Kekhawatiran masyarakat sipil penolak Omnibus Law Undang-Undang Cipta Kerja atau UU No 11 Tahun 2020, mulai terbukti. Peraturan turunan yang dikeluarkan pemerintah, seperti induknya, menunjukkan lebih jelas karakternya. 

Terbaru misal, Peraturan Pemerintah No 22 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup yang justru memberi risiko baru bagi ekosistem termasuk manusia, karena mengeluarkan fly ash dan bottom ash (FABA) dari daftar limbah beracun dan berbahaya (B3).  FABA dihasilkan dari pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batubara.   

Tak lama setelah diterbitkan, PP ini sontak menimbulkan protes dari kalangan sipil yang sebelumnya juga menolak UU Cipta Kerja. Argumennya jelas, PP ini memudahkan perusahaan mengolah limbahnya, tanpa harus repot dengan treatment dan pengujian karakteristik yang menghilangkan kandungan racun dalam FABA sebelum dimanfaatkan kembali. FABA bisa diolah dengan mudah menjadi bahan baku infrastruktur, semen, dan penimbunan lubang tambang. Praktis ini memberi keuntungan baru bagi korporasi.

BACA JUGA: Abai Hutan, UU Cipta Kerja Berpotensi Tingkatkan Deforestasi

Terlepas dari dampak kesehatan dan lingkungan, regulasi semacam ini mengingatkan kita bahwa UU Cipta Kerja akan terus memberikan dukungan untuk kelanggengan investasi tanpa peduli seberapa besar aktivitas ekonominya memicu deforestasi dan krisis iklim. 

Kita tentu masih ingat watak UU Cipta Kerja, semua penghambat investasi harus di’sederhana’kan, termasuk persetujuan lingkungan yang menjadi dasar perizinan.  Masyarakat tak perlu lagi dilibatkan, bahkan jika dianggap menghalangi bisa disingkirkan atau dipidanakan. Selain itu UU ini juga punya mind set, perlindungan lingkungan boleh saja dilemahkan demi kemudahan investasi dan usaha. 

Jika ditarik ke belakang, sebetulnya ini sudah pernah dikaji oleh Yayasan Madani Berkelanjutan yang mengidentifikasi setidaknya ada dua tipe pelemahan perlindungan lingkungan dalam UU Cipta Kerja. 

Pertama, UU ini membatasi pemangku kepentingan dalam perlindungan lingkungan hidup. 

Paling krusial karena tak ada lagi Free Prior Informed Consent (FPIC), tanggapan dari masyarakat terdampak sangat dipersempit, dan peran organisasi lingkungan sebagai penilai dalam dokumen Amdal, dihapus. 

Bermain dengan kata-kata ‘terkena dampak langsung yang relevan’ pada pasal 22 angka 4, praktis ini menekan partisipasi masyarakat untuk ikut andil memberi penolakan atau masukan atas dampak perizinan yang diberikan pemerintah. Pendeknya, jika ada kelompok masyarakat yang dinilai tak bisa diatur, tentu bisa saja dianggap dampak yang dirasakan tak relevan, dan tak perlu ditanggapi. 

Kedua, pembatasan bentuk pertanggungjawaban hukum. 

Seperti sudah diketahui, Pasal 22 UU Cipta Kerja tak memberi ruang untuk mengajukan gugatan terhadap keputusan tata usaha negara. Tak ada lagi pidana bagi pengelolaan limbah B3 yang tak sesuai aturan, hanya sanksi administratif. 

BACA JUGA: Dana Iklim Hijau dan UU Cipta Kerja, Akankah Sejalan?

Bayangkan, ketika FABA bahkan tidak lagi dimasukkan dalam daftar limbah B3 seperti yang tercantum dalam PP no 22 tahun 2021. 

Dominasi pengaturan sanksi administratif ini, menurut Madani, sangat mungkin digunakan sebagai rujukan hukum yang digunakan untuk pelanggaran hukum. 

