Pemerintah memberikan sejumlah keistimewaan regulasi untuk mempermudah realisasi proyek pangan berskala luas di empat provinsi bernama food estate. Kemudahan regulasi itu dapat berdampak pada menurunnya kualitas lingkungan karena berpotensi membuka hutan alam cukup besar.
Hasil kajian Yayasan Madani Berkelanjutan menunjukkan sejumlah kemudahan regulasi untuk mempercepat pembangunan proyek itu. Pertama, lahan untuk program kedaulatan pangan nasional dikecualikan dari Instruksi Inpres No. 5 Tahun 2019 tentang Penghentian Pemberian Izin Baru dan Penyempurnaan Tata Kelola Hutan Alam Primer dan Lahan Gambut.
Dengan pengecualian ini, program kedaulatan pangan termasuk food estate dapat dibangun di hutan alam primer dan lahan gambut yang dilindungi oleh Peta Penghentian Pemberian Izin Baru (PIPPIB). Dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2020-2024, secara eksplisit menyatakan hutan primer dan hutan di lahan gambut sebagai kawasan yang harus dijaga.
BACA JUGA: Food Estate Ancam Target Pengurangan Emisi
Kedua, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan telah mengeluarkan Peraturan Menteri No. 24 tahun 2020 tentang Penyediaan Kawasan Hutan untuk Pembangunan Food Estate. Penyediaan kawasan hutan untuk proyek tersebut dapat dilakukan melalui dua jenis mekanisme, yaitu perubahan peruntukan kawasan hutan menjadi bukan kawasan hutan dan penetapan kawasan hutan untuk ketahanan pangan (KHKP).
Peraturan Menteri LHK 24 Tahun 2020 tersebut memang dikeluarkan sebelum UU Cipta Kerja disahkan. Namun Pemerintah juga telah menyiapkan Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) pelaksanaan UU Cipta Kerja bidang Kehutanan yang mengatur konversi kawasan hutan. Apabila RPP ini disahkan, Yayasan Madani Berkelanjutan menilai kawasan hutan produksi (HP) dan hutan produksi tetap (HPT) dapat dilepaskan menjadi bukan kawasan hutan untuk food estate.
Padahal menurut data Yayasan Madani Berkelanjutan, luas hutan alam di dalam HP dan HPT pada tahun 2019 mencapai 35,5 juta hektare atau 40% dari total luas hutan alam tersisa. Sementara di dalam alokasi food estate, terdapat hutan alam seluas lebih dari 1,57 juta hektare. Hutan alam dalam daerah alokasi food estate terluas berada di Papua yaitu 1,38 juta hektare, disusul Kalimantan Tengah dengan luas 147 ribu hektare, Sumatera Utara dengan luas 42 ribu hektare, dan terkecil di Sumatera Selatan dengan luas 529 hektare.
BACA JUGA: Menanti Perpres Nilai Ekonomi Karbon yang Mumpuni
Selain hutan alam, sekitar 1,42 juta hektare ekosistem gambut juga tercakup dalam daerah alokasi food estate. Ekosistem gambut ini terdiri dari 582 ribu hektare gambut lindung dan 838 ribu hektare gambut budidaya. Dengan demikian, proyek ini menjadi ancaman besar terhadap keberadaan hutan alam di Indonesia.
Ketiga, UU Cipta Kerja menjamin kemudahan bagi Proyek Strategis Nasional (PSN), di mana food estate masuk sebagai salah satu daftar PSN dalam Peraturan Presiden No. 109 Tahun 2020.
UU Cipta Kerja mengatur bahwa pemerintah pusat atau pemerintah daerah bertanggung jawab dalam menyediakan lahan dan perizinan berusaha bagi PSN. Dalam Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang Kemudahan Berusaha –turunan dari UU Cipta Kerja, mengatur jaminan kemudahan perizinan atau nonperizinan yang diberikan dalam rangka percepatan proses mulai dari perencanaan, penyiapan, transaksi, konstruksi, dan kelancaran pengendalian operasi, termasuk di dalamnya mekanisme pembiayaan.
Keempat, dalam Rencana Kerja Pemerintah (RKP) 2021, pelaksanaan proyek food estate di Kalimantan Tengah tercantum sebagai proyek prioritas di bawah prioritas nasional. Dengan tercatat sebagai Proyek Prioritas pada RKP 2021, artinya pelaksanaan pengembangan food estate akan dijamin oleh anggaran dan pelaksanaannya oleh pemerintah.
Kelima, food estate akan mendapatkan gelontoran dana program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN). Pemerintah sendiri telah mengalokasikan anggaran PEN dari program sektoral kementerian, lembaga dan pemda sebesar Rp 4,54 triliun untuk membangun food estate di Kalimantan Tengah (Kalteng) dan Sumatera Utara (Sumut).***