Badan PBB, Panel Antarpemerintah tentang Perubahan Iklim (Intergovernmental Panel Climate Change/IPCC) di 2021 ini baru saja mengeluarkan laporan tentang krisis iklim yang memprihatinkan kita semua. Bagaimana tidak, laporan terbaru itu menyatakan pemanasan bumi terjadi lebih cepat dari perkiraan.
Ini artinya bencana ekologi yang sering diprediksi datang bersamaan dengan krisis iklim akan segera menghampiri kita semua. Beberapa waktu yang lalu misalnya, Presiden Amerika Serikat (AS) Joe Biden berbicara mengenai kemungkinan ibu kota Indonesia, Jakarta tenggelam dalam kurun waktu 10 tahun mendatang akibat krisis iklim.
Celakanya, bukan hanya Jakarta yang terancam tenggelam. Menurut Lembaga Riset Kebencanaan IA-ITB, Kota Pekalongan, Semarang dan wilayah pesisir Demak memiliki potensi tenggelam akibat krisis iklim. Menurut lembaga riset itu, secara keseluruhan terdapat 112 kabupaten/kota berpotensi tenggelam.
BACA JUGA: Mengayuh Sepeda, Menambah Imun Mengurangi Jejak Karbon
Kini, di Indonesia, frekuensi terjadinya bencana ekologi akibat krisis iklim juga sudah semakin sering. Berdasarkan data BNPB, di 2020 telah terjadi 2.925 bencana di Indonesia, yang didominasi bencana hidrometeorologi. Dengan rincian, kejadian banjir sebanyak 1.065 kejadian, angin puting beliung sebanyak 873 dan tanah longsor 572 kejadian.
Saya seorang ayah yang memiliki anak kecil. Saya tidak ingin anak saya mengalami bencana ekologi akibat krisis iklim ini. Sebagai seorang ayah, tentu saya harus berbuat sesuatu. Menggunakan transportasi massal sudah. Menggunakan sepeda juga sudah. Menurut saya itu tidak cukup untuk memperlambat laju krisis iklim. Lantas, apa yang bisa saya lakukan? Mau melakukan penanaman pohon, tidak punya kebun?
Di tengah kebingungan itu, saya pun berselancar di internet. Eh, saya menemukan sebuah laporan lembaga urgewald yang berbasis di Jerman menunjukkan sebanyak 6 (enam) bank nasional Indonesia tercatat masih memberi pinjaman ke perusahaan batu bara yang terdaftar pada Global Coal Exit List (GCEL) 2020. GCEL merupakan database perusahaan yang beroperasi di sepanjang rantai nilai thermal batubara. Data ini diproduksi oleh Urgewald dan bisa dilihat di laman www.coalexit.org. Salah satu bank nasional yang mendanai proyek energi kotor itu adalah bank BUMN seperti Bank Mandiri, BNI, BTN dan BRI.
Saya paham sekali bahwa batu bara ini adalah energi kotor. Selain membahayakan kesehatan, emisi dari batu bara ini juga berkontribusi pada peningkatan gas rumah kaca (GRK), penyebab krisis iklim. Lihat saja laporan dari ESDM (Data Inventory Emisi GRK Sektor Energi), pada tahun 2015 pembangkit listrik menghasilkan emisi GRK sebesar 175,62 juta ton CO2. Emisi paling besar berasal dari pembakaran batubara sebesar 70%.
Jika dianalogikan tubuh manusia sektor perbankan adalah jantung. Secara umum fungsi jantung yang utama adalah memompa darah ke seluruh tubuh. Dalam siklus ekonomi, darah ini dapat dikatakan sebagai uang. Dapat dibayangkan bila kemudian uang dari sektor perbankan itu dialirkan ke industri kotor penyebab krisis iklim.
Setelah membaca laporan tentang bank-bank yang masih mendanai energi kotor itu, saya langsung mengambil buku tabungan. Saya tidak mau ikut mengundang bencana iklim melalui uang di tabungan salah satu bank yang mendanai batu bara itu.
BACA JUGA: Menjaga Bumi Dimulai dari Hal Kecil, Merlin Sudah Lakukan Itu, Kalian?
Bismilah, saya segera bergegas naik sepeda menuju kantor bank tersebut. Hari itu juga saya tutup buku tabungan dan memindahkan dana ke bank-bank yang tidak mendanai proyek batu bara. Sambil meninggalkan kantor bank tersebut, dalam hati saya berkata, ”Maaf, bank kalian tidak akan bisa melompat lebih tinggi, bila masih mendanai energi kotor batu bara.”
Plong rasanya, hati saya setelah menutup tabungan dari bank-bank yang mendanai proyek energi kotor batu baru. Inilah salah kontribusi kecil saya dalam menyelamatkan bumi dari bencana ekologi, krisis iklim. Semoga lebih banyak lagi nasabah sektor perbankan yang berani mendesak bank-bank tempat mereka menyimpan uang untuk menghentikan pendanaan ke proyek-proyek energi kotor batu bara.
Penulis: Firdaus Cahyadi
Foto utama: Kawasan penambangan batu bara Desa Sumber Batu, Kecamatan Meureubo, Aceh Barat, Aceh. Foto diambil dari laman Katadata.co.id