Masih ingat dengan kebakaran hutan dan lahan (karhutla) hebat 2015? Selang lima tahun berlalu, meski berbagai upaya dilakukan pemerintah untuk mencegah karhutla, kebakaran masih saja terjadi. Berbagai kajian menunjukkan restorasi gambut, konsesi sawit dan hutan tanaman industri (HTI) masih menjadi kunci untuk betul-betul mencegah kebakaran terus terjadi di musim kering. 

Temuan Yayasan Madani Berkelanjutan, tutupan lahan yang paling banyak terbakar pada 2019 adalah lahan non-hutan, terdiri dari semak belukar rawa 538 ribu hektar, savana 179 ribu hektar dan perkebunan 159 ribu hektar. Sementara luas hutan alam yang terbakar relatif kecil, 74 ribu hektar atau 4,6% dari total area terbakar pada tahun ini. 

Data ini mestinya menjadi peringatan bahwa hutan alam yang baik harus dipertahankan agar tak mudah terbakar di musim kering. Sementara lahan yang sudah terbuka atau hutan yang terdegradasi berisiko lebih tinggi untuk terbakar, terutama yang berada di ekosistem gambut. 

BACA JUGA: Tantangan Masyarakat Mengakses Dana BPDLH 

Sepanjang tahun lalu area terbakar yang berada di ekosistem gambut cukup signifikan, baik yang berada di dalam konsesi sawit dan HTI maupun di area Peta Indikatif Penghentian Izin Baru (PIPPIB) dan Peta Indikatif Areal Perhutanan Sosial (PIAPS).  

Madani mencatat 44% karhutla selama 2019, terjadi di areal fungsi ekosistem gambut seluas 727 ribu hektar. Mayoritas terjadi di ekosistem gambut dengan fungsi lindung. Ini tentu sangat berbahaya karena kebakaran di lahan gambut sulit dipadamkan dan mengeluarkan emisi jauh lebih besar dibanding kebakaran di lahan mineral. Kebakaran gambut menimbulkan asap sangat beracun dan membahayakan kesehatan manusia. 

Lebih dari satu juta hektar atau sekitar 63% area yang terbakar tahun lalu juga adalah wilayah kebakaran baru. Paling banyak terjadi di Kalimantan Tengah disusul Sumatera Selatan dan Kalimantan Barat. 

Menariknya, tiga provinsi ini juga merupakan provinsi dengan laju penambahan luas sawit tertanam yang sangat tinggi dalam periode 2015-2018. Kalimatan Barat tertinggi, dengan laju 129 ribu hektar per tahun disusul Kalimantan Tengah 123 ribu per tahun. Sementara Sumatera Selatan 78 ribu hektar per tahun. 

Jelas ada korelasi antara tingginya laju penambahan luas sawit dengan besarnya luas area terbakar baru di tiga provinsi ini. 

Sementara provinsi dengan ekosistem gambut yang luas dan menjadi provinsi prioritas restorasi gambut 2016-2020, juga menjadi dua provinsi dengan area terbakar terluas, yakni Sumsel dan Kalteng. Jika dilihat dengan indikator kabupaten, wilayah terluas terbakar berturut-turut yakni Ogan Komering Ilir (Sumsel), Merauke (Papua), Ketapang (Kalbar), Pulang Pisau dan Kapuas (Kalteng). 

Sementara itu kebakaran di kawasan hutan, didominasi oleh kebakaran di hutan produksi (61,5%). Kawasan konservasi dan lindung juga masih mengalami kebakaran dengan mayoritas terjadi di wilayah yang sudah menjadi konsesi skala besar untuk sawit, hutan tanaman industri (HTI), dan logging. Di kawasan hutan, kebakaran HTI terbesar. 

Meskipun harusnya dilindungi, Madani juga mencatat masih terjadi kebakaran di area PIPPIB, 31,35%. Kebanyakan terjadi di area yang relatif berdekatan dan bahkan tumpang tindih dengan konsesi sawit dan HTI. 

