Foto utama: Ilustrasi penebangan pohon dengan menggunakan alat berat. Sumber: Unair News
Indonesia membutuhkan dana sangat besar untuk memenuhi target Nationally Determined Contribution (NDC), untuk itu Kementerian Keuangan sudah mengembangkan mekanisme penandaan anggaran belanja kementerian untuk aktivitas terkait perubahan iklim (climate budget tagging).
“Kalau dilihat semenjak kami melakukan climate budget tagging dari 2016-2020, alokasi anggaran untuk perubahan iklim mencapai Rp89,6 triliun per tahun. Sampai 2020, Indonesia mendanai 34 persen dari total kebutuhan pembiayaan perubahan iklim yang mencapai Rp3.461 triliun atau rata-rata Rp266,2 triliun per tahun,” ujar Sri Mulyani, Menteri Keuangan Indonesia (https://www.antaranews.com; 28 Agustus 2020).
Ada gap 66 persen pendanaan untuk dapat memenuhi target penurunan emisi GRK sesuai NDC. Sri Mulyani mengatakan ada penurunan penganggaran di 2020 karena prioritas penanganan pandemi COVID-19, namun harapannya Indonesia tetap menjaga komitmen tersebut.
Menurut Sri Mulyani, gap itu diambil dari komitmen internasional. Pendanaan untuk menangani perubahan iklim ini telah disepakati saat Paris Agreement, negara maju berkomitmen memberikan 100 miliar dolar AS per tahun sampai 2020.
BACA JUGA: Net Sink FoLU 2030, Peran Penting Indonesia Capai NDC 2030
Paris Agreement di 2015 tidak saja menyepakati pendanaan dari negara maju untuk negara berkembang dan negara-negara berpendapatan rendah untuk mitigasi dan adaptasi perubahan iklim tetapi juga menjanjikan transfer teknologi.
Menurut Badan Kebijakan Fiskal, Kementerian Keuangan Republik Indonesia, 2019, ada lima sektor utama yang menjadi fokus utama Rencana Aksi Nasional Gas Rumah Kaca (RAN GRK), yaitu kehutanan dan lahan gambut, limbah, pertanian, industri, serta energi dan transportasi. Dari kelima sektor tersebut, target penurunan emisi terbesar dibebankan pada sektor kehutanan dan lahan gambut.
Penurunan emisi di sektor kehutanan dan lahan gambut diharapkan mampu mencapai 0,672 giga ton CO2e pada tahun 2020 atau 0,367 giga ton CO2e dengan bantuan finansial dari dunia internasional. Program konservasi dan perlindungan hutan melalui kegiatan pencegahan kebakaran hutan memiliki potensi penurunan emisi 655 juta ton CO2 dengan estimasi biaya 5,56 miliar US$.
Peran Hutan Indonesia untuk Perubahan Iklim
Sementara itu, banyak pihak menganggap hutan hujan Indonesia sangat penting dalam pengurangan emisi gas rumah kaca. Hal ini yang menyebabkan banyak negara-negara pendonor berminat untuk berinvestasi dalam penanganan perubahan iklim.
Negara-negara di dunia sedang melakukan berbagai upaya pengendalian perubahan iklim, salah satunya upaya penanaman pohon, baik reforestasi atau aforestasi. Reforestasi adalah penanaman pohon kembali di wilayah yang sebelumnya sudah tumbuh pohon, sedangkan aforestasi adalah menanam pohon di wilayah yang sebelumnya belum ditanami pohon. Dengan menanam pohon dalam jumlah besar, negara-negara tersebut berharap bisa menurunkan suhu.
Indonesia termasuk negara dengan luas hutan terbesar di dunia setelah Brazil dan Republik Demokrasi Kongo, yang melingkupi sekitar 71% (133,57 juta hektare) dari seluruh area lahan di Indonesia (187,9 juta hektare).
Laporan Rainforest Foundation Norway (RFN), 2021 tentang Status Hutan Tropis Dunia 2020 menyebutkan bahwa luas hutan hujan tropis dunia pada 2019 seluas 9.529.575 km2 menyusut dari luas asli yang diperkirakan 14.580.513 km2. Sedangkan luas hutan hujan tropis Indonesia pada 2019 adalah 843.200 km2 menurun dari luas 938.000 pada tahun 2001. Indonesia memiliki luas hutan hujan tropis terluas ketiga di dunia setelah DRC (kedua) dan Brazil (pertama). Di tingkat Asia, luas hutan hujan tropis Indonesia yang pertama dibanding negara Asia lainnya.
