Aksi mitigasi di sektor kehutanan akan memaparkan rencana Indonesia untuk mencapai target pengurangan emisinya di sektor kehutanan. Sektor kehutanan dan perubahan lahan adalah sektor yang menyumbangkan emisi GRK terbesar di Indonesia. Alih fungsi tutupan lahan, dekomposisi gambut, dan kebakaran lahan gambut adalah tiga penyebab emisi GRK terbesar di sektor hutan dan lahan dari tahun 2010-2017.

Pengurangan Deforestasi dan Degradasi Hutan

Pengurangan deforestasi (hilangnya hutan alam) adalah aksi mitigasi utama di sektor kehutanan dengan target menekan laju deforestasi hingga berada di bawah 325.000 hektare/tahun pada periode 2020-2030.

Dalam presentasi mengenai NDC Roadmap pada bulan September 2019, Ditjen Pengendalian Perubahan Iklim (PPI) telah mengidentifikasi luas deforestasi terencana, yaitu wilayah-wilayah yang masih berhutan namun telah dibebani izin sebagaimana dapat dilihat di dalam Tabel berikut.

Sumber: Presentasi Dirjen PPI, 3 September 2019

Sebagaimana ditunjukkan dalam tabel di atas, secara total terdapat 10,5 juta hektare wilayah berhutan yang berpotensi deforestasi terencana, 5,8 juta hektare di antaranya berada di wilayah dengan arahan lindung. Dari 10,5 juta hektare tersebut, 2,9 juta hektare telah dibebani izin Hutan Tanaman Industri (IUPHHK-HT), 1,4 juta hektare telah dibebani Hak Guna Usaha (HGU) dan 1,4 juta hektare ada di wilayah Peta Indikatif Area Perhutanan Sosial (PIAPS) yang dapat diberikan izin Hutan Desa, Hutan Kemasyarakatan, Hutan Tanaman Rakyat, Kemitraan Kehutanan, dan Hutan Adat (hak milik).

Dari 2,9 juta hektare wilayah berhutan di dalam izin HTI, sekitar 1,49 juta hektare berada di arahan lindung yang seharusnya dapat dikonservasi. Sementara itu, dari 1,4 juta hektare wilayah berhutan di dalam HGU, sekitar setengahnya atau 759 ribu hektare berada di dalam arahan lindung.

Pemerintah menyusun beberapa skenario atau opsi pencegahan deforestasi terencana. Seluruh wilayah berhutan di wilayah yang telah dibebani izin/alokasi pemanfaatan disarankan untuk dikonservasi (sekitar 5,8 juta hektare) sementara untuk hutan alam yang berada di luar arahan lindung disusun beberapa opsi yang dapat dilihat di dalam tabel berikut. Namun, langkah-langkah atau opsi ini membutuhkan persetujuan dari pemilik izin dan pihak otoritas yang memberikan izin.

Sumber: Presentasi Dirjen PPI, 3 September 2019

Berdasarkan presentasi Dirjen PPI tanggal 3 September 2019 terkait implementasi NDC, beberapa opsi inovasi regulasi yang disusun pemerintah untuk mencegah deforestasi terencana adalah sebagai berikut:

Peraturan Perundang-Undangan untuk melaksanakan optimasi kawasan hutan dengan menggunakan Indeks jasa ekosistem (IJE) berdasarkan daya dukung daya tampung, keanekaragaman hayati, dan potensi karbon.  Kawasan yang telah dibebani izin yang masih berhutan alam dan berada dalam arahan lindung berdasarkan IJE harus dikonservasi.   Penetapan arahan dilakukan oleh Direktorat Jenderal Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan (PKTL) dan Pengelola KPH di bawah pembinaan dan pengawasan Menteri LHK dan Kepala Bappenas.

Peraturan Perundang-Undangan terkait pelarangan penebangan pada areal kerja HTI yang masih berhutan alam primer dan gambut, dan memberikan izin kepada pemilik HTI untuk melakukan pemanfaatan HHBK dan jasa lingkungan pada kawasan tersebut.  Penanggung jawab pelaksanaan pencegahan penebangan hutan alam primer di areal kerja HTI adalah pemilik izin HTI di bawah pembinaan dan pengawasan Direktorat Jenderal Pengelolaan Hutan Produksi Lestari (PHPL) dan Pengelola KPH.

