Foto utama: Ilustrasi Industri Batu Bara. Sumber: Tribun News
”Pemerintah perlu melakukan refleksi agar pembangunan dapat berpihak pada masyarakat dan lingkungan hidup, bukan hanya segelintir orang, seperti proyek PLTU batubara,” ungkap Ginanjar Ariyasuta, aktivis muda gerakan Jeda untuk Iklim seperti ditulis dalam siaran pers 350.org, saat peringatan Hari Tani beberapa waktu lalu, ”Pembangunan PLTU batubara, yang selain menjadi sumber emisi penyebab perubahan iklim, juga menimbulkan konflik agraria dengan petani lokal,”
Sudah bukan rahasia lagi bila batubara memiliki berbagai dampak buruk, dari memicu persoalan sosial, kesehatan dan lingkungan hidup, termasuk tentu saja krisis iklim. Namun, suara-suara yang menyerukan agar pemerintah dan perusahaan bisa lepas dari batubara, termasuk suara anak muda aktivis jeda untuk iklim itu, seperti membentur tembok tebal.
Batubara tetap dijadikan sumber energi bagi aktivitas kegiatan ekonomi. Bagaimana tidak, akhir-akhir ini permintaan batubara justru meningkat. Harga batubara pun melonjak. Sejak akhir 2020 (year-to-date), harga komoditas batubara terus melejit di angka 188.68%. Permintaan energi kotor batubara ini terus meningkat seiring dengan kelangkaan sumber energi lain di negara-negara maju.
BACA JUGA: Gara-Gara Batu Bara, Akhirnya Saya Putuskan Pindah Buku Tabungan
Negara-negara Eropa yang selama ini sangat concern dengan emisi gas rumah kaca (GRK), penyebab krisis iklim, dari batubara pun dikabarkan mulai kembali melirik energi kotor ini. Seperti ditulis dalam laporan Fengkuang Coal Logistics, produsen listrik Eropa sudah menanyakan pasokan batubara Indonesia untuk pembelian pada kuartal IV tahun ini.
Foto: Ilustrasi Tambang batubara. Sumber: IDX Channel
Meningkatnya permintaan batubara itu tentu disambut antusias oleh para pemilik modal di bidang energi itu. Seperti ditulis di sebuah media online katadata, Adaro Energy optimistis prospek bisnis batu bara di semester II tahun ini akan cerah.
Di balik sukacita pemilik modal di sektor energi batubara itu, ada masa depan anak-anak muda yang sedang dipertaruhkan. Berbagai bencana ekologi akibat perubahan iklim telah menghampiri bumi ini secara bertubi-tubi. Banjir, tanah longsor, kekeringan makin sering terjadi di bumi dalam beberapa tahun terakhir ini. Bencana-bencana ekologi itu tak jarang menimbulkan korban jiwa yang tidak sedikit.
Sejak tahun 2018 silam, bencana ekologi akibat krisis iklim seperti badai, banjir, kekeringan, dan kebakaran hutan telah mendorong 108 juta orang untuk mencari bantuan kemanusiaan internasional. Sampai tahun 2030, diperkirakan jumlah manusia yang akan tergantung dari bantuan internasional bisa meningkat 50 persen (PBB: Perubahan Iklim Berarti Lebih Banyak Bencana Cuaca Setiap Tahun).
Di Indonesia, bencana ekologi akibat perubahan iklim sudah sering terjadi. Data dari BNPB per 4 Januari 2020, banjir di awal tahun 2020 itu telah merendam 308 kelurahan dengan ketinggian air maksimum mencapai enam meter. Sementara korban meninggal dunia mencapai 60 orang, dengan jumlah pengungsi sebanyak 92.621 jiwa yang tersebar di 189 titik pengungsian.
Bencana ekologis yang disebabkan krisis iklim itu telah menimbulkan kerugian ekonomi. Bahkan hasil analisis Lembaga Pembangunan Internasional Amerika Serikat (U.S. Agency for International Development) memperkirakan bahwa kerugian akibat krisis iklim di Indonesia pada 2050 akan mencapai lebih dari IDR132 triliun atau $14,8 miliar (Hect 2016).
BACA JUGA: Ternyata Aksi Melawan Krisis Iklim Bisa Selamatkan Jutaan Orang di Dunia, Ini Penjelasan WHO
Celakanya, semua prediksi mengerikan akibat perubahan iklim itu akan datang lebih cepat. Tahun ini, Panel Antarpemerintah tentang Perubahan Iklim (Intergovernmental Panel Climate Change/IPCC) di bawah PBB mengeluarkan laporan bahwa pemanasan bumi terjadi lebih cepat dari perkiraan. Meningkatnya permintaan batubara akhir-akhir ini akan lebih mempercepat lagi terjadinya perubahan iklim itu.
