Foto utama: Penggunaan kantong belanja ramah lingkungan. Sumber: Dokumentasi pribadi penulis.
Pada Agustus 2021 ini, Indonesia tengah merayakan hari kemerdekaannya yang ke-76. Seringkali menjadi pertanyaan di dalam benak kita, apakah kita sudah benar-benar merdeka? Dahulu para pahlawan mampu mengusir penjajah dengan berjuang hingga titik darah penghabisan.
Merdeka ternyata bukan hanya sebatas menang dalam peperangan fisik. Lebih dalam dari itu, makna merdeka yang sebenarnya adalah terbebas dari segala belenggu. Saat ini, tanpa kita sadari, krisis iklim juga sedang “menjajah” kita, tidak hanya bangsa Indonesia tetapi juga masyarakat di seluruh belahan dunia.
Ditambah, saat ini dunia juga sedang diselimuti banyak sekali permasalahan, mulai dari pandemi Covid-19 yang belum juga berakhir hingga bencana alam akibat krisis iklim yang tak kalah mengerikan. Sama halnya seperti pandemi, tidak ada satu negarapun yang terbebas dari ancaman krisis iklim ini.
Secara definisi, krisis iklim merupakan sebuah krisis yang disebabkan oleh perubahan iklim. Sedangkan perubahan iklim itu sendiri terjadi ketika suhu rata-rata bumi mengalami peningkatan dalam jangka waktu yang cukup lama akibat gas rumah kaca yang terjebak di stratosfer.
BACA JUGA: Kampung Iklim adalah Julukan Bagi Desaku Karena Peduli Krisis Iklim, Desamu?
Krisis iklim semakin nyata dan menjadi ancaman besar saat ini yang ditandai dengan semakin meningkatnya bencana hidrometeorologi seperti kekeringan, banjir, longsor, badai, gelombang panas hingga kebakaran hutan dan lahan. Bahkan rangkaian peristiwa yang terjadi dalam beberapa bulan terakhir ini telah mencapai rekornya dan kejadian luar biasa di tahun 2021 di antaranya turunnya salju di negara Brazil merupakan negara tropis, kebakaran terburuk di Turki, hingga banjir di Cina dan wilayah Eropa (Jerman dan Belgia) yang merupakan bencana alam terburuk di Jerman sejak enam dekade terakhir. Bencana alam tidak terjadi semata-mata karena perubahan cuaca saja, tetapi dipicu karena ulah manusia yang tidak bertanggung jawab yang turut mengambil andil besar dalam terjadinya bencana tersebut.
Agar terhindar dari krisis iklim yang lebih parah, sudah saatnya seluruh masyarakat dan pemerintah Indonesia menyadari dan mulai mengubah praktik-praktik yang berdampak buruk seperti penggunaan bahan bakar fosil, penebangan liar, penggunaan listrik dan plastik yang berlebihan, dan kebiasaan tidak ramah lingkungan lainnya karena dapat memicu terjadinya krisis iklim hingga berujung pada maraknya peristiwa bencana alam. Kesadaran diri akan kondisi bumi yang sudah sangat kritis dapat menjadi pondasi awal untuk memulai hal-hal kecil nan bermanfaat bagi kelestarian lingkungan. Sebagai bagian dari masyarakat yang cinta terhadap lingkungan, aku turut berkontribusi dalam upaya pengendalian krisis iklim dengan cara sederhana namun bermakna.
Cara pertama adalah membatasi penggunaan plastik pada kehidupan sehari-hari. Saat hendak berangkat kerja, aku membawa bekal makanan dan minuman sendiri supaya tidak menambah jumlah sampah plastik. Begitu juga saat berbelanja, aku lebih memilih membawa kantong belanja sendiri yang dapat digunakan berulang kali (reusable bag). Sampah plastik kini menjadi salah satu isu utama lingkungan.
Dalam sebuah rilis penelitian yang diterbitkan tahun 2015, para peneliti dari Universitas Georgia yang dipimpin oleh Jenna Jambeck membuat peringkat negara-negara pembuang sampah plastik terbanyak ke laut. Indonesia berada dalam posisi nomor dua di bawah Tiongkok dan berada satu peringkat di atas Filipina. Tentunya ini bukanlah sebuah prestasi yang patut dibanggakan. Jika kita terus mengabaikan fakta yang ada dan tetap konsisten melakukan kebiasaan yang tidak ramah lingkungan, maka jumlah sampah plastik akan terus bertambah. Terlebih lagi dengan adanya pandemi saat ini, begitu banyak bisnis daring yang menggunakan wadah maupun wadah plastik sehingga produksi sampah plastik meningkat signifikan.
Cara kedua adalah hemat pemakaian listrik dan air. Sebagai manusia, kita harus hemat dalam menggunakan listrik dan air. Jika kita tidak mau berhemat, maka pasokan air dan listrik akan cepat habis sehingga generasi mendatang tidak dapat menikmati air dan listrik dengan baik. Pemakaian air dan listrik yang berlebihan dapat mengurangi jumlah air bersih dan mengancam kehidupan makhluk hidup.
BACA JUGA: Gara-Gara Batu Bara, Akhirnya Saya Putuskan Pindah Buku Tabungan
Kebiasaan menghemat air dan listrik yang aku lakukan antara lain adalah mematikan peralatan listrik seperti televisi, kipas angin, komputer dan alat lainnya saat sedang tidak digunakan, mematikan lampu di pagi atau siang hari (membuka jendela agar cahaya matahari masuk dengan leluasa), menggunakan alat listrik yang berdaya rendah, memeriksa kran dan pipa air secara berkala, dan juga mandi dengan durasi waktu yang tidak terlalu lama.
Kedua cara tersebut hanyalah sebagian kecil dari upaya yang bisa dilakukan untuk menuju Indonesia Merdeka dari Krisis Iklim. Marilah kita bersama-sama berkomitmen untuk menjaga kelestarian lingkungan dengan mulai menjalankan pola hidup yang lebih ramah lingkungan. Satu langkah kecil dapat berdampak besar.
Dengan adanya aksi nyata untuk bumi pertiwi, merdeka dari krisis iklim bukan hanya impian tetapi menjadi kenyataan. Jangan sampai krisis iklim semakin parah tetapi kita semua terlambat menyadarinya sehingga dapat mengancam kehidupan anak cucu kita. Salam lestari! [ ]
Penulis: Sarah Karinda Ramadhani