Beberapa angka di Pasal 17 juga menghapus tanggung jawab hukum bagi mereka yang membatasi akses kawasan umum dan memberi pengecualian rencana ruang untuk proyek strategis nasional (PSN). Substansi pasal ini tentu saja, seperti yang juga disebut Madani dalam kajiannya, tidak konsisten dengan pengaturan lain soal tata ruang. 

Undang-undang ini juga tidak mengatur kewenangan pemerintah daerah untuk ikut mengendalikan pelanggaran terhadap kepentingan publik tersebut. 

Kecerobohan juga terlihat dalam klaster kehutanan dan gambut yang menghapus batas minimum kecukupan luasan hutan yang sebelumnya diatur 30% -yang selama ini saja banyak dilanggar- dan memasukkan Perhutanan Sosial sebagai bentuk pemanfaatan hutan. Belum lagi pengecualian sanksi terhadap mereka yang memanfaatkan hutan setidaknya lima tahun dan terdaftar. 

Padahal, laporan ASEAN EU 2020 menunjukkan tingkat kehilangan hutan secara keseluruhan di ASEAN melambat dari 1,2 persen per tahun pada 2000-2010 menjadi 0,26 persen per tahun pada 2011 hingga 2015. 

Studi World Research Institute berdasarkan data University of Maryland yang dirilis dalam proyek Global Forest Watch juga menunjukkan bahwa meski menempati urutan ketiga negara dengan deforestasi tertinggi, Indonesia dinilai cukup berhasil meredam laju penggundulan hutan, turun 5% dibanding 2018.

Ini tahun ketiga Indonesia mampu menekan angka kehilangan hutan primer. Kebijakan pemerintah seperti penegakan hukum untuk pelaku pembakar hutan dan fokus restorasi gambut sangat membantu capaian ini. 

Sangat disayangkan, UU Cipta Kerja dan aturan turunannya datang mementahkan semua usaha dan capaian ini. 

Lantas, apa konsekuensinya? Bagaimana jika pemerintah terus menerus mengeluarkan aturan turunan dengan semangat seperti dalam PP No 22 Tahun 2021? 

Seperti yang kemudian disimpulkan Madani dalam kajiannya, pertama, ini akan menambah ruang kebijakan untuk konversi hutan dan gambut yang berdampak pada pelemahan target komitmen nasional untuk perubahan iklim. 

Ingat, dengan diaturnya luas kawasan hutan yang harus dipertahankan, minimal 30% saja, masih ada daerah yang tak memenuhi batas minimum ini. Bayangkan jika ini tak diatur sama sekali.  

Konsekuensi lain, lemahnya relasi dengan kajian lingkungan hidup strategis serta dihapusnya kewenangan DPR untuk perubahan peruntukan yang berdampak penting.

Kedua, rentan memperluas konflik bagi masyarakat hukum adat dan lokal. 

BACA JUGA: Komitmen Iklim, Undang-Undang Cipta Kerja, dan Kebijakan yang Tidak Pro-Lingkungan

Ketiga, melemahkan tata kelola dan akuntabilitas publik di bidang pengelolaan sumber daya alam. 

Baru seumur jagung tapi alih-alih menjunjung tinggi pembenahan tata kelola bidang sumber daya alam, seperti yang diamanatkan TAP MPR IX/2001, UU Cipta Kerja justru menganggap instrumen hukum yang memenuhi prinsip keberlanjutan lingkungan hidup, demokrasi dan keadilan justru sebagai penghambat investasi dan menghalangi pasar. 

Dengan cepat dan pasti, Omnibus Law Cipta Kerja menafikan krisis iklim sebagai dampak dari kemudahan investasi yang diberikan tanpa mengindahkan apa yang disebut pembangunan berkelanjutan di mana pemenuhan ekonomi, lingkungan dan sosial mestinya harus dicapai secara bersama-sama.  

 

Foto utama: Ilustrasi asap pabrik. Sumber @detik.com