Dikutip dari CNN, Laporan terbaru IPCC (Intergovernmental Panel on Climate Change) yakni Assessment Report (AR) 6 memperingatkan bahwa bumi memanas lebih cepat dibandingkan perkiraan para ilmuwan sebelumnya. Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa, Antonio Guterres, menyebut laporan ini sebagai “tanda bahaya (code red) bagi umat manusia” dan menyerukan kepada seluruh negara di dunia untuk segera meningkatkan upaya iklim dan mengadopsi skenario yang paling ambisius.
Laporan tersebut menyebutkan bahwa suhu permukaan global pada periode 2011-2020 telah naik 1,09 derajat Celcius dibandingkan periode sebelum revolusi industri (1850-1900). Naiknya suhu global bumi dipastikan akibat aktivitas dan pengaruh manusia.
Memanasnya suhu bumi telah menyebabkan naiknya permukaan air laut, menyusutnya es di laut Arktik (kutub utara), menyusutnya glasier, memanasnya lautan dan meningkatnya keasaman laut. Hal ini menyebabkan berbagai kondisi cuaca dan iklim ekstrim di seluruh penjuru bumi, mulai dari gelombang panas, hujan lebat yang menyebabkan banjir hebat, kekeringan panjang, dan badai tropis (siklon) yang merusak.
Laporan ini menyatakan bahwa bumi akan terus memanas hingga pertengahan abad ini, dan ambang batas kenaikan suhu 2 derajat serta 1,5 derajat akan terlampaui pada abad ini kecuali jika emisi gas rumah kaca turun drastis pada dekade mendatang.
BACA JUGA: Gara-Gara Batu Bara, Akhirnya Saya Putuskan Pindah Buku Tabungan
Laporan IPCC ini keluar tiga bulan sebelum perhelatan Konferensi Perubahan Iklim di Glasgow, Skotlandia, pada bulan November mendatang yang juga dikenal dengan the 26th UN Climate Change Conference of the Parties (COP26).
Update Dokumen NDC dan LTS-LCCR 2050, Komitmen Iklim Lebih Ambisius atau Tidak?
Mengingat semakin sempitnya waktu dan peluang untuk mencegah krisis iklim yang membawa bencana global, momen COP26 di Glasgow haruslah menjadi momen bagi seluruh negara di dunia untuk memperkuat dan meningkatkan ambisi iklimnya, tak terkecuali Indonesia. Hal tersebut ditegaskan oleh Sekretaris Jenderal PBB, Antonio Guterres.
Berbagai langkah telah dilakukan pemerintah Indonesia menuju COP26, salah satunya dengan memperbarui dokumen Nationally Determined Contribution (NDC) Indonesia dan menyusun Long-term Strategy on Low Carbon and Climate Resilience 2050 (LTS-LCCR 2050).
Meskipun demikian, tidak ada peningkatan ambisi penurunan emisi dalam Updated NDC Indonesia yang diserahkan ke UNFCCC pada 21 Juli lalu. Komitmen penurunan emisi Indonesia masih sama dengan sebelumnya, yakni 29% dengan upaya sendiri hingga 41% dari skenario BAU (business as usual) 2030 jika ada dukungan internasional. Sementara itu, pada Indonesia Green Summit 2021, Wakil Menteri Lingkungan dan Kehutanan RI Alue Dohong menyatakan bahwa sudah tidak relevan lagi bagi Indonesia untuk bicara target 29% karena Indonesia sudah menerima dukungan internasional. Oleh karena itu target yang akan dikejar adalah hingga 41%, di mana sektor kehutanan akan berkontribusi sekitar 24,5%.
Selain Updated NDC yang merupakan jantung komitmen iklim Indonesia dengan target hingga 2030, Pemerintah Indonesia juga menyerahkan Long-term Strategy on Low Carbon and Climate Resilience 2050 (LTS-LCCR 2050), di mana dalam skenario paling ambisius Pemerintah Indonesia membayangkan untuk mewujudkan puncak emisi GRK nasional (peaking) pada 2030 dengan net sink sektor hutan dan lahan, mencapai 540 Mton CO2e pada 2050, dan mengeksplorasi peluang untuk secara cepat maju menuju net-zero emission pada 2060 atau lebih cepat. Bayangan mencapai net-zero emission pada 2060 ini lebih cepat dari rencana sebelumnya yaitu tahun 2070, namun satu dekade lebih lambat dibandingkan yang dianjurkan dalam Persetujuan Paris.
BACA JUGA: Banyak Manfaat Hutan Bagi Kehidupan, Tapi Apakah Kita Sudah Menjaganya?
Pakar transisi energi dari Institute for Essential Services Reform (IESR) menyebutkan baik NDC maupun LTS-LCCR untuk penurunan emisi di sektor energi tidak kompatibel dengan tujuan Persetujuan Paris sehingga peningkatan ambisi sangat diperlukan. Syaratnya, Indonesia harus melepaskan ketergantungan pada batubara.
