Indonesia pada tahun 2045 adalah Indonesia yang kokoh, kompetitif, dan sejahtera. Tempat bagi warganya mendapatkan akses yang adil dan merata melalui pembangunan ekonomi, inklusi sosial, dan perlindungan lingkungan hidup. Visi itu tentu bukan sekedar didasarkan pada serangkaian asumsi.

Pendulum ekonomi global memang mulai bergeser. Negara-negara Asia diperkirakan akan mendominasi pertumbuhan ekonomi. Data Bank Dunia (World Bank) dan Dana Moneter Internasional (International Monetary Fund/IMF), beberapa negara di kawasan Asia, termasuk Indonesia, diprediksi akan mendominasi daftar negara dengan produk domestik bruto (PDB) terbesar di dunia pada 2024. Menurut  prediksi, ekonomi Indonesia bakal melesat ke peringkat 5 negara dengan PDB terbesar dunia pada 2024. Apakah ini pertanda bahwa visi Indonesia 2045 akan terwujud?

Untuk menjawab pertanyaan itu, kita perlu melihat dulu paradigma pembangunan yang dipilih para pengambil kebijakan di negeri ini. Setidaknya ada dua paradigma yang menjadi acuan model pembangunan. Pertama, paradigma yang menempatkan pertumbuhan ekonomi yang tinggi sebagai syarat untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Paradigma ini percaya bahwa pertumbuhan ekonomi adalah segalanya. Persoalan keberlanjutan ekologi dan keadilan sosial akan dengan sendirinya teratasi dengan peningkatan pertumbuhan ekonomi.

BACA JUGA: 4 Langkah Penting Agar Upaya Hutan Bebas Emisi Pada 2030 Tak Cuma Sekadar Target

Paradigma pembangunan ini percaya bahwa masyarakat yang lebih sejahtera akan menjamin kelestarian alam. Buktinya, menurut paradigma usang ini, negara-negara yang memiliki tingkat kepedulian tinggi terhadap lingkungan pada umumnya adalah negara-negara maju. Fenomena itu kemudian mendapatkan justifikasi oleh ekonom Gane Grossman dan Alan Krueger pada tahun 1991 melalui publikasi berjudul, ’Environment Impact of a North American Free Trade’. 

Fenomena itu dikenal sebagai kurva lingkungan Kuznet atau Kurva Enviroment Kuznet Curve (EKC). Kurva EKC kemudian dipopulerkan oleh Bank Dunia. Tak heran bila kemudian paradigma pembangunan ini menjadi landasan model di hampir seluruh dunia. Termasuk di negara-negara berkembang, yang sebagian besar mendapatkan pinjaman dari Bank Dunia untuk membiayai pembangunannya. 

Berlawanan dengan paradigma usang itu, kini muncul paradigma baru ekonomi yang lebih pro ekologi.  Paradigma ini mengungkapkan bahwa pertumbuhan ekonomi telah menyebabkan kerusakan alam dan pada akhirnya berujung pada stagnasi, bahkan menghancurkan pertumbuhan ekonomi itu sendiri. 

Dalam buku yang berjudul, ”The Limit to Growth”, Meadows (1972) mengungkapkan bahwa pertumbuhan ekonomi tidak bisa berlangsung selamanya di bumi akibat keterbatasan sumberdaya alam dan juga keterbatasan mengatasi polusi. Menurutnya, konservasi lingkungan diperlukan untuk mengurangi dampak lingkungan sampai batas tertentu, ketika bumi memiliki kapasitas menampung residu akibat aktivitas manusia dalam mengejar pertumbuhan ekonomi.

Masing-masing paradigma pembangunan itu didukung oleh para intelektualnya. Bila paradigma usang pro akumulasi laba sempat dipopulerkan oleh Bank Dunia, maka paradigma baru pro ekologi dipopularkan oleh aktivis lingkungan hidup melalui gerakan sosial masyarakat sipil lintas negara. Paradigma kedua ini percaya bahwa pertumbuhan ekonomi, keadilan sosial dan kelestarian alam harus berjalan beriringan. Tidak boleh ada yang ditinggalkan. Paradigma ini kemudian diadopsi dalam sustainable development goals (SDGs). Nah pertanyaannya adalah apakah Indonesia sedang menapak jalan pembangunan berdasarkan paradigma pembangunan berkelanjutan? 