Peraturan Perundangan terkait pengeluaran izin pemanfaatan yang harus memperhatikan nilai IJE Kawasan.  Kawasan dengan nilai IJE tinggi (arahan lindung) dan masih berhutan alam tidak boleh digunakan untuk pemanfaatan hasil hutan kayu, akan tetapi hanya untuk pemanfaatan HHBK dan jasa lingkungan lainnya.  Penangungjawab pelaksanaan ialah oleh Direktorat Jenderal Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan (PKTL), Direktorat Jenderal Pengelolaan Hutan Produksi Lestari (PHPL), dan Direktorat Jenderal Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan (PSKL)

Hutan alam dalam Kawasan yang sudah berizin dan tidak masuk ke dalam arahan lindung, bisa mendapatkan results-based payment atau RBP dari REDD+, setelah registrasi dan verifikasi dengan memperhatikan tingkat risiko.

Sementara itu, terkait pengurangan degradasi hutan, target total degradasi yang diizinkan terjadi dalam periode 2013 sampai 2030 untuk mencapai target NDC tidak boleh lebih dari 7,649 juta hektare, yaitu 7,535 juta hektare di hutan lahan mineral dan 0,114 juta hektare di hutan lahan gambut. Namun, sejak tahun 2013-2017, luas hutan primer yang mengalami degradasi telah mencapai 1,924 juta hektare, yaitu 1,844 juta ha di lahan mineral dan 0,080 juta ha di lahan gambut. Jadi luas hutan primer yang boleh mengalami degradasi untuk mencapai target NDC CM1 (target tanpa syarat) dari 2018-2030 ialah sebesar 5,725 juta hektare, sedangkan untuk mencapai target NDC CM2 (target bersyarat), luas hutan primer yang boleh mengalami degradasi tidak lebih dari 2,679 juta hektare (Dirjen PPI, 2019).

Total luas hutan primer di Indonesia adalah sekitar 45,6 juta hektare. Sebagian hutan primer berada di dalam KPH dan hutan konservasi sedangkan di luar kawasan hutan (APL) masih ada hutan primer dengan luas sekitar 1,5 juta hektare. Areal yang berada pada kawasan yang memiliki indeks risiko emisi sedang sampai sangat sangat tinggi (IBGF 1,0-2,5) mencapai 3,908 juta hektare.  Pada wilayah ini, peluang bagi hutan primer untuk mengalami degradasi secara tidak legal (unplanned degradation) tinggi.  Dengan asumsi bahwa unplanned degradation tidak bisa dihindari, maka luasan hutan primer yang masih boleh mengalami degradasi secara legal untuk mencapai target NDC CM1 tidak boleh lebih dari 5,725- 3,908 = 1,817 juta hektare, sementara target CM2 sudah terlewati.  Jadi dengan CM2, semua hutan primer yang tersisa tidak boleh lagi dimanfaatkan hasil hutan kayunya (Dirjen PPI, 2019).

Beberapa opsi pencegahan degradasi terencana yang disusun pemerintah adalah sebagai berikut: (Dirjen PPI, 2019):

Kebijakan moratorium pemanfaatan hutan primer oleh pemegang izin konsesi (Inpres Nomor 5 Tahun 2019).

Upaya pencegahan penebangan hutan alam primer secara tidak sah di areal kerja oleh pemilik izin HPH/HTI sesuai dengan amanat Peraturan Perundangan pencegahan dan pemberantasan kerusakan hutan di areal kerja HPH yang tertera pada Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013.

Kebijakan insentif bagi konsesi yang lebih 50% arealnya masih hutan primer

Pembina dan pengawas upaya pencegahan penebangan hutan alam primer secara tidak sah di areal kerja HPH adalah Direktorat Jenderal Pengelolaan Hutan Produksi Lestari (PHPL) dan Pengelola KPH.

Pengelolaan Hutan Berkelanjutan

Aksi mitigasi kedua di sektor kehutanan yang dicanangkan pemerintah adalah peningkatan implementasi prinsip-prinsip pengelolaan hutan lestari di hutan alam maupun hutan tanaman. Implementasi pengelolaan hutan secara lestari di hutan alam ditujukan untuk mengurangi degradasi hutan alam dari aktivitas logging atau pembalakan.

Direktorat Jenderal di lingkup KLHK yang bertanggung jawab atas aksi mitigasi ini adalah Direktorat Jenderal Pengelolaan Hutan Produksi Lestari (PHPL).

