Kita mungkin masih ingat sebuah pertemuan Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO) di Kinabalu, Malaysia pada 2018 lalu yang meratifikasi dan mengadopsi standar dan kriteria RSPO untuk memperkuat pembangunan sosial, perlindungan lingkungan, dan kemajuan ekonomi di seluruh rantai pasok minyak sawit berkelanjutan. 

Kala itu RSPO memasukkan nol deforestasi dengan pendekatan cadangan karbon tinggi perlindungan ekosistem gambut dalam prinsip dan kriterianya. Prinsipnya jelas, tidak ada penanaman di lahan gambut, tidak boleh membakar lahan. Ini langkah penting memutus rantai antara minyak sawit bersertifikat dan perusakan hutan dan kemudian sejalan dengan kebijakan moratorium sawit Indonesia. Komitmen ini bisa memitigasi perubahan iklim. Namun, implementasinya berat. Konsekuensi paling jelas adalah kenaikan harga. 

Wilmar Group sebagai salah satu penghasil sawit terbesar di Indonesia pernah mengumumkan kebijakan tanpa deforestasi pada 2013. Namun laporan Greenpeace lima tahun kemudian tetap menemukan grup ini masih mendapatkan minyak dari kelompok perusahaan yang menghancurkan hutan dan menyerobot lahan masyarakat lokal.

Selain perkebunan sawit, industri Pulp and Paper juga menjadi pemicu hilangnya hutan di Indonesia. Sektor ini sangat terkonsentrasi dan terintegrasi vertikal sehingga dinilai lebih terkendali. Sementara industri sawit basis suplainya beragam dengan skala operasi berbeda.   

Komitmen nol deforestasi menuntut adanya keselarasan antara tata kelola sektor publik dan swasta. Menurut Center for International Forestry Research (CIFOR), implementasi ini sulit dilakukan karena kurangnya dukungan aturan untuk implementasi komitmen. Selain itu, ada perbedaan mengenai visi berkelanjutan. 

BACA JUGA: Pembangunan Ekonomi Tanpa Merusak Lingkungan? Yok, bisa yok!

Padahal, Indonesia berpeluang untuk mencapai visi jangka panjang yang selaras dengan Paris Agreement dengan menurunkan kuota deforestasi menjadi 10,7 ribu hektare per tahun hingga nol. Untuk mencapainya, berbagai kebijakan perlindungan hutan alam tersisa harus lebih diperkuat, antara lain dengan memperkuat kebijakan penghentian pemberian izin baru ke hutan-hutan alam yang belum terlindungi, meneruskan kebijakan moratorium sawit, dan meninjau kembali berbagai program strategis dan pemulihan ekonomi nasional yang mengancam hutan. 

Menurut Yayasan Madani Berkelanjutan, laju deforestasi hutan alam Indonesia pada periode 2010-2030 tidak boleh lebih dari 241 ribu hektare per tahun. Dengan demikian, kuota deforestasi hutan alam Indonesia pada periode tersebut hanya sebesar 4,82 juta hektare. 

Catatan KLHK, dari  2011-2012 hingga 2019-2020, Indonesia telah kehilangan hutan alam sekitar 4,71 juta hektare. Dengan kata lain, kuota deforestasi hutan alam Indonesia pada periode 2020-2030 hanya tersisa 107 ribu hektare atau 10,7 ribu hektare per tahun.

Jika memasukkan data deforestasi 2010-2011 berdasarkan rata-rata deforestasi 2009-2011 yaitu sebesar 196 ribu hektare, analisis Madani menegaskan, kuota deforestasi periode 2020-2030 bahkan mencapai minus. Artinya, Indonesia tidak lagi memiliki kuota deforestasi sampai 2030. Indonesia tidak boleh lagi menghilangkan hutan. Indonesia harus nol deforestasi. 

Pemerintah Indonesia memang sudah mengumumkan tiga skenario dalam Strategi Jangka Panjang Rendah Karbon dan Ketahanan Iklim 2050 (Long-Term Strategy on Low Carbon and Climate Resilience) dengan target mencapai nol emisi bersih pada 2070, atau 20 tahun lebih lambat dari yang diserukan oleh PBB. Dalam skenario paling ambisius dan selaras dengan Paris Agreement (Low Carbon Compatible with Paris Agreement – LCCP), Indonesia menargetkan puncak emisi untuk semua sektor, dengan sektor hutan dan lahan menjadi net sink pada tahun 2030. 

Ini artinya, hutan dan lahan Indonesia akan sangat diandalkan tidak hanya untuk mengurangi emisi dari sektor itu sendiri, tetapi juga untuk menyerap emisi atau polusi karbon dari sektor-sektor lain, yakni energi, limbah, proses industri dan penggunaan produk, dan pertanian. 

Namun, yang juga penting, pemerintah harus meninjau ulang berbagai program Pemulihan Ekonomi dan Proyek Strategis Nasional seperti Food Estate agar tidak merusak hutan alam.

BACA JUGA: Sektor Kehutanan Tumpuan Penurunan Emisi Indonesia

Analisis Madani menunjukkan ada 1,5 juta hektare hutan alam di area rencana Food Estate di Papua, Kalimantan Tengah, Sumatera Utara, dan Sumatera Selatan dengan potensi nilai kayu sebesar 209 triliun rupiah. Ini mestinya jangan dibabat, tapi harus dilindungi. 

Di samping itu, perlindungan hutan-hutan alam yang terlanjur berada di dalam izin dan konsesi Hutan Tanaman Industri dan usaha perkebunan sawit pun harus menjadi perhatian. Salah satu upaya menyelamatkan hutan alam di dalam izin/konsesi perkebunan sawit adalah kebijakan moratorium sawit yang akan berakhir pada September 2021.

Karena itu, tidak ada alasan, pemerintah harus meneruskan kebijakan moratorium sawit yang bisa menyelamatkan hutan alam. Tentu saja peningkatan produktivitas perkebunan sawit juga sangat penting bagi pencapaian visi jangka panjang Indonesia. 

Indonesia harus memanfaatkan lahan-lahan tidak produktif baik di dalam maupun di luar kawasan hutan untuk mencapai ketahanan pangan dan energi serta melindungi hutan alam dan ekosistem gambut yang tersisa secara menyeluruh. 

Intinya, komitmen nol deforestasi tidak bisa menjadi tanggung jawab satu sektor saja. Pemerintah dan pihak swasta perlu terlibat bersama untuk mewujudkan target ini. Ketika pemerintah melibatkan pihak swasta dan menuntut tanggung jawab perusahaan untuk memenuhi komitmen tidak menebang atau membakar hutan dan lahan, pemerintah juga harus menangkis tantangan dari agenda politik yang bertentangan dengan tujuan ini. 

Pemerintah harus memastikan tidak ada peraturan perundang-undangan yang bertolak belakang dengan target nol deforestasi tanpa melupakan nasib petani dan berbagai perampasan lahan yang harus ditangani agar pembangunan dapat berjalan dengan berkelanjutan, adil dan efektif.