Bak kisah romantis dalam sebuah novel yang kisahnya membuat para pembaca haru dimabuk kisah asmara sang tokoh, kali ini publik dibuat merasakan sensasi yang sama setelah Pemerintah Indonesia membuat keputusan untuk mengakhiri Pernyataan Kehendak (Letter of Intent/LoI) antara Pemerintah Indonesia dan Kerajaan Norwegia tentang Kerja Sama Pengurangan Emisi Gas Rumah Kaca dari Deforestasi dan Degradasi Hutan (Reducing Greenhouse Gas Emissions from Deforestation and, Forest Degradation/REDD+), terhitung mulai tanggal 10 September 2021. 

Sedih tentunya, kejadian ini membuat publik juga berada pada emosi antara sedih dan bingung, ketika hubungan sedang mesra-mesranya, salah satu pihak malah memutuskan untuk mengakhiri cerita cinta yang terjalin cukup lama. Coba bayangkan, sepasang kekasih yang sedang dimabuk asmara, tiba-tiba hubungan mereka kandas karena satu dan lain hal. 

Bayangkan, ketika banyak negara sedang sibuk-sibuknya membahas kolaborasi demi mengatasi krisis iklim yang makin mengkhawatirkan, hubungan Indonesia dan Norwegia dalam menekan laju krisis iklim dunia malah kandas di tengah jalan. Inilah yang membuat banyak pihak jadi bingung.

Dikutip dari laman Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia, tertulis bahwa keputusan tersebut diambil pemerintah setelah melalui proses konsultasi intensif dan mempertimbangkan tidak adanya kemajuan konkret dalam implementasi kewajiban pemerintah Norwegia untuk merealisasikan pembayaran Results-Based Payment (RBP) atas realisasi pengurangan emisi Indonesia sebesar 11,2 juta ton CO2eq  pada tahun 2016/2017, yang telah diverifikasi oleh lembaga internasional.

Terkait dengan hal ini, Pemerintah Indonesia juga menegaskan bahwa pemutusan kerja sama REDD+, tidak akan berpengaruh sama sekali terhadap komitmen Indonesia bagi pemenuhan  target pengurangan emisi.

BACA JUGA: Global Climate Strike, Aksi Dunia Lawan Krisis Iklim Yang Makin Menggila

Di sisi lain, Norwegia juga tetap mengapresiasi pemerintah Indonesia dalam upaya menanggulangi krisis iklim dunia. “Pada 10 September 2021, Pemerintah Norwegia menerima pemberitahuan resmi bahwa Indonesia telah memutuskan untuk mengakhiri Letter of Intent (LoI) 2010 kami tentang Kerjasama REDD+,” tulis NICFI melalui siaran pers, dikutip Sabtu (11/9).

Norway’s International Climate and Forests Initiative (NICFI) menilai, Indonesia telah menjadi pemimpin dunia dalam memerangi deforestasi tropis melalui serangkaian peraturan dan kebijakan progresif yang telah diberlakukan untuk melindungi hutan hujan negara. 

NICFI juga menyatakan harapannya untuk dapat terus mendukung upaya Indonesia dengan kontribusi tahunan yang sama signifikannya di tahun-tahun mendatang, mengingat komitmennya dalam LoI dan hasil yang mengesankan yang dicapai Indonesia.

Norwegia pun menghargai kerja sama yang telah terjalin, dan siap untuk terus mendukung upaya Indonesia dalam melindungi hutan dan lahan gambut, dengan cara yang disepakati bersama.

Kenangan Manis Indonesia-Norwegia

Sudah lebih dari 10 tahun hubungan Indonesia dan Norwegia begitu mesra dalam memerangi krisis iklim dunia. Tepatnya pada Mei 2010, LOI antara Indonesia dan Norwegia dimulai. Dalam hal ini, Norwegia memiliki komitmen untuk berkolaborasi dengan memberikan pendanaan iklim sebesar $1 miliar untuk mengurangi deforestasi dan degradasi hutan di Indonesia demi menekan emisi gas rumah kaca. 

Angka yang terbilang besar tersebut pun diwujudkan Norwegia dengan pembayaran tahap pertama dengan nominal sebesar US$ 200 juta. Namun, lantaran pembayaran sisa dari total komitmen yang sendat, akhirnya disinyalir menjadi salah satu penyebab keretakan hubungan mesra keduanya. Padahal, kolaborasi hebat kedua negara ini telah menghasilkan banyak perubahan besar dalam menekan laju krisis iklim.

Coba ingat kembali, berkat kolaborasi ini lahirlah sebuah kebijakan yang sangat berpihak kepada hutan Indonesia, nama kebijakan itu adalah Inpres Moratorium Hutan. Sejarahnya, pada 2011, regulasi ini diterbitkan dengan nama Inpres Nomor 10 tahun 2011 tentang Penundaan Pemberian Izin Baru dan Penyempurnaan Tata Kelola Hutan Alam Primer dan Lahan Gambut. Setelah berlaku selama dua tahun, kebijakan ini pun diperpanjang dengan terbitnya Inpres Nomor 6 tahun 2013 dan kemudian diperpanjang lagi oleh INPRES Nomor 8 tahun 2015. Terakhir, regulasi ini dipermanenkan dengan Inpres Nomor 5 Tahun 2019 tentang Penghentian Pemberian Izin Baru dan Penyempurnaan Tata Kelola Hutan Alam dan Primer dan Lahan gambut. Sungguh perjalanan panjang yang berbuah manis.

BACA JUGA: Satu Miliar Anak di Dunia Terancam Krisis Iklim, Apa Kata Dunia?

Setelah itu, muncul lagi kebijakan satu peta demi menyelesaikan permasalahan sengkarut lahan. Terjadinya peningkatan wilayah hutan yang dapat dikelola rakyat salah satunya melalui program perhutanan sosial dan hutan adat. Juga ada kerangka pengaman atau safeguards yang mencakup aspek tata kelola, sosial, dan lingkungan telah menjadi bagian tidak terpisahkan dari REDD+ sejak awal yang tentunya sangat menghormati masyarakat adat dan lokal. 

Kemudian yang paling membahagiakan adalah adanya penurunan deforestasi secara signifikan di Indonesia. Terbaru, Indonesia berhasil menurunkan deforestasi 75,03% di periode 2019-2020, hingga berada pada angka 115,46 ribu ha. Angka ini jauh menurun dari deforestasi tahun 2018-2019 sebesar 462,46 ribu ha. Sungguh kerja sama yang harmonis dan kenangan yang manis.

Sekarang, kisah keduanya dalam kolaborasi memerangi krisis iklim telah berakhir. Meskipun tetap komitmen pada iklim, tapi keduanya kini tidak lagi terikat dalam satu hubungan. Tidak tahu apa yang akan terjadi di kemudian hari. Namun, banyak pihak masih berharap adanya kemungkinan cinta yang bersemi kembali. Hal ini bisa saja terjadi, Norwegia sekarang punya perdana menteri baru, partai buruh yang terkenal sangat peduli terhadap lingkungan, kembali memimpin negara skandinavia ini. Siapa yang tahu, bisa saja tiba-tiba ada kabar rujuk antar keduanya.