Berdasarkan presentasi Dirjen PPI (2019), beberapa strategi untuk mengimplementasikan NDC melalui aksi mitigasi ini adalah sebagai berikut:

Pelaksanaan Peraturan Menteri LHK Nomor P.30 Tahun 2016 tentang Sertifikasi Pengelolaan Hutan Produksi Lestari (PHPL).  Penurunan emisi melalui penerapan teknologi di mana tingkat kerusakan tegakan dan keterbukaan wilayah minimal yang masuk ke dalam Indikator 2.4 PHPL (ketersediaan dan penerapan teknologi ramah lingkungan untuk pemanfaatan hasil hutan kayu) harus dijalankan dan diperhatikan dalam proses pemberian sertifikasi

Upaya pengurangan dampak kerusakan tegakan akibat penebangan baik dengan penerapan teknologi RIL (Reduce Impact Logging, RIL) maupun melalui upaya pengayaan (Enhanced Natural Regeneration, ENR) apabila kondisi tegakan hutan setelah tebangan berada pada tingkat yang tidak memungkinkan regenerasi alami dapat menjamin keberlanjutan produksi. Dalam kaitan ini, pemilik konsesi wajib melakukan upaya ENR pada wilayah yang kondisi tegakan hutan setelah tebangan sudah berada pada tingkat yang tidak memungkinkan untuk terjadinya regenerasi alami untuk menjamin keberlanjutan produksi. Pengaturan tentang Penerapan Teknik Pemanenan Berdampak Rendah (Reduce Impact Logging) pada Areal HPH (IUPHHK-HA) sudah dituangkan dalam Peraturan Direktur Jenderal Pengelolaan Hutan Produksi Lestari Kementerian LHK Nomor P.9 Tahun 2018.

Kawasan hutan yang memiliki kondisi tutupan tajuk kurang dari 70% harus diarahkan sebagai kawasan yang perlu mendapatkan program pengayaan (ENR) dengan prioritas pada kawasan dengan tutupan hutan kurang dari 30%, sedangkan yang di atas 70% dan berada dalam pengelolaan konsesi HPH pemanfaatan kayunya harus menerapkan RIL.

Menurut Dirjen PPI (2019), di dalam upaya mencapai target penurunan emisi skenario CM1 dan CM2 penerapan sistem PHPL ditargetkan sudah mencapai sekitar 31 juta hektare pada tahun 2030.  Pada akhir tahun 2017, luas HPH sudah mencapai sekitar 19,5 juta hektare, dan sekitar 16,9 juta hektare (86%) masih berhutan alam. HPH dengan Indeks Biogeofisik (IBGF) di atas 4,0 mencapai 13,8 juta hektare dan berpotensi untuk menerapkan RIL (Reduced Impact Logging).  Dari luasan ini, yang tutupannya masih hutan primer mencapai 4,7 juta hektare. Untuk mencegah degradasi hutan primer demi mencapai target NDC CM1, hutan primer di wilayah HPH yang dapat dimanfaatkan kayunya tidak melebihi 1,8 juta hektare sedangkan luas HPH yang potensial untuk penerapan RIL adalah sekitar 10,9 juta hektare.

Rehabilitasi Hutan dan Lahan

Aksi mitigasi ketiga di sektor kehutanan adalah rehabilitasi hutan dan lahan atau RHL dengan target 12 juta hektare lahan pada 2030 atau 800.000 hektare per tahun dengan tingkat kelangsungan hidup 90%.

Direktorat Jenderal di lingkup KLHK yang bertanggung jawab atas aksi mitigasi ini adalah Direktorat Jenderal PDASHL, KSDAE, dan PSKL.

Berdasarkan data Dirjen PPI (2019), luas lahan kritis dan sangat kritis di Indonesia mencapai 10,2 juta hektare, yang tersebar di luar kawasan hutan (APL), Hutan Produksi, dan Hutan Lindung/Konservasi dalam bentuk lahan mineral (bukan gambut) sebagaimana dapat dilihat dalam Tabel berikut ini.

 

Sumber: Dirjen PPI, 3 September 2019

Pada aksi ini (rehabilitasi hutan dan lahan), Ditjen PPI juga memasukkan akselerasi pembangunan Hutan Tanaman Industri (HTI) sebagai salah satu aksi mengurangi Gas Rumah Kaca dengan asumsi bahwa pembangunan hutan tanaman industri dan hutan rakyat serta pemanfaatan kayu perkebunan untuk memenuhi permintaan kayu dapat mengurangi ketergantungan pemenuhan kebutuhan kayu dari hutan alam.

Berdasarkan data IUPHHK-HT pada tahun 2017, dari 12,5 juta hektare IUPHHK-HT, masih tersisa hutan alam seluas 3,2 juta hektare, di mana 2,6 juta hektare di antaranya berada di lahan mineral dan 545.016 hektare berada di lahan gambut (hutan gambut). Sementara itu, luas hutan tanaman sesuai izin hanya mencapai 1,7 juta hektare saja sementara sisanya adalah gabungan antara perkebunan, pertanian, badan air, kosong, atau terbangun. Luas lahan yang tidak produktif tercatat mencapai 4,5 juta hektare (lihat Tabel berikut).

