Upaya menangani krisis iklim di Indonesia membutuhkan gelontoran dana yang sangat besar. Tidak main-main, menurut Menteri Keuangan RI Sri Mulyani, dana yang Indonesia butuhkan mencapai Rp3.461 triliun hingga tahun 2030 atau 266 triliun per tahun. Angka yang dinyatakan Kepala Badan Kebijakan Fiskal Febrio Kacaribu bahkan lebih besar lagi: Rp3.997 triliun atau Rp343,7 triliun per tahun setelah adanya Peta Jalan NDC (Nationally Determined Contribution).

Pemerintah telah mendirikan Badan Pengelola Dana Lingkungan Hidup (BPDLH) yang salah satu mandatnya adalah menghimpun, memupuk, dan menyalurkan dana REDD+. Aturan penyaluran Dana REDD+ telah dikeluarkan BPDLH pada 28 Desember 2020 lalu dalam bentuk Perdirut BPDLH No. 07/BPDLH/2020. Dalam pedoman tersebut, disebutkan bahwa dana REDD+ adalah dana yang dikelola BPDLH untuk mendanai upaya penurunan laju emisi Gas Rumah Kaca dari deforestasi, degradasi hutan dan lahan gambut, konservasi stok karbon, pengelolaan hutan berkelanjutan, dan peningkatan stok karbon dalam rangka mencapai target NDC dan mewujudkan pembangunan berkelanjutan.

Menteri LHK: BPDLH Lengkapi Implementasi Perubahan Iklim Indonesia - Kabar24 Bisnis.com

Ket: Menteri LHK Siti Nurbaya Bakar (kanan) didampingi Menteri Koordinator Perekonomian Darmin Nasution (tengah) dan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati (kiri) pada launching Badan Layanan Umum Pengelola Dana Lingkungan Hidup (BPDLH) di Jakarta, Rabu (9/10/2019). @Bisnis Indonesia

Saat ini, telah ada beberapa pihak asing yang berkomitmen untuk menyalurkan Dana REDD+ melalui BPDLH, antara lain Green Climate Fund (GCF) senilai 103,78 juta dollar AS, Pemerintah Norwegia senilai 56 juta dollar AS, dan Forest Carbon Partnership Facility yang dikelola oleh Bank Dunia dengan nilai hingga 110 juta dollar AS

Siapa saja yang bisa mengakses Dana REDD+?

Ada dua kelompok pihak yang dapat mengakses Dana REDD+, yaitu Penerima Manfaat dan Lembaga Perantara. BPDLH dapat menyalurkan Dana REDD+ secara langsung kepada Penerima Manfaat yang terdiri dari masyarakat hukum adat, kelompok masyarakat yang terdaftar di pemerintah, lembaga pemerintah – baik Kementerian atau Lembaga di tingkat pusat maupun Pemerintah Daerah, lembaga nonpemerintah, badan usaha, dan/atau lembaga pendidikan atau penelitian. BPDLH dapat menunjuk Penerima Manfaat secara langsung apabila mereka telah teridentifikasi dalam program spesifik yang tercantum dalam Rencana Penyaluran yang disusun BPDLH. Alternatifnya, BPDLH akan membuka call for proposal berdasarkan program tematik yang tercantum dalam Rencana Penyaluran di mana Penerima Manfaat kemudian menyusun proposal kepada BPDLH.

Jika Penerima Manfaat dirasa tidak memiliki kapasitas dalam pengelolaan keuangan dan atau program atau berada di wilayah terpencil, BPDLH menyalurkan Dana REDD+ secara tidak langsung kepada Penerima Manfaat melalui Lembaga Perantara. Yang dapat menjadi Lembaga Perantara adalah Pemerintah Daerah, organisasi/LSM, lembaga jasa keuangan nonbank, koperasi, perguruan tinggi, dan badan hukum lainnya. Minimal dana yang harus diajukan oleh satu Lembaga Perantara adalah Rp5 miliar.

Lembaga Pengelola REDD+ Sub-Nasional juga dapat mengakses Dana REDD+ baik sebagai Penerima Manfaat maupun Lembaga Perantara. Lembaga Pengelola REDD+ Sub-Nasional adalah lembaga yang dibentuk Pemerintah Daerah Provinsi untuk mengkoordinasikan pelaksanaan REDD+ di wilayah bersangkutan. Salah satu Lembaga Pengelola REDD+ Sub-Nasional di Indonesia yang cukup maju adalah Dewan Daerah Perubahan Iklim Kalimantan Timur. Sayangnya belum semua provinsi berhutan di Indonesia memiliki lembaga sejenis ini sehingga Penerima Manfaat di daerah-daerah tersebut harus menyampaikan proposal langsung ke BPDLH atau melalui Lembaga Perantara.

Apa saja program yang dapat didanai oleh Dana REDD+ dari BPDLH?

Dana REDD+ dapat mendanai program dan atau kegiatan yang mendukung implementasi REDD+. Yang pertama adalah program atau kegiatan penguatan kondisi pemungkin (enabling conditions) seperti peningkatan kapasitas kelembagaan dan sumber daya manusia, penguatan kebijakan dan instrumen atau perangkat REDD+, dan kegiatan penelitian dan pengembangan. Yang kedua adalah program yang ditetapkan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) dan atau Komite Pengarah BPDLH.

Image

Ket: Presiden Jokowi di Salah Satu Acara Perhutanan Sosial. @Kantor Staf Presiden

Dana REDD+ juga dapat mendanai program atau kegiatan yang memberikan manfaat terukur dalam bentuk karbon dan/atau non-karbon, yakni kinerja penurunan emisi dan selain penurunan emisi di wilayah penilaian kinerja yang telah terverifikasi. Untuk kegiatan jenis ini, dibutuhkan legalitas dalam pengelolaan hutan dan lahan dalam kerangka REDD+ berupa status kepemilikan, penetapan, atau izin pengelolaan. Cakupan legalitas yang disebut dalam aturan ini mencakup penetapan KPH (Kesatuan Pengelolaan Hutan), Izin Perhutanan Sosial, Penetapan Wilayah Adat, Izin Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu, Izin Usaha Pemanfaatan Jasa Lingkungan, Izin Pemanfaatan Lahan, dan bukti kepemilikan untuk hutan hak.

Keluarnya aturan BPDLH terkait pendanaan REDD+ ini diharapkan dapat menjadi katalis untuk memobilisasi pendanaan untuk menyelamatkan hutan alam dan lahan gambut tersisa Indonesia dan mempromosikan hak-hak serta kesejahteraan masyarakat adat dan lokal untuk menyelamatkan iklim dunia dan mencapai tujuan pembangunan berkelanjutan atau SDGs. Dalam hal ini, aspek-aspek tata kelola yang baik seperti transparansi, pelibatan pemangku kepentingan, dan pelaksanaan seluruh safeguards tata kelola, sosial, dan lingkungan menjadi kunci penting yang harus dijaga agar BPDLH dapat menjadi lembaga pengelola dana iklim yang mumpuni dan kredibel di mata dunia. (*)

Dapatkan dokumen Perdirut Nomor 07 Th 2020 Tentang Penyaluran Dana REDD+