Momen Idulfitri identik dengan permintaan maaf satu sama lain. Budaya meminta maaf ini tentu tidak jauh dari pemaknaan Idulfitri yang jatuh di bulan Syawal. Konon katanya, bulan Syawal merupakan bulan peningkatan diri seseorang. Dengan meminta maaf kepada satu sama lain, harapannya tiap orang akan terlahir kembali menjadi pribadi yang baik dan dapat memulai lembaran baru kehidupan untuk menjadi seseorang yang lebih baik. Tapi, cukupkah hanya dengan meminta maaf dan memaafkan sesama, kita dapat meneruskan kehidupan yang lebih baik? 

Menurut kajian psikologi yang dilakukan oleh Darby dan Schlengker di tahun 1982, permintaan maaf merupakan sebuah pernyataan tanggung jawab tidak bersyarat atas kesalahan dan sebuah komitmen untuk memperbaikinya. Sehingga untuk menunjukkan ketulusan seseorang dalam meminta maaf, tentu harus dibarengi dengan komitmen untuk memperbaiki kesalahannya.

BACA JUGA: Langkah Selandia Baru Menuju Net Zero Emission

Harapan memulai hidup yang lebih baik setelah Idulfitri tentunya tidak cukup berhenti pada permintaan maaf saja, bukan? Perlu ada aktivitas dan komitmen untuk memperbaiki diri. Meskipun demikian, ada satu hal yang terkadang luput dari perhatian dalam budaya saling memaafkan di hari raya ini, yaitu fakta bahwa manusia hidup di muka bumi tidak hanya sedang berhubungan dengan sesama manusia lainnya. Melainkan sedang dalam hubungan kompleks antara manusia, lingkungan, dan seluruh komponen kehidupan di dalamnya. Sudahkah kita meminta maaf kepada bumi tempat kita tinggal dan berkomitmen untuk memperbaiki cara hidup manusia yang merusak bumi? 

Kalau masih bingung kenapa kita mesti minta maaf pada bumi dan berkomitmen untuk menjadi pribadi yang lebih baik untuk bumi ini, yuk kita napak tilas satu permasalahan yang berdampak besar pada permasalahan lingkungan di bumi ini yang sumbernya berasal dari manusia. Sebelum merayakan Idulfitri, umat islam di seluruh dunia diwajibkan menjalankan suatu ritual ibadah yang dinamakan puasa di bulan Ramadan.

Namun, tulisan ini tidak hendak menyalahkan satu umat tertentu maupun kewajiban menjalankan ritual peribadatannya. Melainkan mengenai food waste dan food loss yang menurut penelitian mengalami peningkatan yang signifikan pada bulan Ramadan dan perayaan Idulfitri itu sendiri. 

Food waste alias limbah pangan adalah makanan yang tidak dikonsumsi oleh manusia dan terbuang untuk alasan apapun. Menurut Food and Agricultural Organization of the United Nations (FAO), makanan siap makan yang layak konsumsi namun dibuang tanpa alasan ataupun karena mendekati masa kadaluarsa.

Sedangkan food loss, merupakan bahan pangan mentah (belum dimasak) yang terbuang karena kualitas bahan makanan tidak sesuai keinginan pasar, kesalahan penyimpanan dan pengemasan ataupun tingkat produksi yang tinggi namun kurang memiliki akses untuk dikonsumsi. 

BACA JUGA: Food Estate Bukan Solusi Mengatasi Persoalan Pangan

Pada situasi normal, makanan yang terbuang di Indonesia bila dapat dikonsumsi oleh orang lain, jumlah orang yang dapat mengkonsumsinya adalah sebesar 71 juta. orang per hari. Jika dibagi rata, jumlah ini setara dengan tiap orang di Indonesia bertanggung jawab terhadap 300 kg makanan yang terbuang setiap tahunnya (Barilla Center of Food Waste).

Dalam kasus lain yang diteliti oleh Food Sustainability Index 2020, rata-rata orang Uni Emirat Arab membuang sekitar 224 kg makanan tiap tahunnya dan mengalami peningkatan pembuangan pada bulan Ramadan dan perayaan Idulfitri sebesar 25%. Begitu pula di Moroko yang 41.1% rumah tangganya justru membuang sepertiga makanan pada bulan Ramadan dan perayaan Idulfitri sendiri. 

Lalu, pertanyaan selanjutnya yang muncul adalah seberapa besar dampak buruk yang diakibatkan oleh pembuangan makanan tersebut? Penelitian menunjukkan bahwa ternyata limbah makanan dari seluruh dunia yang dibuang begitu saja merupakan seperempat sumber emisi gas rumah kaca di dunia. Ketika dibuang begitu saja, limbah pangan memproduksi gas metana dalam jumlah besar.

Saat makanan membusuk dan terdegradasi, gas metana yang dihasilkan ini 25 kali lebih berbahaya daripada karbon dioksida dalam hal memerangkap panas di atmosfer bumi. Selain itu, sektor agrikultur juga bertanggung jawab atas penggunaan 70% air bersih yang digunakan di seluruh dunia. Sehingga, membuang makanan yang tidak termakan sama saja dengan menyia-nyiakan air yang kini makin langka.

Menyambut Idulfitri dengan semangat perbaikan dan peningkatan diri, sudahkah kita meminta maaf pada bumi karena telah berkontribusi pada bertambahnya limbah pangan? Bila sudah meminta maaf, sudahkah permintaan maaf tersebut dibarengi dengan komitmen untuk berperilaku lebih baik? Yuk simak beberapa tips dan trik untuk mengurangi limbah pangan pada perayaan Idulfitri seperti di bawah ini!

  1. Memasak sesuai dengan kebutuhan. Di saat pandemi belum berakhir dan kita masih dianjurkan untuk merayakan Idulfitri di rumah saja, pastikan makanan yang kita masak cukup untuk orang yang ada di rumah saja. 
  2. Hindari menumpuk makanan. Apabila berkesempatan mengambil makanan dari meja prasmanan, pastikan ambil sesuai dengan porsi makan masing-masing. 
  3. Pergunakan bahan makanan sebaik mungkin. Manfaatkan makanan yang kita beli dan cari tahu jenis makanan apa yang dapat dibekukan, disimpan, dan dikeringkan sehingga tidak ada makanan yang terbuang.
  4. Pilih bahan-bahan makanan lokal. Semakin jauh asal makanan yang kita makan, semakin besar pula emisi yang dikeluarkan dalam proses distribusi makanan tersebut. 
  5. Buatlah kompos dari sampah dapur. Dengan membuat kompos sampah organik, kita mengembalikan nutrisi ke dalam tanah. Pemrosesan sampah organik yang benar tentu dapat melindungi lingkungan. 

Jadi, sudah siapkah kita jadi pribadi yang lebih baik di Idulfitri nanti – tidak hanya bagi sesama manusia namun juga bagi lingkungan?