Awal November 2021, mungkin bulan yang tak dapat dilupakan Suli Amat, warga Kota Batu, Malang, Jawa Timur. Bagaimana tidak, hanya dalam hitungan menit, rumah yang dibangun dari hasil keringatnya roboh diterjang banjir bandang. Saat tiba-tiba atap rumahnya roboh, Suli Amat sempat berpelukan dengan istri, anak, menantu dan cucunya. Namun, derasnya air membuat mereka hanyut dan terpisah. Suli Amat, istri dan anaknya berhasil selamat, meski terluka. Sementara menantu dan cucu meninggal dunia. Demikian kesaksian salah satu korban banjir di Kota Batu, seperti ditulis oleh iNews.Jatim.id .

Tahun 2021 adalah tahun bencana ekologi di Indonesia. Banjir bandang bukan hanya terjadi di Kota Batu, sebelumnya banjir juga melanda wilayah Bandung Raya, mulai dari Kota Bandung, Kabupaten Bandung, Kota Cimahi dan Kabupaten Bandung Barat. Tak hanya itu, longsor pun terjadi di Lembang sehingga menutup akses Cimahi-Bandung Barat. Beberapa bulan sebelumnya, tepatnya di Februari 2021, Kota Semarang juga lumpuh akibat banjir bandang. Pada bulan yang sama,  Ibukota Indonesia, Jakarta juga sempat lumpuh akibat banjir di Februari 2021. Di awal tahun 2021 banjir bandang juga terjadi di Kalimantan Selatan (Kalsel). Banjir bandang setinggi 2-3 meter melanda kawasan itu. Bukan tidak mungkin, cepat atau lambat kita semua akan menjadi korban dari bencana ekologi itu.

Krisis iklim bukan lagi isapan jempol. Saat ini kita sedang berkejaran dengan bencana ekologi. Di seluruh dunia, sejak tahun 2018 silam, bencana badai, banjir, kekeringan, dan kebakaran hutan telah mendorong 108 juta orang untuk mencari bantuan kemanusiaan internasional. Sampai tahun 2030, diperkirakan jumlah manusia yang akan tergantung dari bantuan internasional bisa meningkat 50 persen.

BACA JUGA: Dilema Kendaraan Listrik. Bersih Tapi Merusak?

Berbagai bencana ekologi hingga tahun 2021 ini selaras dengan laporan IPCC (Intergovernmental Panel Climate Change/IPCC) yang mengungkapkan bahwa datangnya krisis iklim kini makin cepat. Artinya, tahun-tahun mendatang adalah tahun bencana dengan skala yang mungkin lebih mematikan dibanding tahun ini.

Salah satu penyebab krisis iklim itu adalah meningkatnya Gas Rumah Kaca (GRK) dari pembakaran batubara. Semua pihak memiliki peran untuk menghentikan pembakaran batubara. Salah satunya sektor perbankan.

BNI sebagai salah satu bank BUMN yang menyasar nasabah anak muda, telah memiliki komitmen mengurangi emisi GRK (Gas Rumah Kaca), penyebab krisis iklim.  “BNI mengimplementasikan keuangan berkelanjutan, yang salah satunya bertujuan untuk mengurangi emisi GRK,” ungkap Achmad Baiquni, Direktur Utama BNI seperti tertulis dalam Sustainability Report BNI tahun 2019.

Bukan hanya BNI, Bank Mandiri pun mengungkapkan hal yang sama. Seperti ditulis di Bisnis Indonesia, Corporate Secretary Bank Mandiri Rudi As Aturridha menyampaikan Bank Mandiri terus berupaya mendukung implementasi pengembangan berkelanjutan yang fokus pada lingkungan, sosial dan tata kelola (ESG). Dukungan Bank Mandiri terhadap ESG itu menurutnya juga tercermin dalam portofolio pembiayaan berkelanjutan yang terus meningkat. 

Tentu kita pantas berbangga dengan kesadaran para CEO bank-bank papan atas milik negara itu. Meskipun, faktanya, bank-bank BUMN, seperti BNI dan Mandiri masih saja mendanai energi kotor batubara, penyebab krisis iklim. Setidaknya bank-bank seperti BNI dan Mandiri masih mendanai krisis iklim melalui proyek batubara selama periode periode Oktober 2018 hingga Oktober 2020. Aktivitas pinjaman mereka tercatat di Global Coal Exit List (GCEL), sebuah database perusahaan yang beroperasi di sepanjang rantai nilai thermal batubara. 