 

Sumber: Dirjen PPI, 3 September 2019

Di dalam presentasi Dirjen PPI, dinyatakan bahwa berdasarkan petimbangkan daya dukung lingkungan, keanekaragaman hayati, dan cadangan karbon hutan alam yang ada di Kawasan IUPHHK-HT, sekitar 51% kawasan izin yang masih berhutan alam harus dialokasikan sebagai arahan lindung (Bappenas, 2019). Artinya paling tidak terdapat sekitar 1,6 juta hektare yang dapat diambil kayunya melalui IPK (Izin Pemanfaatan Kayu). Dengan ketentuan 1 hektare areal IPK harus dibarengi dengan realisasi penanaman HTI seluas 2 kali lipat, maka akan ada percepatan penanaman seluas 3,2 juta hektare.

Dengan dukungan kebijakan insentif dan disinsentif bagi percepatan penanaman, maka diperkirakan realisasi penanaman seluas 6,557 juta hektare akan dapat dicapai, yaitu 1,6 juta hektare dari lahan IPK, 3,6 juta hektare dari lahan mineral tidak produktif dan 1,4 juta hektare dari lahan pertanian.

Meskipun demikian, akselerasi pembangunan Hutan Tanaman Industri untuk mitigasi perubahan iklim ini merupakan kebijakan yang kontroversial karena akan menggantikan hutan alam dengan hutan tanaman (mengurangi kuota deforestasi) dan karena tingginya konflik di wilayah izin HTI atau IUPHHK-HT dengan masyarakat adat dan masyarakat lokal.

Restorasi Gambut

Aksi mitigasi keempat di sektor kehutanan adalah restorasi gambut dengan target 2 juta hektare pada tahun 2030 dengan tingkat keberhasilan 90%.

Direktorat Jenderal di lingkup KLHK yang bertanggung jawab atas aksi mitigasi ini adalah Direktorat Jenderal Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan (PPKL) bersama Badan Restorasi Gambut (BRG).

Menurut Dirjen PPI (2019), untuk mencapai target penurunan emisi dalam NDC, luas gambut yang harus direstorasi sampai pada tahun 2030 minimal 1,39 juta hektare untuk CM1 (target tanpa syarat) dan 2,908 juta hektar untuk CM2 (target bersyarat/jika ada dukungan internasional).

Pada skenario tersebut, kegiatan restorasi mencakup kegiatan pembahasan kembali (rewetting) dan revegetasi yang terutama difokuskan pada area gambut dalam yang saat ini digunakan untuk kegiatan pertanian serta lahan-lahan yang tidak produktif. Luas lahan yang tidak produktif dan pertanian di luar areal HGU dan IUPHHK-HT mencapai 3,724 juta hektare, di atas target luas NDC.

Dalam presentasinya, Dirjen PPI mencatat luas lahan gambut sebesar 13,5 juta hektare (lihat Tabel di bawah). Dari luas tersebut, sekitar 4,5 juta hektare masih berupa hutan alam (hutan gambut) dan 2,8 juta hektare telah dikonversi menjadi perkebunan. Sementara itu, 3,8 juta hektare diklasifikasikan sebagai “tidak produktif” dan 646 ribu hektare telah dikonversi menjadi hutan tanaman.

Sumber: Dirjen PPI, 3 September 2019

Target restorasi gambut yang dicanangkan dalam NDC, yakni sebesar 2 juta hektare pada tahun 2030 dengan tingkat keberhasilan 90% berbeda dengan yang dicanangkan Presiden Joko Widodo pasca-kebakaran hebat tahun 2015, yaitu lebih dari 2 juta hektare pada tahun 2020. Target seluas 2 juta hektare pada 2020 ini dibagi menjadi dua kategori, yaitu yang dilaksanakan pada area yang dikuasai negara atau masyarakat dan yang dilaksanakan di dalam area yang telah dibebani izin (area izin/konsesi). Menurut Badan Restorasi Gambut (BRG), target restorasi gambut yang berada di dalam kewenangannya hanya seluas 892.248 hektare pada tahun 2020 dan telah tercapai 87,2% yaitu seluas 778.181 hektare hingga 2019 (BRG, 2020). Sementara itu, sebagian besar target restorasi gambut harus dilaksanakan di dalam area konsesi di mana BRG hanya berwenang memberikan supervisi. Target restorasi gambut di wilayah izin/konsesi mencapai 1,7 juta hektare. Dari luas ini, menurut RPJMN 2020-2024, restorasi gambut yang telah terlaksana baru 143.448 hektare atau 8% (RPJMN 2020-2024).