Hutan hujan tropis alami merupakan ekosistem unik dengan manfaat penting menyimpan lebih banyak karbon dalam biomassa hidup dibandingkan ekosistem lainnya di planet ini. Jadi, menghentikan deforestasi dan degradasi hutan hujan tropis adalah kunci agar hutan hujan tropis mampu memperlambat pemanasan bumi, lautan dan atmosfer akibat kegiatan manusia.
BACA JUGA: Hubungan Manis Indonesia-Norwegia, Akankah Cinta Lama Bersemi Kembali?
Indonesia Perlu Tingkatkan Diplomasi Isu Perubahan Iklim
Direktur Center for Climate and Sustainable Development Law and Policy (CSDLAP) Korea Selatan, Suh-Yong Chung menilai bahwa Indonesia perlu meningkatkan kebijakan diplomasinya di tingkat internasional dalam mengangkat isu perubahan iklim. Ia mencontohkan isu hutan mangrove yang sangat krusial dalam penyerapan karbon (https://www.republika.co.id; 3 September 2021).
“Indonesia dapat memimpin diskusi tentang isu spesifik ini (mangrove) yang sesuai dengan implikasi global. Jadi, setiap negara memiliki kepentingan di Indonesia,” kata Suh-Young Chung dalam workshop Indonesia-Korean Journalist Network yang digelar oleh Foreign Policy Community of Indonesia (FPCI) bekerjasama dengan Korea Foundation Jakarta, Rabu (1/9).
Chung menjelaskan bahwa dalam mengangkat isu-isu tersebut, Indonesia bisa mengajak negara-negara atau organisasi-organisasi sebagai partner, seperti Konvensi Kerangka Kerja Perubahan Iklim Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNFCCC), negara-negara kelompok G20, atau New Southern Policy. Hal ini bisa memberi kesempatan bagi Indonesia untuk mendapatkan pembiayaan iklim dari negara-negara pendonor.
“Dalam konteks proyek ODA (Official Development Assistance), Indonesia harus mengidentifikasi partner yang bagus. Contohnya Norwegia yang berminat menjadi pendonor,” kata Chung.
BACA JUGA: Global Climate Strike, Aksi Dunia Lawan Krisis Iklim Yang Makin Menggila
Pentingnya Transparansi dan Kapasitas Indonesia
Akan tetapi, Chung menekankan pentingnya transparansi, serta kapasitas untuk mengukur kontribusi dalam penanganan perubahan iklim, karena menurutnya dua hal ini masih kurang dari Indonesia. Padahal, kedua hal ini sudah ditekankan dalam Paris Agreement. Kedua hal ini yang menyebabkan Indonesia sulit mendapatkan donor dalam pembiayaan iklim. Padahal, Green Climate Fund (GCF) sangat berminat dengan Indonesia.
Selain itu, Chung juga mengingatkan bahwa kerja sama antara Korea Selatan dan Indonesia dalam pengendalian perubahan iklim sangat krusial. Korea Selatan memiliki pengalaman yang baik dalam Pengurangan Emisi dari Deforestasi dan Degradasi Hutan (REDD+), dan telah bekerja sama dengan berbagai proyek kehutanan Indonesia. Selain itu juga memiliki jaringan global yang bisa dimanfaatkan seperti untuk pengembangan proyek-proyek ODA (Official Development Assistance) dengan organisasi internasional terpilih untuk pendanaan yang ditingkatkan dari KOICA/ADB/GCF.(*)
Sumber:
- https://www.antaranews.com/berita/1693602/dana-dana-pengendalian-perubahan-iklim-indonesia
- https://www.republika.co.id/berita/qyu0vu368/indonesia-diminati-negara-donor-penanganan-perubahan-iklim
- Pendanaan Publik untuk Pengendalian Perubahan Iklim Indonesia 2016-2018; Badan Kebijakan Fiskal, Kementerian Keuangan Republik Indonesia; 2019
- State of The Tropical Rainforest; Rainforest Foundation Norway; 2021