Tepat pada Sabtu, 4 Desember 2021, Gunung Semeru yang berlokasi di Kabupaten Lumajang, Jawa Timur mengalami erupsi. Peristiwa erupsi tersebut dinilai sebagai salah satu dampak dari krisis iklim dunia yang makin nyata. 

Dikutip dari asiatoday, Kepala Badan Geologi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Eko Budi Lelono mengatakan bahwa krisis iklim telah membuat curah hujan tinggi di sekitar puncak gunung sehingga menyebabkan runtuhnya bibir lava yang memicu adanya erupsi.

Pengamatan kita, ada kaitan dengan curah hujan tinggi, sehingga menyebabkan runtuhnya bibir lava itu sehingga memicu adanya erupsi dan guguran awan panas,” jelas Eko dalam konferensi pers terkait erupsi Gunung Semeru, di Jakarta, Sabtu.

Eko mengatakan kemungkinan erupsi Gunung Semeru disebabkan faktor eksternal seperti curah hujan tinggi, yang memicu bibir lava runtuh sehingga terjadi erupsi.

BACA JUGA: Bagaimana Perhutanan Sosial Berkontribusi pada Penurunan Emisi

Hal itu dinilai Eko lantaran aktivitas suplai magma dan material sepanjang November dan 1-3 Desember tidak mengalami perubahan signifikan. Catatan kegempaan juga dikatakan relatif rendah.

Kelihatannya memang ada kaitan dengan curah hujan tinggi, sehingga menyebabkan runtuhnya bibir lava itu sehingga memicu adanya erupsi, atau ada guguran awan panas,” ungkap Eko dalam konferensi pers dilansir dari Antara, Sabtu (4/12).

Eko mengatakan dari sisi kegempaan di sekitar lokasi relatif rendah. Menurutnya tidak ada asosiasi dengan peningkatan supply magma atau batuan permukaan.

Lebih lanjut Eko menilai sebetulnya tidak ada aktivitas Gunung Semeru yang berlebihan. Dari kegempaan yang memperlihatkan adanya supply magma disebutnya relatif biasa saja seperti sebelum-sebelumnya.

Abu Vulkanik Sebabkan Perubahan Iklim

Sementara itu, muntahan abu vulkanik Gunung Semeru hingga membuat langit di Lumajang tampak gelap, berdampak bagi atmosfer lokal karena dapat mempercepat proses pembentukan awan-awan yang biasanya terjadi karena pengaruh topografi gunung.

Dikutip dari tempo.co, Peneliti Klimatologi Pusat Riset dan Teknologi Atmosfer, BRIN, Erma Yulihastin, mengatakan bahwa percepatan proses sekitar 2-3 jam pertumbuhan awan menjadi awan badai cumulonimbus juga dapat terjadi. “Serta dapat menimbulkan hujan sore hari dengan puncak intensitas yang lebih lama dibandingkan tanpa terjadi letusan,” kata Erma Yulihastin.

Dampaknya pada komposisi atmosfer diantaranya meningkatkan kondisi aerosol di lapisan troposfer lapisan menengah dan atas. “Untuk jangka sangat panjang dapat menyebabkan pendinginan karena penurunan temperatur di atmosfer sehingga dapat menimbulkan perubahan iklim,” ujar Erma. 

Arah sebaran abu vulkanik lebih banyak menuju ke lautan di selatan Jawa, sementara saat ini juga ada potensi potensi pembentukan pusaran angin skala meso atau meluas di Samudera Hindia selatan Jawa. Kondisi ini, menurut Erma, dapat semakin meningkatkan proses pembentukan awan konvektif.

BACA JUGA: Manfaat Mangrove dalam Memerangi Krisis iklim

Karena serpihan abu vulkanik yang teraduk di atmosfer secara sempurna dapat terbentuk menjadi aerosol yang merupakan inti kondensasi awan,” kata dia menerangkan.

Perlu waktu yang panjang bagi abu vulkanik untuk berproses sebagai inti kondensasi awan. Namun jika sebaran abu vulkanik pada ketinggian sekitar 9 kilometer dipercepat oleh penguatan angin karena efek pusaran vorteks, kata Erma, kemungkinan dapat memperparah sistem badai yang sudah terbentuk.

Sistem badai vorteks di selatan Jawa mungkin akan bertahan lebih lama jika ada aerosol dari abu vulkanik yang masuk ke dalam sistemnya.” ujarnya.

Menurut Erma, hal lain yang perlu diwaspadai dari maraknya pembentukan garis badai (squall-line) belakangan ini yaitu dampaknya yang dapat memicu cuaca ekstrem berupa peningkatan intensitas hujan di Jawa. Khususnya wilayah Jawa Timur pasca-erupsi Semeru. Peningkatan curah hujan tersebut dapat menimbulkan dampak banjir lahar dingin di sejumlah aliran sungai.

Sumber: 

Asiantoday.id

CNN Indonesia

Tempo.co