Konflik sumber daya alam dan agraria masih menjadi momok menakutkan bagi masyarakat sipil di Indonesia. Data Perkumpulan HuMa Indonesia per Desember 2019 mencatat 346 konflik berlangsung di 166 kabupaten/kota di 32 provinsi. Luas daerah terdampak mencapai 2,3 juta hektar melibatkan 1,1 juta jiwa masyarakat adat dan lokal. 

Perkebunan dan kehutanan dari tahun ke tahun masih menjadi sektor dengan konflik tertinggi. Setidaknya ada 161 konflik konflik perkebunan di 654 ribu hektar lahan dan berdampak pada 49.858 jiwa. Sedangkan 92 konflik di sektor kehutanan berada di 1,2 juta hektar lahan dengan 586.349 korban. 

Konflik-konflik ini tak bisa dilepaskan dari masifnya laju investasi yang tidak selalu berujung pada kesejahteraan masyarakat. Hadirnya perusahaan dalam sektor kehutanan seringkali menjadi pemicu konflik agraria dan tenurial. 

Tak sulit sebetulnya merancang program yang memenuhi kebutuhan masyarakat termasuk ekonomi, misalnya dengan perhutanan sosial. 

BACA JUGA: Sektor Kehutanan, Tulang Punggung Mitigasi NDC Indonesia

Perhutanan sosial adalah salah satu upaya pemerintah untuk menekan konflik tenurial. Dengan lima skema yakni Hutan Desa (HD), Hutan Kemasyarakatan (HKm), Hutan Tanaman Rakyat (HTR), Hutan Adat (HA) dan Kemitraan Kehutanan (KK), perhutanan sosial diharapkan bisa berperan, selain untuk menekan laju emisi gas rumah kaca, juga untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat sekitar hutan. 

Selain memberikan kepastian hukum bagi masyarakat, efek ekonomi yang didapat masyarakat juga tak sedikit. Dalam berbagai kesempatan Presiden Joko Widodo sering menyampaikan bahwa program perhutanan sosial memang ditujukan untuk meningkatkan kondisi ekonomi masyarakat di sekitar hutan. Ini penting mengingat berbagai ketimpangan sosial ekonomi yang tinggi dan seringnya masyarakat kecil terpinggirkan karena konflik lahan. 

Jika ini dikembangkan dengan cepat dan efektif, tentu juga dapat bekontribusi dalam pencapaian target Nationally Determined Contribution (NDC) Indonesia yakni ikut mengurangi 29% emisi gas rumah kaca pada 2030. 

Beberapa studi menunjukkan bahwa intervensi pehutanan sosial memberikan dampak ekonomi yang menggembirakan. Studi Yayasan Madani Berkelanjutan di tiga wilayah di Kesatuan Penguasaan Hutan (KPH) Bukit Barisan, Sumatera Barat menunjukkan, perhutanan sosial berpotensi menurunkan emisi dari degradasi  483.914 tCO2, setara 3.866 hektar, atau 0,05 persen dari target 7,649 juta hektar target penurunan degradasi pada 2030.

BACA JUGA: Perdagangan Karbon Jangan Abaikan Masyarakat Adat dan Lokal

Menurut para pemangku kepentingan, dengan intervensi perhutanan sosial, kegiatan ilegal logging di daerah ini turun hingga 84 persen. Ini tak lepas dari tingginya keterlibatan para pihak dalam membangun kesadaran dan memfasilitasi masyarakat dalam mengembangan kegiatan ekonomi pengganti. Mulai dari pengurus perhutanan sosial sendiri, kepala desa (wali nagari), lembaga adat, pengurus KPH, LSM pendamping dan penyuluh Dinas Kehutanan. 

Tak hanya itu, komunikasi dan kerja sama antar pihak juga sangat menentukan efektivitas program perhutanan sosial. Perlu kesamaan pandangan dan visi. Di Sungai Buluh program perhutanan sosial yang semula berjalan baik, sempat tak berjalan efektif karena adanya konflik lokal antara pengurus dan wali nagari yang baru. 

Berbeda dengan dua kelompok lainnya, di Sungai Nyalo Mudiak Air Kabupaten Pesisir Selatan dan Gamaran, Padang Parimana, yang dapat membangun komunikasi baik antar pihak sehingga akhirnya bisa mengembangkan alternatif mata pencaharian baru yakni pengelolaan rotan dan pariwisata berbasis alam. 

Hal yang menggembirakan adalah pendapatan baru masyarakat tak jauh berbeda dengan saat mereka mengandalkan illegal loging. Masyarakat yang biasanya dapat Rp1,9 juta per bulan dari menebang kayu hutan, tetap bisa menghasilkan Rp1-1,5 juta dari rotan atau pariwisata. Kelebihannya mata pencaharian baru mereka tak jauh dari rumah, berisiko rendah, perputaran uang lebih cepat, diakui pemerintah dan masyarakat mengerjakannya dengan lebih tenang karena tak melanggar aturan. 

Bonus lainnya tentu saja penurunan emisi. Tanpa intervensi perhutanan sosial hingga 2030 diperkirakan deforestasi mencapai 574,3 hektar dengan emisi 399.368 tCO2. Masih ada potensi emisi yang bisa ditekan sebesar 338,3 hektar atau setara 235.254 tCO2. 

