Dampak perubahan iklim semakin terasa, termasuk di Indonesia. Curah hujan tinggi dan semakin tidak menentu kerap menyebabkan banjir di beberapa daerah di Tanah Air, tak hanya di ibukota DKI Jakarta, namun juga di sejumlah daerah yang sebelumnya mungkin jarang dilanda banjir.
Tentu saja dampak perubahan iklim ini berkaitan erat dengan peningkatan suhu bumi dan produksi emisi karbon yang kian meningkat. Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR), Fabby Tumiwa mengatakan bahwa pembakaran bahan bakar fosil menyebabkan 70% emisi gas rumah kaca, diantaranya di sektor listrik, industri, dan transportasi.
Di sektor kelistrikan, Indonesia masih didominasi oleh Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) berbahan bakar batubara, di sektor transportasi juga masih didominasi oleh energi fosil seperti bahan bakar minyak (BBM). Untuk mengurangi dampak perubahan iklim yang makin ekstrem ini, maka penggunaan bahan bakar fosil harus segera diturunkan.
“Mau nggak mau, harus diturunkan bahan bakar fosil yang dipakai. Ada studi yang menyatakan kalau mau batasi kenaikan temperatur bumi di bawah 2 derajat, maka dua per tiga dari bahan bakar fosil yang dipunyai tidak bisa lagi dipakai,” papar Fabby (https://www.cnbcindonesia.com; 02 March 2021).
Ini artinya, jika pemerintah serius ingin menyelamatkan bumi demi rakyatnya, maka menjadi sebuah keharusan kedepannya Indonesia harus bisa hidup tanpa bahan bakar fosil.
BACA JUGA: Kunci Capaian Implementasi NDC di Sektor Kehutanan
“Artinya, harus kurangi bahan bakar fosil, bahkan sampai hidup tanpa bahan bakar fosil adalah keharusan, agar menyelamatkan bumi untuk generasi anak-anak kita,” tegasnya.
Fabby menegaskan, waktu yang dimiliki untuk menekan emisi gas rumah kaca semakin pendek. Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) menyebut, untuk mencapai target tersebut, maka pada 2030 sebesar 45% emisi gas rumah kaca global harus diturunkan.
Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Dadan Kusdiana mengatakan, setidaknya ada tujuh cara dalam menekan emisi gas rumah kaca di Tanah Air dari bahan bakar fosil.
Pertama, terkait sektor transportasi, Kementerian ESDM berupaya mempercepat program kendaraan listrik, dengan menyiapkan mulai dari kebutuhan hulunya. Selain itu, Kementerian ESDM juga menyiapkan dari sisi pengisian daya (charging) dengan membangun Stasiun Pengisian Kendaraan Listrik Umum (SPKLU).
“Terkait dengan infrastruktur kendaraan listrik, harus diatur dari sisi standar dan keselamatan, segala jenis kendaraan listrik bisa dicas dengan baik di setiap SPKLU-nya, bagaimana proses perizinan dan sertifikasi laik operasi,” paparnya.
Kedua, adalah sektor bangunan gedung. Perlu diperhatikan bagaimana membuat gedung menjadi hemat energi, namun tidak melupakan aspek kenyamanan. Ketiga, adalah di sektor rumah tangga, yakni penggunaan peralatan yang hemat energi.
Keempat, Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) Atap. PLTS Atap sudah banyak dilakukan baik dalam skala besar dan skala kecil. Kelima, melalui bahan bakar berbasis non fosil yakni biofuel, seperti biodiesel maupun bio gasoline. Keenam, melalui penerangan jalan umum (PJU). Dan Ketujuh, adalah pengolahan sampah.
Manfaatkan Energi Baru Terbarukan
Untuk mengurangi penggunaan energi fosil di kalangan industri bisa memanfaatkan energi baru terbarukan (EBT). Pemanfaatan energi baru terbarukan (EBT) bagi pelaku industri dari berbagai sektor bisnis dinilai dapat mengakselerasi tercapainya green economy atau ekonomi hijau di Indonesia (https://www.liputan6.com; 21 Oktober 2021).
