan alamnya dalam jangka waktu tertentu karena deforestasi, yakni Riau (2032), Jambi dan Sumatera Selatan (2038), Bangka Belitung (2054) dan Jawa Tengah (2056).

Selain itu  empat provinsi terancam akan kehilangan hutan alam di luar Peta Indikatif Penghentian Pemberian Izin Baru (PIPPIB). Daerah paling luas terdampak adalah Kalimantan Tengah (3,5 juta hektar), Kalimantan Barat (1 juta hektar), Aceh (342 ribu hektar) dan Sumatera Barat (254 ribu hektar). Jika ini terjadi, target NDC di sektor kehutanan terancam gagal total.

Tak hanya itu, kesempatan untuk menyelamatkan hutan alam seluas 3,4 juta hektar yang saat ini terlanjur berada dalam konsesi sawit, juga akan hilang, terutama di Papua (1,3 juta hektar) dan Kalimantan Timur (528 ribu hektar). 

Di Papua Barat, berdasarkan kajian Madani, hanya 2,5% atau sekitar 85 ribu hektar hutan alam tersisa di luar PIPPIB dan Peta Indikatif Area Perhutanan Sosial (PIAPS) di sepanjang 45 daerah aliran sungai yang melintasi 8 kota/kabupaten.

BACA JUGA: RUU Cipta Kerja: Ancaman Komitmen Iklim Indonesia 2030

Dengan kondisi ini efektivitas pemerintah Indonesia dalam menyalurkan dana iklim hijau ini juga akan menjadi perhatian. Akankah tepat sasaran? Akankah membawa manfaat untuk masyarakat rentan, terutama mereka terdampak pandemi Covid-19? 

Dalam proposalnya, dana iklim hijau disebutkan akan digunakan untuk mendukung arsitektur pengurangan emisi karena deforestasi dan degradasi hutan (REDD+) yang lebih kuat, dan tata kelola hutan yang terdesentralisasi terutama untuk meningkatkan peran masyarakat dalam pengelolaan hutan yang berakar pada pendekatan hak asasi manusia.  

Pemerintah akan menggunakan dana ini untuk perbaikan tata kelola hutan melalui penguatan Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) dan Perhutanan Sosial (PS) dengan mekanisme berbasis kinerja (performance-based mechanism). 

Meski dana ini tampaknya besar, namun masih menurut Madani, jumlahnya relatif kecil jika dibandingkan dengan rata-rata alokasi APBN tahunan untuk berbagai program terkait KPH dan PS. 

BACA JUGA: Jurus Bangkit yang Ramah Lingkungan

Catatan Madani, dari 2017-2019, rata-rata anggaran untuk PS adalah Rp103 miliar per tahun. Anggaran ini meningkat menjadi Rp303,3 miliar rupiah per tahun untuk 2020-2024. Sementara dana iklim hijau untuk PS hanya Rp173,75 miliar per tahun. 

Untuk KPH, lebih besar, mencapai Rp1,4 triliun per tahun pada 2017-2019 dan meningkat menjadi Rp5,2 triliun pada 2020-2024. Sementara dana iklim hijau untuk KPH Rp173,75 miliar. 

Untuk lokasinya, penggunaan dana ini akan difokuskan pada 11 provinsi yang sudah menyusun strategi dan rencana aksi provinsi REDD+ dengan luas hutan alam 65,2 juta hektar atau 73,6% dari total luas hutan alam Indonesia pada 2019 yakni 88,6 juta hektar. 

Bagi Madani, masih banyak provinsi berhutan alam luas di luar 22 provinsi tersebut yang juga harus diperhatikan. Masalahnya, sulit bagi masyarakat termasuk pengelola perhutanan sosial untuk menjalankan RBP jika tanpa pendamping dan pendanaan, karena RBP mensyaratkan hasil terverifikasi atau mendapat sertifikat pengurangan emisi sehingga perlu peningkatan kapasitas masyarakat.

Karena itu, Indonesia membutuhkan lebih banyak pendanaan untuk ikut menangkal krisis iklim. Namun alih-alih menarik lebih banyak peluang pendanaan di masa depan, dengan disahkannya UU Cipta Kerja yang mengabaikan prinsip perlindungan lingkungan hidup dan hak asasi manusia, serta tidak mengadopsi prinsip atau asas pembangunan berkelanjutan, justru hanya akan berpotensi menimbulkan berbagai eksternalitas negatif yang dapat memperparah berbagai krisis lingkungan hidup yang sudah ada di Indonesia, seperti kebakaran hutan dan lahan, pencemaran, dan kerusakan lingkungan akibat pertambangan.