Kehutanan menjadi salah satu sektor penting dalam upaya Indonesia menurunkan emisi gas rumah kaca sesuai dokumen Nationally Determined Contribution (NDC). Tak tanggung-tanggung, Pemerintah Indonesia menaruh harapan besar pada sektor kehutanan untuk bisa berkontribusi menurunkan emisi gas rumah kaca dan mencegah pemanasan global. Sektor kehutanan menanggung 17,2% dari total 29% penurunan emisi sesuai komitmen dokumen NDC Indonesia. Nilai ini sekitar 59,31% atau 60% dari total 29%.
Biasanya sektor kehutanan menyumbang emisi gas rumah kaca karena kerusakan hutan dan lahan seperti terjadi deforestasi (penebangan hutan), degradasi (penurunan kualitas fungsi hutan) dan dekomposisi lahan gambut. Jadi untuk mengoptimalkan peran hutan mengurangi emisi dengan cara mencegah kerusakan hutan dan lahan.
Melalui berbagai kebijakan di sektor kehutanan, pemerintah berupaya mencegah kerusakan hutan. Kementerian Kehutanan pada tahun 2009 sudah mengeluarkan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor 30 tahun 2009 tentang Tata Cara Pengurangan Emisi dari Deforestasi dan Degradasi Hutan (Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation – REDD). Dari peraturan ini, banyak aktivitas demonstrasi (demonstration activities-DA) REDD di Indonesia yang melibatkan berbagai pihak terkait sektor kehutanan dan perubahan iklim, seperti Kementerian Kehutanan, Pemerintah Daerah, berbagai LSM lokal dan internasional, sektor swasta, lembaga peneliti, masyarakat adat, serta beragam lembaga donor.
BACA JUGA: NDC dan Pemulihan Ekonomi Nasional
Lokasi kegiatan DA REDD juga bervariasi, ada yang berada di Hutan Konservasi, Hutan Lindung, Hutan Produksi dan juga dalam bentuk skala kecil bersama masyarakat. Hingga 2014, ada sekitar 30 DA yang berlangsung di Indonesia. Sebagian besar DA tersebar di Kalimantan, Sumatera dan beberapa di Jawa, Papua Barat, Sulawesi dan Nusa Tenggara.
Aktivitas demonstrasi atau DA merupakan kegiatan pengujian dan pengembangan metodologis, teknologi dan institusi pengelolaan hutan dalam rangka fase kesiapan pelaksanaan REDD+. Dengan kata lain, DA sebagai sarana pembelajaran bagi pemerintah Indonesia untuk melakukan implementasi REDD+.
Pembelajaran penting dari DA REDD menurut Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) di antaranya: Tidak dipandang sebagai perdagangan karbon saja melainkan sebagai /insentif dalam melaksanakan Sustainable Forestry Management (SFM); Perlu dipahami atas referensi yang digunakan terkait dengan A/R CDM, REDD dan REDD+, serta status kawasan hutan dimana lokasi berada (hutan konservasi, hutan lindung, hutan produksi dan hutan hak); Harus memperhatikan 4 pilar (penurunan deforestasi dan degradasi, SFM, /penanaman dan konservasi), yang harus dilaksanakan secara seimbang; Diharapkan dapat mengisi yang masih ada seperti dari sisi teknis, kebijakan, pendanaan dan investasi; Harus mendapatkan pengakuan secara legal sehingga memperoleh kemudahan dalam proses perijinan, pelaksanaan dan pendanaan; Dibutuhkan aspek legal bagi alat hukum setiap DA serta prospek pengembangan dalam memasuki tahap implementasi.
Mestinya DA REDD yang sudah berlangsung dengan berbagai pihak ini dapat meneruskan kegiatannya. Tetapi faktanya, berbagai DA ini sudah tidak terdengar lagi, bagai anak ayam kehilangan induk. Dokumen – dokumen pelaksanaan DA beserta tantangan yang dihadapi juga perlu diketahui untuk tahap implementasi REDD+ di Indonesia dan pencapaian NDC tahun 2030.
Perlunya safeguards untuk REDD+
Setelah banyak kegiatan DA REDD+ di Indonesia, sekarang sudah saatnya masuk pada tahap implementasi kegiatan REDD+. Untuk efektivitas program REDD+, Pemerintah juga mengharapkan partisipasi para pihak. Untuk melindungi dan meningkatkan partisipasi para pihak terutama masyarakat, di tingkat global, Konvensi Kerangka Kerja Perubahan Iklim Perserikatan Bangsa-Bangsa (United Nations Framework Convention on Climate Change-UNFCCC) pada Conference of the Parties (CoP) ke-16 tahun 2010 di Cancun Meksiko membuat keputusan tentang perlunya kerangka pengaman (safeguards) untuk REDD+.
Pemerintah Indonesia memandang kegiatan safeguards sangat penting dan tepat untuk digunakan sebagai salah satu instrumen penting dalam pencapaian tujuan kegiatan REDD+. Untuk mempermudah implementasi dan memonitor perkembangan safeguards di Indonesia, pemerintah sudah membuat dokumen Sistem Informasi Safeguards (SIS) REDD+ yang bertujuan untuk menyediakan informasi tentang pelaksanaan ketujuh safeguards dalam kegiatan REDD+.
BACA JUGA: Sejauh Apa Perhutanan Sosial Berkontribusi untuk Penurunan Emisi Nasional?
KLHK sudah menyiapkan portal terkait SIS REDD+ agar setiap provinsi, kabupaten, swasta atau pelaku usaha lainnya bisa melaporkan kegiatan safeguards atau checklist terkait informasi safeguards yang sudah dilaksanakan. KLHK sudah membuat sistem yang baik dan mudah diakses untuk pengisian pelaksanaan safeguards tetapi masih sedikit yang mengisinya. Padahal safeguards ini salah satu prasyarat penting pelaksanaan kegiatan REDD+ dan strukturnya jelas dari sub nasional, nasional dan UNFCCC.
Untuk level provinsi, sampai bulan September 2020 baru sekitar 5 provinsi yang mengajukan atau meminta akses sebagai sub admin pengelolaan safeguards. Keberadaan sub admin di tingkat provinsi ini sangat penting karena pada fase implementasi REDD+, admin di tingkat pusat akan kewalahan jika harus melakukan validasi dan verifikasi data terkait pelaksanaan SIS REDD+ di seluruh Indonesia. Untuk itu percepatan kesiapan kelembagaan SIS yang bisa saja terintegrasi dengan kelembagaan MRV di provinsi perlu didorong untuk segera dibentuk.
Pembentukan kelembagaan SIS REDD+ dan MRV di provinsi sangat diperlukan dalam fase persiapan dan implementasi REDD+ untuk pencapaian target NDC sektor hutan dan lahan. Percepatan pembentukan kelembagaan safeguards di tingkat sub nasional (provinsi) juga perlu adanya kerjasama dengan lembaga mitra seperti Lembaga Dana dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) di tingkat nasional.(*)