Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UU Ciptaker atau CK) akhirnya diundangkan pada 2 November 2020. UU ini bertujuan untuk menciptakan lapangan kerja dan meningkatkan minat investasi asing dan dalam negeri dengan mengurangi persyaratan peraturan untuk izin usaha dan pembebasan tanah. UU ini juga disebut sebagai undang-undang sapu jagat atau omnibus law karena memiliki panjang 1.187 halaman dan mencakup banyak sektor.
Dengan UU Cipta Kerja ini bermacam UU pun diubah, termasuk UU Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, serta UU Kehutanan. Dalam proses pengesahan Undang-Undang Cipta Kerja ini menuai banyak kritik karena kekhawatiran akan merugikan hak-hak pekerja serta meningkatkan deforestasi di Indonesia dengan mengurangi perlindungan lingkungan. Rangkaian unjuk rasa untuk menolak undang-undang ini pun masih berlangsung dan menuntut agar undang-undang ini dicabut.
Melalui kertas kebijakan catatan kritis terhadap Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, Tim Ahli dari Fakultas Hukum, Universitas Gadjah Mada (UGM) menyampaikan hasil kajiannya bahwa ada bidang-bidang tertentu masih sangat problematik.
Menurut hasil kajian ini, ada perubahan substansi pembahasan sejak draft RUU Inisiatif per 3 Februari dengan UU yang disahkan oleh DPR per 5 Oktober. Hanya saja perubahan substansi tidak terlalu signifikan dilihat dari bidang-bidang yang selama ini menjadi sorotan FH UGM yaitu bidang-bidang yang berpengaruh terhadap hajat hidup masyarakat, terutama masyarakat yang rentan dan marginal.
BACA JUGA: Untuk Capai Target NDC, Tiga Kelembagaan Perlu Dibentuk di Daerah
UU Cipta Kerja lebih memberikan perhatian pada bidang-bidang yang memudahkan investasi dengan penekanan pada aspek ekonomi, namun meninggalkan aspek lingkungan dan sosial. Upaya menguatkan aspek ekonomi yang tidak memikirkan dimensi keadilan sosial dan berkelanjutan akan memberi dampak semakin terjadinya kesenjangan sosial, kerentanan sosial, dan eksploitasi termasuk eksploitasi sumber daya alam.
Hasil kajian terkait Kehutanan menunjukan bahwa UU Cipta Kerja menimbulkan dua persoalan besar yang mengubah karakter dasar dari Undang-Undang Kehutanan, yaitu meninggalkan semangat resolusi konflik dan upaya konservasi sumber daya hutan. Pertama, munculnya ketentuan “daerah yang strategis” yang akan diprioritaskan dalam percepatan pengukuhan kawasan hutan dengan tujuan untuk membuka ruang investasi sebesar-besarnya. Kedua, adanya perubahan yang menghilangkan batasan 30% luas kawasan hutan dari DAS, pulau atau wilayah administrasi provinsi. Hal ini diikuti dengan dihilangkannya peran DPR dalam memberikan persetujuan untuk perubahan peruntukan dan fungsi kawasan hutan, dan penggunaan kawasan hutan untuk pembangunan di luar kegiatan kehutanan (infrastruktur jalan raya, waduk/bendungan, pertambangan, dll). Kedua hal di atas selama ini merupakan instrumen yang melindungi sumber daya hutan dari eksploitasi yang eksesif.
Menurut analisis Indonesian Center for Environmental Law (ICEL), perubahan Pasal 19 ayat 1 UU 41/1999 dalam omnibus law itu tidak hanya sekedar diksi tetapi melemahkan pasal itu. Perubahan Pasal 19 ayat 1 UU 41/1999 yang dalam omnibus law berbunyi perubahan peruntukan dan perubahan fungsi kawasan hutan ditetapkan oleh pemerintah pusat dengan mempertimbangkan hasil penelitian terpadu. Kata ‘mempertimbangkan’ di sini merupakan perubahan dari kata ‘didasarkan’.
Ketentuan batas minimal kawasan hutan 30% ini juga sebetulnya ada di Pasal 17 ayat 5 UU Nomor 26/2007 tentang Penataan Ruang. Ayat ini berbunyi,” dalam rangka pelestarian lingkungan sebagaimana dimaksud pada ayat (4), dalam rencana tata ruang wilayah ditetapkan kawasan hutan paling sedikit 30% dari luas daerah aliran sungai.”
Dalam omnibus law, ketentuan minimal 30% kawasan hutan di ayat ini bernasib sama dengan Pasal 18 ayat 2 UU 41/1999. Ayat yang berbunyi ‘luas kawasan hutan yang harus dipertahankan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) minimal 30% dari luas daerah aliran sungai dan atau pulau dengan sebaran yang proporsional’ itu mengalami perubahan signifikan. Batasan minimal 30% kawasan hutan dihapus dalam UU Cipta Kerja. Maka penghilangan batas minimal itu berpotensi meningkatkan alih fungsi kawasan hutan dalam proses perencanaan ruang.
BACA JUGA: Kebijakan Kontradiktif yang Mengintai Capaian Penurunan Deforestasi Indonesia
Madani Berkelanjutan pun khawatir resiko deforestasi, krisis iklim dan bencana ekologis meningkat. Dihapusnya ketentuan minimal 30% luas kawasan hutan yang harus dipertahankan dikhawatirkan akan memicu deforestasi secara masif di daerah-daerah yang memiliki luas kawasan hutan lebih dari 30%. Selain itu, tidak ada lagi kewajiban bagi daerah-daerah yang luas kawasan hutannya kurang dari 30% untuk menambah luas kawasan hutannya sebagai benteng terakhir menghadapi krisis iklim dan bencana ekologis.
Ancaman UU Cipta Kerja pada hutan ini juga akan mengancam capaian target penurunan emisi dalam dokumen Nationally Determined Contribution (NDC). Indonesia memiliki target untuk menekan angka deforestasi hingga berada di bawah 3.250.000 hektare pada tahun 2030 atau maksimal 325.000 hektare/tahun selama tahun 2020 hingga 2030 dengan upaya sendiri maupun dengan bantuan internasional. Namun, target tersebut terancam tidak akan tercapai jika pasal-pasal yang berpotensi memicu deforestasi dalam UU Cipta Kerja diterapkan.
Secara rata-rata, laju deforestasi Indonesia dari tahun 2006 hingga 2018 adalah 688.844,52 hektare/tahun. Jika simulasi nilai rata-rata tersebut sebagai nilai deforestasi yang menghilangkan hutan, maka pada tahun 2025 Indonesia akan melampaui kuota deforestasi untuk mencapai target NDC tahun 2030. (Dari berbagai sumber)