Pemerintah Indonesia akan mendapatkan bantuan dana dari para pihak karena melihat capaian penurunan emisi oleh Indonesia. Norwegia akan melakukan pembayaran berbasis hasil (Result Based Payment) sebesar 56 juta dollar AS (sekitar seperduabelas anggaran Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan/KLHK tahun 2020) atas implementasi REDD+ (Reduction of Emissions from Deforestation and Forest Degradation) Indonesia yang telah  menurunkan emisi sebanyak 11,2 juta ton CO2eq selama periode 2016-2017.

Namun sepertinya jalan masih panjang untuk bisa membuktikan dan mempertahankan capaian kerja dalam mencegah deforestasi dan degradasi hutan. Indonesia harus tetap waspada dalam mengarahkan kebijakan khususnya terkait kehutanan. Walau bagaimanapun bahaya deforestasi dan degradasi hutan merupakan ancaman pada perubahan iklim dan target penurunan emisi NDC (Nationally Determined Contribution) Indonesia. Deforestasi dan degradasi hutan Indonesia telah terjadi selama bertahun-tahun. Berbagai tantangan dan gesekan dengan sektor lain, memperparah terjadinya deforestasi dan degradasi hutan ini.

BACA JUGA: Laporan Sintesis tentang NDC Pertimbangkan 48 NDC Baru atau Yang Diperbarui

Tercatat bahwa laju rata-rata deforestasi Indonesia pada periode tahun 1990 sampai tahun 2012 sebesar 918678 ha per tahun yang melepaskan emisi sekitar 293 MtCO2e per tahun, dengan perkiraan 78% deforestasi terjadi di Sumatera dan Kalimantan. Kalimantan Timur periode 2006 sampai dengan 2016 mengalami deforestasi sebesar 700917 ha dengan emisi rata-rata per tahun sebesar 50,99 MtCO2e (ERPD, 2019), dimana termasuk deforestasi yang terjadi di Kabupaten Kutai Barat. 

Deforestasi dari hutan tropis menjadi salah satu penyebab utama perubahan iklim dan berkontribusi sekitar 10% emisi global. Hutan menyimpan banyak sekali karbon, sekitar 50% dari berat biomassanya, sehingga jika terjadi deforestasi atau konversi hutan akan melepaskan emisi CO2 yang tinggi ke atmosfer. Deforestasi merupakan perubahan atau konversi area hutan menjadi penggunaan lainnya seperti pertanian, perkebunan, pertambangan, permukiman dan non hutan lainnya.

Baru-baru ini Rainforest Foundation Norway (RFN) dari Norwegia meluncurkan laporan terkait kondisi hutan hujan tropis di tingkat dunia termasuk Indonesia. Laporan Status Hutan Hujan Tropis RFN ini menyebutkan bahwa sekitar 14,5 juta kilometer persegi hutan hujan tropis yang pernah menutupi permukaan bumi, hanya 36% yang masih utuh. Lebih dari sepertiganya, 34% benar-benar hilang dan 30% terakhir berada dalam berbagai bentuk degradasi. Dari tutupan hutan hujan saat ini, hampir setengahnya (45%) berada dalam kondisi terdegradasi.

Antara tahun 2002 dan 2019, dunia kehilangan 571.863 km², sebuah hutan hujan tropis yang lebih besar dari ukuran negara Prancis. Amazon memiliki 72% hutan hujan tropis utuh di dunia, di mana 42% di antaranya berada di Brasil. Sedangkan di Asia sangat terpukul, dengan hanya 7% dari hutan hujan tropis utuh dunia yang tersisa saat ini. Di pulau Sumatera, Indonesia hanya 9% dari hutan hujan tropis asli yang masih utuh.

Sejak 2002-2019, sebagian besar hutan Indonesia mengalami deforestasi (rusak dan hilang) di urutan kedua setelah Amazon di tingkat global. Seluas 94.800 km2 hutan Indonesia mengalami deforestasi dalam rentang 2002-2019 yang sebagian besar karena pembukaan untuk perkebunan kelapa sawit, kedelai,  peternakan, kebutuhan kayu dan pertambangan mineral yang didorong oleh perdagangan internasional dan peningkatan produksi.

Laporan RFN ini mengumpulkan data yang tersedia di semua hutan hujan tropis di seluruh dunia, membandingkan tutupan hutan hujan tropis asli dengan saat ini, serta menyajikan status global tentang degradasi hutan hujan tropis. 

Melalui laporan itu, para peneliti memperingatkan bahwa ekosistem hutan hujan tropis semakin mendekati titik kritis, di mana jasa ekosistem alaminya tidak dapat lagi dipertahankan, dan hutan mulai runtuh. Tanda-tandanya sudah terlihat di beberapa bagian hutan hujan Amazon.

BACA JUGA: NDC: Komitmen Iklim Indonesia

Ekosistem hutan yang sangat khusus ini mengalami tekanan karena penyalahgunaan yang terus-menerus karena kebutuhan akan tanah dan sumberdaya yang tak ada hentinya. Diharapkan KTT iklim dan keanekaragaman hayati PBB yang akan datang memberikan target dan tindakan khusus untuk melindungi hutan hujan tropis yang utuh.

Para peneliti dalam laporan ini menyebutkan bahwa deforestasi adalah bisnis besar namun hanya berada di kantong sekelompok kecil perusahaan multinasional dan pelaku nasional yang beroperasi di negara-negara yang pemerintahnya mengizinkan hal ini terjadi. Semua pihak yang terlibat hanya mengutamakan keuntungan dan kekuasaan di atas iklim global dan keanekaragaman hayati.

Seiring globalisasi perdagangan yang meluas, seringkali mendorong beberapa bentuk melalui deforestasi, kini hutan menyerang balik. Deforestasi besar-besaran juga melanggar mekanisme perlindungan virus alami, menempatkan seluruh dunia pada risiko dari potensi patogen baru yang menyebar dari hewan ke manusia. Fenomena dari COVID-19 seharusnya membawa perlindungan hutan hujan ke puncak agenda semua pembuat kebijakan dan pemimpin dunia yang peduli tentang pencegahan wabah pandemi baru.(Dari berbagai sumber)