Pemanasan global (global warming) menjadi salah satu isu lingkungan utama saat ini. Pemanasan global terjadi karena meningkatnya konsentrasi emisi gas rumah kaca (GRK). Semakin banyak gas rumah kaca, maka semakin banyak konsentrasi ozon atau O3 yang bereaksi dengan gas rumah kaca tersebut. Akibatnya suhu bumi menjadi naik (pemanasan global).
Aktivitas manusia yang semakin meningkat sejak pertengahan abad ke-20 disinyalir meningkatkan konsentrasi gas rumah kaca dan suhu rata-rata global pun makin naik. Untuk mencegah dampak pemanasan global yang merugikan lingkungan maupun aspek kehidupan manusia, para pihak dari penjuru dunia menyadari pentingnya melakukan langkah-langkah mendesak untuk mengendalikan aktivitasnya.
Melalui berbagai pertemuan dan kesepakatan bersama, para pihak pemangku kebijakan (negara) dari penjuru dunia berupaya mengendalikan aktivitas masyarakat agar mencegah pemanasan global dan perubahan iklim. Sejumlah 197 negara anggota United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) berupaya mengendalikan perubahan iklim global dengan target di bawah dua derajat.
BACA JUGA: Aksi Mengurangi Degradasi Untuk Selamatkan Iklim
Pada tahun 2015, para pakar memperkirakan volume gas rumah kaca di atmosfer telah menyentuh angka 400 ppm, menambah khawatir masyarakat dunia terhadap potensi dampak pemanasan global. Negara anggota UNFCCC pun menghasilkan konsensus regime pengendalian perubahan iklim global baru yang didokumentasikan dalam Perjanjian Paris di tahun 2015. Untuk mengendalikan “produksi” gas rumah kaca dari aktivitas masyarakat (antropogenik caused), Perjanjian Paris mengamanatkan pelaksanaan Nationally Determined Contribution (NDC) yang berisi rencana mitigasi dan adaptasi perubahan iklim di setiap negara anggota, termasuk Indonesia.
Indonesia kemudian meratifikasi Perjanjian Paris pada 22 April 2016 melalui undang-undang No. 16 tahun 2016. Pemerintah Indonesia pun mengirimkan dokumen First Nationally Determined Contribution (NDC) kepada UNFCCC, badan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) di bidang perubahan iklim pada tahun 2016. Pengiriman dokumen NDC Indonesia secara resmi ke UNFCCC ini menunjukkan adanya babak baru tentang kesanggupan Indonesia untuk berpartisipasi dalam menurunkan emisi CO2 sekaligus berkontribusi untuk penurunan emisi dan mencegah pemanasan global. Selanjutnya sanggupkah Indonesia menurunkan emisi dan mencegah pemanasan global dengan aksi-aksinya?
Indonesia menyatakan komitmen turut berkontribusi dalam penurunan emisi gas rumah kaca (GRK) pada tahun 2030 sebesar 29% dengan upaya sendiri dan sampai dengan 41% melalui kerjasama internasional. Pengurangan emisi tersebut dilakukan melalui lima sektor utama, yaitu: sektor hutan dan lahan (17,20%), energi (11%), limbah (0,38%), industrial process and product used/IPPU (0,10%) dan pertanian (0,32%).
Angka Updated NDC Tidak Naik
Menginjak 2021, Dirjen Pengendalian Perubahan Iklim (PPI) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Ruandha Agung Sugardiman mengakui bahwa angka dari updated NDC tidak naik secara nominal. Tetapi secara realistis dan logis capaian-capaian dari aksi adaptasi dan mitigasi itu bisa tercapai.
BACA JUGA: Perhutanan Sosial Jadi Ajang Masyarakat Berkontribusi Terhadap NDC
Dirjen PPI KLHK juga menyebutkan bahwa dalam capaian NDC Indonesia pertama, pengendalian karhutla pada tahun 2017-2018 berhasil cukup signifikan menurunkan emisi GRK Indonesia, namun pada tahun 2019 kinerja menurun akibat menguatnya kembali kejadian kebakaran hutan dan lahan (karhutla) di Indonesia. Agar capaian target penurunan emisi ini semakin nyata maka kejadian karhutla harus bisa diminimalisir tahun-tahun kedepan.
Selanjutnya, Indonesia dapat menyampaikan pembaruan NDC dalam periode sembilan sampai 12 bulan sebelum Konferensi PBB untuk Perubahan Iklim (COP) ke-26 yang akan diadakan di Glasgow, Inggris pada November 2021.
Tingkatkan NDC Indonesia
Untuk meningkatkan NDC Indonesia, pada 23 Februari 2020, Yayasan Madani Berkelanjutan, KKI-Warsi, 350.id, Greenpeace, EcoNusa, dan Institute for Essential Services Reform (IESR) juga mengajukan langkah-langkah kebijakan di hutan dan energi untuk meningkatkan ambisi iklim Indonesia kepada Dirjen PPI di antaranya terkait: menghentikan izin baru di hutan alam primer dan lahan gambut (PIPPIB) ke seluruh hutan alam yang belum dibebani izin dan berada di luar PIPPIB (Peta Indikatif Penghentian Izin Baru) maupun PIAPS (Peta Indikatif Alokasi Perhutanan Sosial); memperluas target restorasi gambut dari target saat ini; mencegah degradasi dan kebakaran hutan dan lahan; menyelamatkan hutan alam yang berada di dalam konsesi kehutanan maupun perkebunan melalui inovasi kebijakan dan insentif REDD+; menjaga luas hutan mangrove yang menjadi carbon pool dan sekaligus menjaga ketahanan pangan masyarakat pesisir; mengoptimalkan pencapaian target perhutanan sosial serta pemberdayaan masyarakat pengelola perhutanan sosial untuk mengurangi deforestasi dan degradasi serta meningkatkan rehabilitasi hutan dan lahan; mengurangi jumlah PLTU batubara dan meningkatkan tiga kali lipat bauran energi terbarukan di sektor pembangkit listrik pada 2030; menerapkan moratorium izin baru untuk tambang batubara; meningkatkan efisiensi energi pada peralatan rumah tangga.
Sementara itu Indonesian Center for Environmental Law (ICEL) juga mengusulkan langkah-langkah untuk meningkatkan NDC Indonesia di antaranya terkait hutan dan pertanian, yaitu melaksanakan putusan pemulihan lingkungan hidup bagi hutan dan lahan yang terbakar dan reklamasi lubang tambang; memberikan delegasi ke pemerintah daerah untuk menetapkan perhutanan sosial; perhutanan sosial yang sudah ditetapkan perlu diselenggarakan dengan baik; melakukan penegakan hukum terhadap kejahatan dan pelanggaran di sektor kehutanan; mengevaluasi perizinan perlu dilakukan secara optimal, salah satunya di sektor perkebunan sawit sesuai dengan amanat Instruksi Presiden No. 8 Tahun 2018; serta penegakan hukum terhadap kejahatan dan pelanggaran di sektor hutan dan lahan.(*)