Indonesia, sebagai salah satu negara pengekspor energi kotor batubara, memiliki andil yang cukup besar dalam mempercepat terjadinya kerusakan alam yang mengancam masa depan anak-anak muda dunia dan juga di dalam negeri sendiri. Indonesia mungkin akan mendapatkan banyak uang dari penjualan batubara. Namun, uang yang didapatkan itu akan kembali terkuras untuk membiayai kerugian akibat bencana ekologi yang disebabkan krisis iklim. Jadi dalam konteks Indonesia, sebagai pengekspor batubara dan di sisi lain sebagai negara yang akan terdampak krisis iklim, lepas dari batubara adalah keharusan. Jadi, pertanyaannya bukan bisakah lepas dari batubara, namun bagaimana caranya lepas dari batubara?
Untuk lepas dari batubara, kita tidak bisa berharap dari para pemilik modal dan CEO industri batubara. Mereka tentu akan lebih tergiur dengan peluang mengakumulasikan laba dari kenaikan komoditas energi kotor tersebut daripada peduli dengan korban bencana ekologi akibat krisis iklim. Lantas, darimana memulainya?
Foto: Aktivis lingkungan saat melakukan aksi di depan Kedubes Jepang, Jakarta, Senin (4/10/2021). Aksi dilakukan untuk menyerahkan petisi penolakan pendanaan Jepang untuk pembangunan PLTU Indramayu 2 yang ditandatangani 10.002 orang dari 114 negara. (Liputan6.com/Johan Tallo)
Untuk lepas dari batubara, harus diawali dengan komitmen bank-bank, utamanya bank BUMN, untuk menghentikan pendanaan ke sektor energi kotor itu. Dalam roda ekonomi, sektor bank ibarat jantung dalam anatomi tubuh manusia. Bila jantung memompa darah yang berisi oksigen ke seluruh tubuh, bank akan memompa dana ke sektor-sektor ekonomi lainnya, tak terkecuali sektor energi batubara. Dengan kata lain, Industri batubara akan terus berjalan selama dana dari perbankan terus dikucurkan. Sebaliknya, industri batubara akan berhenti dengan sendirinya bila dana dari bank tidak lagi dikucurkan.
Saat ini, industri batubara di Indonesia ditopang oleh pendanaan dari bank-bank nasional yang didominasi oleh BUMN. Berdasarkan laporan lembaga urgewald, bank-bank BUMN, seperti Bank Mandiri, BNI, BRI, dan BTN, adalah bank-bank yang selama Oktober 2018 hingga Oktober 2020, masih tercatat pada Global Coal Exit List (GCEL) memberi pinjaman ke proyek-proyek energi kotor batubara.
Tapi mungkinkah bank-bank BUMN tidak lagi mendanai batubara? Mungkin dan bisa bila mau. Kini, seiring dengan makin cepatnya krisis iklim, muncul trend sektor finansial untuk memilih mendanai proyek energi terbarukan daripada batubara.
BACA JUGA: Perpanjangan Moratorium Sawit, Mendesak untuk Iklim!
Pada tahun ini misalnya, kelompok tujuh negara dengan produk domestik bruto (PDB) terbesar di dunia atau G7, sepakat menghentikan pendanaan internasional untuk proyek-proyek energi batubara. Kebijakan itu dilakukan demi mengejar target pencegahan perubahan iklim. Seperti gayung bersambut. Di depan Majelis Umum PBB, Presiden Xi Jinping mengatakan, China akan menghentikan pendanaan proyek batu bara di luar negeri.
Di tengah pusaran krisis iklim, tidak bisa tidak, bank-bank BUMN perlu bertransformasi menjadi green banking. Konsep green banking ini adalah upaya perbankan untuk mengutamakan pemenuhan keberlanjutan dalam penyaluran kredit atau kegiatan operasionalnya. Komitmen menghentikan penyaluran kredit ke sektor batubara adalah bagian tak terpisahkan dari konsep green banking. Sebagai warga Indonesia, tentu kita akan sangat bangga bila bank-bank BUMN menjadi pelopor dalam transformasi sektor finansial ini. Sekarang, bola ada di tangan para komisaris dan CEO bank-bank BUMN untuk membebaskan negeri ini dari kutukan batubara.
Oleh: Firdaus Cahyadi
Pemerhati Lingkungan Hidup