Berdasarkan berbagai pemodelan itu, emisi GRK Indonesia diproyeksikan akan meningkat di masa depan. Tingkat emisi Indonesia diproyeksikan meningkat menjadi sekitar 2,9 gigaton karbon dioksida ekuivalen (GtCO2e) pada 2030 sesuai skenario BAU/business-as-usual (tanpa perencanaan aksi) dalam NDC (Nationally Determined Contribution)-nya. Emisi GRK itu terus meningkat hingga sekitar 4,3–6,2 GtCO2e pada 2050. 

BACA JUGA: Paviliun Indonesia untuk COP26, Ajang Lip Service Aksi Iklim

Penggunaan lahan dan sistem energi menjadi sektor penyumbang emisi GRK terbesar di Indonesia. Emisi dari lahan gambut menjadi faktor pendorong utama di sektor penggunaan lahan. Sementara pembangkit listrik dan industri menjadi faktor pendorong di sektor energi

Data dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) memang mengungkapkan bahwa angka deforestasi bruto tahun 2019-2020 tercatat seluas 119,1 ribu hektare. Turun dari 465,5 ribu hektare di tahun 2018-2019.  Sebuah prestasi yang perlu diapresiasi. Sayangnya, jumlah ini masih jauh lebih besar dibanding angka reforestasi 2019-2020 yang hanya mencapai 3,6 ribu, naik 600 ribu hektare dari 2018-2019.

Bukan hanya itu deforestasi nampaknya juga bergeser dari Indonesia tengah (Kalimantan) ke Indonesia Timur (Maluku dan Papua). Sebuah studi yang dilakukan Auriga dan 10 lembaga swadaya masyarakat (LSM) menemukan terdapat peningkatan laju deforestasi di Papua dan Papua Barat selama era Presiden Jokowi. Dalam 20 tahun terakhir, hutan alam di Papua dan Papua Barat menyusut 666.443 hektare, dari angka itu, 71 persennya terjadi pada 2011-2019.

Sementara dari sektor energi. Seperti ditulis di sebuah portal berita, menurut Direktur Mega Project PLN Muhammad Ikhsan Asaad saat Rapat Dengar Pendapat dengan Komisi VII DPR RI pada November tahun lalu, mengungkapkan bahwa kontribusi pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) berbahan bakar batu bara masih mendominasi yakni mencapai 50,4% atau sebesar 31.827 megawatt (MW). 

Artinya, paradigma pembangunan negeri ini belum sepenuhnya mengadopsi paradigma pembangunan berkelanjutan. Persoalan ekologi masih belum menjadi arus utama dari pembangunan negeri ini. Pertanyaannya adalah apakah kita bisa mempengaruhi para pengambil kebijakan di negeri ini untuk mengubah model pembangunan, yang berpijak pada paradigma usang itu? 

Jawabnya bisa. Setidaknya kita memiliki dua kekuatan. Kekuatan pertama, kita sebagai warga negara yang memiliki hak-hak politik yang melekat di dalamnya. Persoalan pembangunan adalah persoalan politik, karena terkait pengelolaan sumberdaya. Terkait dengan itulah kita bisa menggunakan hak politik kita untuk tidak memilih para pejabat publik yang visi pembangunannya masih mengabaikan persoalan lingkungan hidup. 

BACA JUGA: Krisis Iklim Mengancam Kelestarian Flora Fauna

Kekuatan kedua, sebagai konsumen. Sebagai konsumen kita memiliki hak untuk memilih produk-produk barang dan jasa yang lebih ramah lingkungan hidup. Sebagai konsumen sebuah produk jasa perbankan misalnya, kita bisa memilih untuk menaruh uang kita ke bank-bank ‘hijau’, yaitu bank-bank yang tidak lagi mendanai proyek-proyek energi fosil. Bukan lagi sebuah rahasia bila ternyata bank-bank BUMN seperti, Bank Mandiri dan BNI, masih tercatat memberikan pinjaman ke proyek energi batubara, selama periode Oktober 2018 hingga Oktober 2020. Sebagai konsumen tentu kita bisa mendesak bank-bank itu untuk berhenti mendanai batubara dengan cara memindahkan uang kita dari bank-bank tersebut.

Krisis iklim semakin mendekat. Kita tidak memiliki banyak waktu lagi untuk menunggu itikad baik para pengambil kebijakan di pemerintahan dan bisnis untuk mengubah modal pembangunannya. Kini bola ada di tangan kita sebagai masyarakat yang harus mendesakkan perubahan itu.

 

Oleh: Firdaus Cahyadi

Pemerhati Lingkungan Hidup