Kebakaran di area PIAPS juga masih terjadi dan disinyalir karena dekat atau tumpang tindih dengan konsesi sawit dan HTI. 

Berdasarkan olah data Madani, kebakaran di area sawit terbesar mencapai 217 ribu hektar disusul HTI 190 ribu hektar dan logging 30 ribu hektar. Kebakaran di area konsesi sawit didominasi kebakaran fungsi ekosistem gambut (59,66%) yang sebagian besar berstatus budidaya. Begitu juga kebakaran di konsesi HTI. 

BACA JUGA: Bisakah Keekonomian Perhutanan Sosial Diharapkan?

Ini menjadi petunjuk jelas bahwa restorasi gambut harus menjadi salah satu strategi utama pemerintah dan pemilik izin atau konsesi untuk mencegah karhutla. Karena itu pula strategi percepatan restorasi gambut setelah mandat Badan Restorasi Gambut (BRG) berakhir 2020 harus diperjelas. Jika diteruskan, BRG harus punya wewenang memadai untuk mengawasi pemilik konsesi karena pencapaian restorasi gambut 2016-2020 masih minim. 

Bagaimana dengan 2020? 

Trisemester pertama 2020 tercatat 12 ribu hotspot di Indonesia dengan area potensi terbakar 42 ribu hektar, tertinggi Riau (16 ribu hektar), disusul Kepulauan Riau (3,5 ribu hektar) dan Sumatera Utara (3 ribu hektar).   

Angka-angka ini menunjukkan berbagai program pencegahan karhutla tak akan ada artinya tanpa penegakan hukum yang tegas bagi perusahaan penyebab karhutla. Banyak perusahaan penyebab karhutla lolos dari sanksi administratif maupun pidana. Pun mereka yang sudah dikenai denda tak kunjung membayar pada negara. 

Temuan Jaringan Kerja Penyelamat Hutan Riau (Jikalahari) pada 2015 misalnya, ada 378 perusahaan sawit berada dalam kawasan hutan tanpa izin dari pemerintah. Ratusan perusahaan sawit ilegal ini sebelumnya sudah dilaporkan ke Polda Riau, namun tak ada perkembangan penyidikan maupun penyelidikan. 

BACA JUGA: Hibah Dana Iklim Hijau Harus Berfokus Cegah Deforestasi

Menurut Jikalahari, perusahaan-perusahaan ini diduga bertanggungjawab atas berbagai kerugian besar mulai dari karhutla, banjir, konflik warga dan kerugian negara hingga Rp37 triliun. 

Sayangnya, pada 2016 Polda Riau malah menerbitkan surat penghentian penyidikan perkara (SP3) untuk 15 perusahaan pelaku karhutla. Ia terdiri dari 11 perusahaan HTI dan 4 korporasi sawit. Ini sangat disesalkan karena karhutla telah merenggut lima nyawa warga Riau dan lebih dari 90 orang terkena infeksi saluran pernapasan atas (ISPA). 

Tak ada pilihan lain. Pemerintah perlu mengintegrasikan berbagai program perlindungan gambut seperti Desa Peduli Gambut, Masyarakat Peduli Api dan Desa Tangguh Bencana terutama di sekitar konsesi dan di area fungsi ekosistem gambut. 

Selain itu pemerintah juga perlu mencabut peraturan yang melemahkan perlindungan kubah gambut seperti Permen LHK no 10 tahun 2019.

Jika tak ada ketegasan untuk serius mengatasi karhutla, target Nationally Determined Contribution (NDC) untuk menurunkan 29% emisi pada 2030 dengan usaha sendiri, atau 41% dengan dukungan internasional, hanya tetap akan menjadi target. Pendanaan iklim hijau untuk Indonesia pun akan sulit jika Indonesia tak terlihat berkomitmen penuh mencegah karhutla terjadi lagi.