Pernahkah anda merasakan merasakan suhu di luar rumah anda terasa begitu dingin seperti di pegunungan saat anda bangun di pagi hari dan membuka jendela kamar? Apakah anda pernah bertanya mengapa akhir-akhir ini suhu di pagi hari lebih dingin dari biasanya?
Ya, beberapa minggu belakangan ini sebagian wilayah di Indonesia terasa lebih dingin di pagi dan malam hari dari hari-hari biasanya. Hal ini lumrah terjadi ketika hendak menuju puncak musim kemarau.
Fenomena perubahan suhu ini pun ramai dibicarakan warganet. Beberapa dari mereka mempertanyakan apakah fenomena ini wajar atau bertanda suatu bencana?
Menjawab hal itu, Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) melalui akun Instagramnya @infobmkg menjelaskan bahwa fenomena perubahan suhu menjadi lebih dingin ini disebut “bediding”. Bediding berasal dari bahasa Jawa yang ditulis dengan bedhidhing yang merujuk pada istilah perubahan suhu yang mencolok khususnya pada musim kemarau. Tentu saja tidak perlu khawatir, karena bediding ini adalah fenomena alamiah yang biasa terjadi ketika musim kemarau mencapai puncaknya di bulan Juni- September.
BACA JUGA: Inilah 4 Politisi Indonesia yang Peduli Lingkungan dan Krisis Iklim
Saat ini beberapa wilayah di Indonesia seperti Jawa, Bali hingga Nusa Tenggara Timur (NTT) sedang berada pada periode puncak kemarau. Mengutip dari Tirto.id, periode ini terjadi oleh pergerakan angin yang bertiup dominan dari arah timur yang berasal dari benua Australia. Hal ini lantaran Australia sedang mengalami musim dingin sehingga angin yang bertiup juga memengaruhi suhu udara wilayah yang dilalui. Secara ilmiah, angin ini disebut monsun dingin Australia. Fenomena ini berarti pola tekanan udara yang lebih tinggi di Australia menyebabkan pergerakan massa udara dari Australia menuju Indonesia.
Perjalanan angin monsun Australia menuju Indonesia melewati perairan Samudera Indonesia yang memiliki suhu relatif lebih dingin dibanding perairan lainnya sehingga, mengakibatkan suhu di beberapa wilayah Indonesia, khususnya bagian selatan khatulistiwa seperti Bali, NTB, NTT terasa lebih dingin pada malam dan pagi hari.
Wilayah yang sering mengalami fenomena bediding merupakan wilayah yang tipe hujannya monsunal, yaitu pola hujannya mengalami puncak di sekitar Desember – Februari dan mengalami kondisi kering dengan hujan minimal pada Agustus – Oktober, seperti yang banyak terjadi di Indonesia bagian selatan, yaitu Sumatera Selatan, Lampung dan Jawa.
Selain pengaruh angin, cuaca dingin saat ini juga disebabkan oleh pelepasan panas ke permukaan bumi. BMKG menyebutkan, perubahan suhu yang cenderung lebih dingin terjadi saat malam hari, karena saat malam hari pelepasan suhu panas ke atmosfer berada pada titik maksimal. Cuaca cerah juga mendukung transfer panas ke atmosfer, karena tidak adanya awan yang menghalangi proses pelepasan panas dari bumi.
Fenomena bediding ini dalam pengetahuan tradisional masyarakat Jawa dapat diprediksi lewat Pranata Mangsa, yaitu kalender tradisional pertanian Jawa. Dengan memperhatikan tanda-tanda alam, petani dapat menentukan waktu yang tepat untuk memulai dan melaksanakan kegiatan pertaniannya. Namun seiring dengan pergeseran musim karena adanya perubahan iklim, pranata mangsa mulai kehilangan relevansinya.
BACA JUGA: Pembangunan Ekonomi Tanpa Merusak Lingkungan? Yok, bisa yok!
Fenomena udara dingin atau bediding adalah hal wajar, namun, kewaspadaan harus tetap dijaga. Hal ini juga merupakan peringatan dari alam bahwa masyarakat harus bersiap untuk menghadapi musim paceklik atau kemarau. Saat musim kemarau, kesulitan air bersih akan terjadi yang menyebabkan gagal panen yang tentu berdampak pada ketahanan pangan dan kesehatan masyarakat.
Ada beberapa cara yang dapat dilakukan untuk mengantisipasi kondisi buruk pada musim kemarau ini, salah satunya adalah menghemat air dan memastikan stok pangan untuk beberapa bulan ke depan. Tidak dapat dimungkiri juga, musim kemarau yang makin parah ini disebabkan oleh perubahan iklim yang semakin mengkhawatirkan.[ ]