Berdasarkan studi IESR, skenario transisi energi yang kompatibel dengan Persetujuan Paris membutuhkan 140 GW energi terbarukan pada 2030, di mana 108 GW harus berasal dari Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS). Pada tahun 2050, kapasitas pembangkit energi terbarukan RI harus naik 20x lipat. Dekarbonisasi yang sangat dalam ini dapat membawa peluang ekonomi yang sangat besar bagi Indonesia, termasuk terciptanya sekitar 3,2 juta lapangan kerja baru.
Sementara itu, di sektor hutan dan lahan, baik Updated NDC maupun LTS LCCR 2050 masih memperbolehkan hilangnya hutan dalam jumlah besar. “Jatah” deforestasi Indonesia pada periode 2020-2030 dalam Updated NDC masih seluas 3,25 juta hektare atau 325 ribu ha per tahun sedangkan dalam LTS LCCR skenario paling ambisius, Indonesia masih boleh kehilangan hutan seluas 6,8 juta hektare hingga tahun 2050. Pemerintah Indonesia telah berhasil menekan deforestasi hingga di bawah batas 325 ribu ha/tahun sehingga sebetulnya memiliki ruang untuk menurunkan jatah deforestasi dalam Updated NDC dan menekannya lebih jauh dalam LTS-LCCR sehingga lebih kompatibel dengan tujuan Persetujuan Paris.
Updated NDC juga mencanangkan rehabilitasi hutan dan lahan ditargetkan seluas 12 juta hektare, namun hal ini terutama akan dicapai melalui penanaman hutan tanaman seluas 6,4 juta hektare sedangkan aforestasi/reforestasi luasnya lebih kecil yaitu 5,6 juta hektare. Sementara itu, restorasi gambut dalam Updated NDC ditargetkan mencapai 2 juta hektare pada 2030, lebih kecil dibandingkan mandat yang diberikan Presiden Joko Widodo pada Badan Restorasi Gambut seluas lebih dari 2 juta hektare pada 2016-2020 dan Badan Restorasi Gambut dan Mangrove seluas 1,2 juta hektare pada 2021-2024.
BACA JUGA: Mengayuh Sepeda, Menambah Imun Mengurangi Jejak Karbon
Di tengah absennya peningkatan ambisi di Updated NDC, Agenda “Indonesia FOLU 2030” untuk menjadikan sektor hutan dan lahan Indonesia net sink carbon pada 2030 menjadi penting untuk menjadi panduan dan motivator bagi semua pihak untuk terus menurunkan deforestasi dan degradasi di Indonesia serta mempercepat pemulihan ekosistem, termasuk restorasi gambut untuk mengurangi kebakaran hutan dan lahan.
Berbagai kebijakan pembangunan sektoral harus dibuat selaras dengan Agenda Indonesia FOLU 2030 ini, antara lain sebagai berikut:
- Menghentikan ekspansi perkebunan sawit ke hutan dan lahan gambut dan meninjau ulang izin-izin perkebunan sawit yang masih memiliki hutan alam. Peningkatan produktivitas kelapa sawit dan pemberdayaan petani kecil harus digalakkan alih-alih ekspansi perkebunan. Dalam konteks ini, memperpanjang kebijakan moratorium sawit adalah langkah penting dalam pemenuhan Updated NDC dan Agenda Indonesia FOLU 2030.
- Meninjau kembali program Food Estate yang dalam proses perencanaannya mencakup banyak area berhutan alam dan gambut. Sekitar 1,5 juta ha hutan alam tercakup dalam Area of Interest Food Estate di 4 Provinsi. Pembukaan hutan alam untuk Food Estate akan bertentangan dengan pencapaian komitmen iklim Indonesia dan ketahanan pangan di masa depan yang akan terancam oleh krisis iklim.
- Mempercepat realisasi restorasi gambut di periode 2021-2024 untuk meminimalkan kebakaran, tidak hanya yang berada di bawah wewenang BRGM (di luar konsesi), tapi juga di dalam konsesi, termasuk dengan memastikan tidak ada pembukaan dan pengeringan gambut lagi oleh izin dan konsesi, termasuk untuk Proyek Strategis Nasional seperti Food Estate dan Energy.
- Memprioritaskan percepatan perhutanan sosial dan pengakuan masyarakat adat beserta wilayah dan hutan adat, yang diintegrasikan dengan aksi-aksi penurunan emisi GRK dan peningkatan ketahanan masyarakat terhadap dampak perubahan iklim di tingkat tapak. Pendanaan lingkungan hidup dari BPDLH perlu difokuskan untuk memperkuat hak dan kesejahteraan masyarakat.
- Memastikan kebijakan biofuel untuk mitigasi di sektor energi tidak berdampak pada meningkatnya deforestasi, degradasi, dan kebakaran melalui perencanaan penggunaan lahan yang terintegrasi, adanya safeguards yang kuat bagi pengembangan biofuel untuk tidak membuka hutan alam dan lahan gambut, dan yang tidak kalah penting adalah pemanfaatan feedstock biofuel yang tidak menimbulkan persaingan dengan pangan dan pakan, yaitu dari sampah/limbah.
Foto utama: Ilustrasi suhu panas. Diambil dari suara.com