Salah satu upaya yang dapat dilakukan yaitu dengan membangun kawasan industri hijau yang nantinya didukung oleh sumber energi terbarukan seperti PLTS Atap, sehingga produk yang dihasilkan termasuk dalam kategori produk hijau (green product).
BACA JUGA: Banyak Manfaat Hutan Bagi Kehidupan, Tapi Apakah Kita Sudah Menjaganya?
Selain mampu mengurangi penggunaan energi fosil di kalangan industri, pemanfaatan EBT juga mampu menyerap dan menciptakan lapangan kerja baru. Hal ini sejalan dengan prinsip ekonomi hijau yakni mendukung pertumbuhan ekonomi tanpa mengeksploitasi sumber daya alam sehingga akan berdampak baik bagi lingkungan di masa depan.
Badan Energi Terbarukan Internasional atau IRENA mencatat, sektor energi terbarukan tahun lalu menciptakan 11,5 juta pekerjaan secara global dimana 3,8 juta pekerjaan berasal dari energi surya. IRENA juga menyebutkan, sebesar 63 persen pekerjaan baru tersebut berada di Asia dan menjadi pemimpin pasar energi terbarukan.
Managing Director Xurya Daya Indonesia Eka Himawan menyatakan, setiap proyek instalasi PLTS Atap yang dikerjakan, tidak hanya melibatkan tenaga kelistrikan, tetapi ada banyak tenaga kerja yang terlibat didalamnya.
“Jadi selain bertanggung jawab terhadap keberlanjutan lingkungan, setiap pelaku industri yang melakukan instalasi PLTS Atap secara tidak langsung juga menyerap tenaga kerja baru, sehingga akan tercipta pertumbuhan ekonomi yang inklusif,” tutur Eka.
Tetapi, terciptanya lapangan kerja yang inklusif ini juga perlu didukung oleh kebijakan komprehensif dari berbagai pihak dengan menyediakan pendidikan dan pelatihan para pekerja di sektor energi hijau. Selain itu dukungan pemerintah dalam merumuskan kebijakan strategis berorientasi jangka panjang juga diperlukan untuk meningkatkan iklim investasi di sektor EBT.
Memanfaatkan Energi Panas Bumi
Selain meningkatkan penggunaan sumber energi surya, Indonesia juga bisa meningkatkan pemanfaatan energi panas bumi. “Energi geothermal termasuk energi non-fosil yang dapat dikembangkan untuk mengurangi produksi emisi karbon. Energi panas bumi termasuk kategori green energy dan ramah lingkungan karena emisi yang dikeluarkan jauh lebih kecil dibandingkan dengan energi fosil”, papar Merely, Kepala Bagian Keuangan dan Administrasi Star Energy Geothermal (https://feb.ugm.ac.id; 3 Agustus 2020).
BACA JUGA: Hutan, Mangrove, Gambut Dirawat, Iklim Selamat
Ia mengungkapkan bahwa Indonesia memiliki sumber daya panas bumi yang sangat besar, dan apabila bisa dikembangkan akan berkontribusi positif dalam upaya pengurangan emisi karbon dan penanggulangan krisis iklim.. Ia menyayangkan bahwa kontribusi dan konsumsi energi geothermal di Indonesia saat ini masih cukup kecil, sebesar 8,17%, dan pembangkit energi geothermal di Indonesia juga masih sedikit. Menurutnya, hal ini termasuk kategori yang kecil dan belum bisa dikatakan optimal, terkait dengan komitmen Indonesia menuju target renewable energy pada tahun 2025 sebesar 23% dan pada tahun 2050 sebesar 50%.
“Economic development, environment preservation, dan reduction synergy menjadi pilar utama dari kami untuk masyarakat setempat sehingga masyarakat setempat memiliki kualitas yang bersaing, demi mewujudkan Indonesia yang ramah lingkungan”, pungkasnya.(*)
Sumber:
https://feb.ugm.ac.id/id/berita/3039-krisis-iklim-dan-peran-energi-terbarukan