Sementara dari degradasi, karena semakin ditekannya kegiatan illegal loging, diperkirakan mencapai 483.941 tCO2e. 

Sinergi program perhutanan sosial dengan kegiatan rehabilitasi lahan juga dapat mendorong percepatam upaya revegetasi. Jika tak ada revegetasi, tahun 2030 luas lahan cadangan karbon rendah masih cukup luas, 43 ribu hektar.

Tapi jika ada sedikit saja upaya, misal mengembangkan upaya agroforestry di kawasan Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH), setidaknya akan ada 584 hektar lahan dapat direvegetasi. Ini setara serapan karbon 296.983 tCO2. 

Contoh lain dari Hutan Kemasyarakatan (KHm) di Beringin Jaya, Lampung. Hasil uji panduan evaluasi perhutanan sosial yang dikembangan World Research Institute (WRI) Indonesia di daerah ini menunjukkan HKm terbukti mampu menekan laju kehilangan tutupan lahan, meningkatkan kesejahteraan dan menurunkan ketimpangan antar masyarakat karena tingginya ketergantungan masyarakat terhadap hutan. 

Beberapa produk kelompok usaha perhutanan sosial (KUPS) di Sumatera Selatan seperti olahan jahe pinang muda, madu, kopi, minyak aroma terapi, dan serai wangi juga telah memasuki pasar dan supermarket. Pengembangan produk ini juga didukung penuh oleh KPH. 

Kisah lain yang tak kalah menarik datang dari Kabupaten Bungo, Provinsi Jambi. Pada 2018, warga desa di sekitar kawasan hutan lindung Bukit Panjang Rantau Bayur (Bujang Raba) bisa menikmati 36  ribu USD atau sekitar Rp400 juta untuk 6.000 ton cadangan karbon (carbon sink) yang disimpan oleh hutan ini. Dana ini didapatkan dari TUI Airways, sebuah perusahaan penerbangan Eropa yang membeli cadangan karbon masyarakat Bungo. Praktik membeli cadangan karbon ini lazim dilakukan perusahaan-perusahaan yang ingin meng-offset atau menyeimbangkan jejak karbon yang dihasilkan berbagai kegiatan perusahaannya.

Cerita Bujang Raba ini terdapat dalam buku Untung Widyanto “Menjaga Hutan, Merawat Iklim: Praktik Terbaik Perhutanan Sosial Dalam Menjaga Iklim Bumi” bersama beberapa kisah sukses lainnya seperti Kelompok Tani Hutan Kemasyarakatan Mandiri di Kalibiru, Kulon Progo yang berani merambah ekonomi baru berupa jasa lingkungan yang produktif.

Tesis Andy Arsalan (2017) dalam tesisnya untuk Pascasarjana Universitas Sebelas Maret menemukan nilai ekonomi pertanian di wilayah ini mencapai Rp 39.687.500 per tahun, nilai ekonomi ekowisata sebesar Rp712.331.189.711 per tahun dan nilai ekonomi simpanan karbon sebesar Rp 104.853.479,93 per tahun, yang sebagian besar diperoleh dari pohon dominan antara lain jati, sonokeling, pinus, kayu putih dan mahoni.

Selain itu juga ada Kelompok Hutan Kemasyarakatan Tani Manunggal, Desa Bleberan, Kabupaten Gunungkidul yang mendapat kenaikan pendapatan baik dari agro wisata, produksi tumpang sari dan produksi jati yang didukung oleh pemerintah kabupaten Gunung Kidul. 

BACA JUGA: Menilik Keberpihakan Regulasi Indonesia Terhadap NDC

Penelitian yang Xezly Fegis Zulevi (2018) pada Lembaga Pengelola Hutan Nagari Simancuang, Kabupaten Solok Selatan bahwa setelah dikukuhkan sebagai hutan desa persentase rumah tangga responden hutan nagari Jorong Simancuang yang memiliki pendapatan lebih dari Rp 52.876.000 per tahun hanya 3,3 persen. Namun setelah ditetapkan sebagai hutan desa, persentase mencapai 23,3 persen. 

Begitu juga di Hutan Desa Bentang Pesisir Padang Tikar yang mengalami diversifikasi mata pencaharian masyarakat melalui budidaya madu kelulut dan madu mangrove dengan total omzet Rp1,2 miliar/7 bulan dan eningkatan nilai tambah produk dari pemanfaatan limbah batok kelapa menjadi arang dengan total omzet Rp 3,3 miliar/6 bulan.

Temuan beberapa peneliti Universitas Indonesia, Institut Pertanian Bogor dan Universitas Padjajaran di enam wilayah adat lain juga menunjukkan bahwa nilai ekonomi pengelolaan sumber alam lestari menghasilkan Rp 159,21 miliar per tahun, dan jasa lingkungan sampai Rp 170,77 miliar per tahun. 

Semua ini membuktikan bahwa kekayaan hutan dan masyarakat adat berikut budaya dan kearifan lokalnya yang difasilitasi oleh perhutanan sosial adalah model ekonomi yang unik dan menjanjikan.