Jakarta —  Perhutanan sosial  dapat berkontribusi menurunkan tingkat emisi gas rumah kaca (GRK) untuk mendukung target Nationally Determined Contribution (NDC) Indonesia pada 2030. Oleh karena itu, pemerintah harus memasukkan perhutanan sosial dalam skenario mencapai NDC.  

Kontribusi perhutanan sosial itu melalui upaya pengurangan emisi dari deforestasi, degradasi hutan dan peningkatan cadangan karbon. Singkatnya, perhutanan sosial adalah pelaksanaan program proyek iklim (REDD+) di skala tapak yang berbasis komunitas. 

Kebijakan perhutanan sosial secara resmi berjalan setelah diterbitkannya Peraturan Menteri LHK No 83 Tahun 2016 tentang Perhutanan Sosial. Kebijakan tersebut dirancang untuk mewujudkan akses yang berkeadilan terhadap lahan beserta sumber daya alam, mendukung aspek penghidupan masyarakat sekaligus bagi keberlanjutan sumber daya hutan. 

Realisasi perhutanan sosial hingga September 2020 mencapai 4,2 juta hektare dari alokasi 12,7 juta hektare. Melalui perhutanan sosial, masyarakat turut memiliki andil dan berpartisipasi dalam mitigasi perubahan iklim, khususnya di sektor penggunaan lahan, perubahan penggunaan lahan dan kehutanan. 

Seperti diketahui, sesuai dengan Kesepakatan Paris yang sudah diratifikasi melalui UU Nomor 16/2016, Indonesia telah berkomitmen untuk berpartisipasi dalam menurunkan emisi global untuk mencegah terjadinya kenaikan suhu global di atas 1,5/2 derajat Celcius. 

BACA JUGA: Sejauh Apa Perhutanan Sosial Berkontribusi untuk Penurunan Emisi Nasional?

Komitmen tersebut sudah dinyatakan dalam dokumen NDC dan telah disampaikan ke UNFCCC,  badan PBB yang menangani isu perubahan iklim tahun 2016. Dalam dokumen itu, Indonesia menargetkan emisi turun sebesar 834 ton setara CO2 atau sebesar 29 persen  pada tahun 2030. 

Sektor kehutanan sendiri ditargetkan menurunkan emisi sebesar 17 persen atau sekitar 60 persen dari target penurunan emisi nasional. Dengan demikian, sektor kehutanan menjadi program prioritas dalam usaha pemenuhan target penurunan emisi nasional.

Dalam dokumen Forest Reference Emission Level  (FREL) tahun 2016 disebutkan, sumber emisi sektor kehutanan ada tiga yaitu dari deforestasi, degradasi hutan dan dekomposisi gambut. Data FREL  menyebut rata-rata emisi dari deforestasi periode 1990–2012 sebesar 293 metrik ton setara CO2. Sedangkan emisi untuk degradasi hutan rata–rata dari tahun 1990–2012 sebesar 58 metrik ton setara CO2.  

Melalui perhutanan sosial, tingkat deforestasi yang mengubah tata guna lahan dari hutan primer menjadi kawasan nonhutan tersebut bisa dikurangi. Demikian pula dengan degradasi, yang bisa ditekan karena  masyarakat dapat mengelola area perhutanan sosial secara berkelanjutan. Dengan demikian, kualitas hutan relatif terjaga meski dimanfaatkan oleh masyarakat dan pada akhirnya mampu menekan emisi gas rumah kaca.

Perhutanan sosial juga dapat meningkatkan cadangan karbon hutan, melalui upaya rehabilitasi lahan atau revegetasi. Sebab sebagian areal yang dikelola masyarakat dalam perhutanan sosial merupakan lahan-lahan yang sudah rusak dan tidak produktif sehingga memiliki cadangan karbon yang rendah.  

Praktik Baik dari Bukit Barisan

Kontribusi perhutanan sosial terhadap penurunan emisi diperkuat dengan hasil penelitian Yayasan Madani Berkelanjutan dan Yayasan Climate and Society berjudul Kontribusi Perhutanan Sosial Terhadap Pencapaian NDC Indonesia (2019).  

Penelitian tersebut mengambil sampel di tiga wilayah perhutanan sosial dalam Kesatuan Pengusahaan Hutan (KPH) Bukit Barisan, Provinsi Sumatera Barat, yaitu KTH Putra Andam Dewi (Pesisir Selatan) serta LPHN Sungai Buluh dan Gamaran (Padang Pariaman). 

KPH Bukit Barisan dipilih sebagai sampel karena berkontribusi sebesar 11 persen dari total cadangan karbon 297 juta ton dari 11 KPH Provinsi Sumatera Barat. 

Potensi kontribusi perhutanan sosial di KPH Bukit Barisan dihitung dengan membandingkan emisi akibat deforestasi, degradasi, dan revegetasi antara sebelum dan sesudah program perhutanan sosial berjalan di masing-masing lokasi.

Hasilnya menunjukkan potensi penurunan emisi setelah perhutanan sosial berjalan dari deforestasi sebesar 0,025 persen, degradasi 0,05 persen dan revegetasi 0,024 persen dari pencapaian target NDC pada tahun 2030. 

Rinciannya, tanpa program perhutanan sosial, potensi deforestasi pada ketiga wilayah itu akan mencapai sekitar 574,3 ha atau setara dengan emisi 399.368 ton CO2. Sedangkan dengan adanya program perhutanan sosial, potensi penurunan emisi mencapai 338,3 ha atau setara dengan 235.254 ton CO2. 

BACA JUGA: Untuk Capai Target NDC, Tiga Kelembagaan Perlu Dibentuk di Daerah

Berkurangnya penebangan liar (degradasi) di tiga lokasi KPH Bukit Barisan terjadi setelah program perhutanan berjalan, juga diperkirakan menyumbang penurunan emisi sebesar 483.941 ton CO2e. Penebangan liar berkurang karena warga sekitar memiliki mata pencaharian lain seperti di sektor wisata. 

Ini menunjukkan bahwa pengurangan degradasi harus ditunjang dengan pemanfaatan lahan perhutanan sosial sebagai sumber mata pencaharian, agar komunitas masyarakat bisa mendapatkan manfaat ekonomi.

Selain itu, revegetasi setelah perhutanan sosial yang berjalan dan diperkirakan berlanjut sampai tahun 2030 mencapai 139,1 ha atau setara dengan serapan karbon sebesar 70.733 ton CO2. Pengembangan usaha tani berbasis wanatani pada areal ini sangat berpotensi untuk meningkatkan cadangan karbon.

Melihat potensi itu, perlu upaya serius agar perhutanan sosial dapat berkontribusi lebih signifikan dalam penurunan emisi dan bisa menjadi skenario dalam pencapaian NDC. Upaya tersebut antara lain:

  1. Mengembangkan metode penghitungan karbon yang relatif sederhana dan dapat dilakukan oleh komunitas termasuk bagaimana inisiatif-inisiatif masyarakat dapat tercatat dalam sistem registrasi nasional;
  2. Memungkinkan masyarakat mengelola proyek pengurangan emisi (REDD+) skala kecil yang bisa menjadi salah satu sumber insentif ekonomi bagi masyarakat; 
  3. Perubahan iklim dan upaya pengurangan emisi dapat menjadi salah satu skenario utama dalam pengelolaan area perhutanan sosial;
  4. Memperkuat kapasitas komunitas dan pendamping dalam memahami perubahan iklim serta bagaimana mereka dapat melakukan upaya mitigasi dan adaptasi perubahan iklim berbasis komunitas.