 Lantas apakah kita masih bisa menunggu niat baik CEO bank-bank BUMN, seperti bank Mandiri dan BNI, untuk mewujudkan aksi iklimnya? Jawabannya, tidak. Kita tidak lagi memiliki kemewahan untuk menunggu aksi iklim bank-bank BUMN. Terlebih, geliat ekonomi Indonesia sendiri diprediksi akan menjadikan negeri ini sebagai salah satu penyumbang gas rumah kaca (GRK) penyebab krisis iklim. Berbagai pemodelan telah dilakukan untuk melihat kontribusi Indonesia dalam emisi GRK. 

Berdasarkan berbagai pemodelan yang dilakukan oleh lembaga riset tersebut, emisi GRK Indonesia diproyeksikan akan meningkat di masa depan. Tingkat emisi Indonesia diproyeksikan meningkat menjadi sekitar 2,9 gigaton karbon dioksida ekuivalen (GtCO2e) pada tahun 2030 sesuai skenario BAU (business-as-usual) dalam NDC, dan hingga sekitar 4,3–6,2 GtCO2e pada tahun 2050. 

Penggunaan lahan dan sistem energi menjadi sektor penyumbang emisi GRK terbesar. Emisi dari lahan gambut menjadi faktor pendorong utama di sektor penggunaan lahan. Sementara pembangkit listrik dan industri menjadi faktor pendorong di sektor energi

Dari sini terlihat bahwa dalam konteks krisis iklim, Indonesia bukan lagi korban tapi juga bagian dari negara-negara yang mempercepat terjadinya krisis iklim. Dalam konteks ini menjadi tidak relevan lagi bila masyarakat harus menunggu niat baik bank-bank BUMN. Pendanaan untuk batubara mutlak harus dihentikan total, bila bank-bank BUMN tersebut benar-benar ingin menjadi green banking.

Setelah pendanaan bank BUMN ke proyek batubara dihentikan, bank-bank tersebut baru mengalihkan pendanaannya ke proyek-proyek ramah lingkungan hidup. Ada banyak proyek-proyek yang ramah lingkungan yang memerlukan pendanaan dari bank-bank BUMN. Proyek-proyek hijau itu membentang dari sektor industri, sektor pertanian dan kehutanan, sampai dengan sektor energi, termasuk sektor transportasi. 

BACA JUGA: 2021 Jadi Tahun Terpanas Kelima Sejak 1850

Sektor transportasi adalah salah satu sektor dengan konsumsi energi tertinggi, yaitu sekitar 40% di seluruh dunia yang juga berkontribusi sekitar seperempat dari total emisi CO2.  Di Indonesia, sektor transportasi menyumbang 136 juta ton emisi karbon dioksida (CO2) pada 2016 (naik dari 71 juta ton dibandingkan 2006). Dari angka itu,  90% di antaranya disebabkan oleh transportasi darat. Sektor angkutan barang berbasiskan jalan raya memainkan peran penting dalam tren ini, sebagai konsumen utama dari total konsumsi energi. 

Sektor angkutan barang berbasiskan jalan raya ini merupakan penghasil emisi GRK. Pada tahun 2015, emisi karbon dari angkutan barang berbasiskan jalan raya di Jawa diperkirakan sebesar 11,5 juta ton atau sekitar 8,12% dari total emisi sektor transportasi. Namun, sektor ini masih belum mendapat dukungan penuh sektor perbankan.

Untuk mengurangi emisi GRK dari sektor transportasi itu diperlukan peralihan angkutan barang berbasis jalan raya ke kereta api. Mengalihkan sebagian angkutan barang dari jalan raya ke kereta api. Peralihan moda dari angkutan barang berbasiskan jalan raya ke kereta api dapat sangat efektif dalam mengurangi eksternalitas angkutan barang, termasuk emisi CO2. 

Sayangnya, angkutan kereta api sebagian besar belum berkembang, meskipun terdapat program investasi yang signifikan dalam infrastruktur transportasi. Diperlukan dukungan finansial yang relatif besar untuk ketersediaan kapasitas dan peralatan transportasi kereta api yang dapat mengakomodasi permintaan angkutan barang di kereta api. Dalam konteks inilah bank-bank BUMN dapat mengucurkan pendanaannya.

Akhirnya, semua pihak harus bertindak cepat dan tepat dalam mengatasi krisis iklim ini. Krisis iklim ini tidak bisa lagi disikapi dengan santai. Kali ini, warga negara sebagai pembayar pajak harus memaksa para pengambil keputusan di sektor perbankan untuk segera menghentikan pendanaan ke proyek energi kotor batubara dan mengalihkannya ke proyek-proyek yang ramah lingkungan. Kali ini kita harus mendesak CEO bank-bank BUMN untuk meninggalkan basa-basinya terkait aksi iklim. Segera hentikan pendanaan ke proyek batubara dan beralih mendanai proyek yang ramah lingkungan hidup.

Oleh: Firduas Cahyadi

Pemerhati Lingkungan Hidup