Pemerintah Indonesia telah menetapkan proyek food estate atau usaha pangan berskala luas untuk mengantisipasi krisis pangan akibat pandemi. Namun, hasil kajian Yayasan Madani Berkelanjutan menunjukkan, proyek yang akan dikembangkan di empat provinsi tersebut tidak akan menyelesaikan masalah pangan di Indonesia.
Hasil kajian Yayasan Madani tersebut dituangkan dalam dokumen Menakar Ancaman Terhadap Hutan Alam dan Ekosistem Gambut di Balik Rencana Pengembangan Food Estate di Papua, Kalimantan Tengah, Sumatera Utara dan Sumatera Selatan, edisi Januari 2021. Menurut kajian ini, proyek food estate mengabaikan permasalahan pangan yang mendasar, yaitu tingginya laju konversi lahan pertanian.
Sepanjang tahun 2000-2015, laju alih fungsi lahan pertanian menjadi non pertanian telah mencapai 96.512 hektare. Dengan laju sebesar ini, diperkirakan lahan pertanian akan berkurang dari 8,1 juta hektare pada 2016 menjadi sekitar 5,1 juta hektare pada 2045. Artinya, ketahanan pangan Indonesia di masa depan akan terancam.
Maraknya alih fungsi lahan pertanian ke lahan non pertanian, terutama di Pulau Jawa, disebabkan oleh urbanisasi. Menjual lahan pertanian di pinggiran kota memiliki nilai keuntungan yang lebih besar, ketimbang mempertahankan lahan pertanian. Politik pangan pemerintah yang tidak berpihak pada petani kecil inilah yang menyebabkan sektor pertanian tidak menguntungkan dan petani banyak yang melepas lahannya karena terdesak urbanisasi.
BACA JUGA: Food Estate Ancam Target Pengurangan Emisi
Kondisi itu diperparah setelah pemerintah menerbitkan UU Cipta Kerja atau Omnibus Law di awal Oktober lalu. Regulasi tersebut justru menghapus perlindungan terhadap lahan pertanian dari upaya alih fungsi ke non pertanian.
Selain soal alih fungsi lahan pertanian, jumlah petani semakin menyusut karena gagalnya regenerasi di sektor pertanian. Jumlah petani padi turun dari 14,1 juta rumah tangga pada 2013 menjadi 13,2 juta rumah tangga pada 2018. Tren petani berusia muda menurun namun sebaliknya proporsi petani berusia di atas 45 tahun justru meningkat.
Gagalnya regenerasi di sektor pertanian bukan lantaran generasi muda tidak berminat menjadi petani. Akan tetapi, akses mereka terhadap lahan pertanian kian terbatas. Khususnya bagi mereka yang berasal dari keluarga petani miskin yang memiliki lahan sempit. Survei Pertanian BPS pada 2013 menunjukkan, sebanyak 26,14 juta rumah tangga petani (RTP) hanya menguasai lahan rata-rata 0,89 hektare. Sedangkan 14,25 juta RTP menguasai lahan kurang dari 0,5 hektare per keluarga.
Proyek food estate sendiri tidak memberikan jaminan kepada petani gurem agar dapat mengakses lahan pertanian. Sebaliknya, proyek ini hanya akan menguntungkan korporasi pertanian skala besar, baik BUMN maupun swasta, seperti yang pernah disampaikan Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan pada 19 November 2020.
Masalah lainnya yang seringkali dikesampingkan, food estate justru makin memperluas penyeragaman pangan masyarakat Indonesia menjadi hanya segelintir komoditas pangan saja seperti padi, singkong, jagung. Dengan demikian, food estate makin mempercepat hilangnya keragaman pangan lokal. Masyarakat adat yang menghasilkan pangan-pangan lokal non komoditas juga makin terpinggirkan.
Food estate telah ditetapkan sebagai program prioritas pemulihan ekonomi dalam daftar Program Strategis Nasional (PSN) 2020-2024 serta Rencana Kerja Pemerintah (RKP) 2021. Bahkan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan telah mengeluarkan Peraturan Menteri No. 24 tahun 2020 yang mengatur penyediaan kawasan hutan untuk proyek ini.
BACA JUGA: Maksimalkan Dana, Cegah Kerusakan Hutan dan Turunkan Emisi
Berdasarkan Rencana Operasional Food Estate yang diterbitkan oleh KLHK (2020), luas alokasi (AOI) food estate di empat provinsi sebesar 3,69 juta hektare, hampir melebihi luas Provinsi Jawa Barat. AOI food estate terluas berada di Papua seluas 3,2 juta hektare, Kalimantan Tengah seluas 311 ribu hektare, Sumatera Utara 61 ribu hektare, dan terakhir di Sumatera Selatan dengan 32 ribu hektare.
Belajar dari kegagalan food estate era Orde Baru
Lahan food estate di Kalimantan Tengah saat ini adalah bekas Proyek Lahan Gambut (PLG) sejuta hektare. PLG dicanangkan di era Soeharto melalui Keputusan Presiden Nomor 82 Tahun 1995. Proyek ini bertujuan sebagai penyangga pasokan beras nasional, menyusul turunnya luas pertanian sebesar 19,47 persen selama 10 tahun (1983-1993).
Menurut Suriadikarta, PLG berdampak besar pada aspek biofisik lingkungan dan aspek sosial budaya ekonomi masyarakat. Dalam aspek biofisik lingkungan, proyek tersebut menyebabkan berubahnya pola tata air dan kualitasnya akibat pemotongan banyak anak sungai untuk saluran primer induk sepanjang 187 km. Seluas 400 ribu hektare hutan tropika basah akhirnya menjadi lahan terbuka dan menyebabkan beberapa spesies tumbuhan langka dan satwa terancam.
Kerusakan ekosistem dari proyek ini akhirnya berdampak pada masyarakat sekitar. Hasil tangkapan ikan turun setelah lahan gambut dibuka. Warga juga kehilangan sumber pendapatan dari hasil hutan seperti rotan, karet, berbagai jenis tanaman obat, satwa buruan, serta “purun“ yaitu jenis tanaman yang digunakan untuk membuat tikar.
Pembukaan lahan gambut satu juta hektare untuk penduduk sekitar kawasan proyek justru menimbulkan krisis ekonomi. Itu ditandai dengan rendahnya pendapatan masyarakat karena kepala rumah tangga banyak yang terpaksa beralih dari sektor pertanian menjadi buruh bangunan, usaha kayu dan emas.
Berkaca dari PLG tersebut, Yayasan Madani Berkelanjutan mengingatkan, tidak ada jaminan bahwa pengembangan food estate era Jokowi akan berlanjut ke pemerintahan berikutnya. Padahal segala ekses kerusakan lingkungan dan hilangnya sumber-sumber penghidupan masyarakat terlanjur ditanggung oleh masyarakat, bukan negara. ***