Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menyebut perbandingan foto satelit NASA yang diambil pada 2001 dan 2019 merupakan lahan konsesi yang diberikan pada era Presiden ke-6 RI Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Ilustrasi (dok. Nasa Earth Observatory)
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) buka suara soal perbandingan foto satelit NASA yang diambil pada 2001 dan 2019. Potret tersebut memperlihatkan hutan Papua yang makin gundul karena deforestasi. Namun, dalam hal ini pemerintah menepis anggapan bahwa era Presiden Jokowi telah membuat deforestasi kian masif.
Dikutip dari CNN Indonesia, Kepala Biro Hubungan Masyarakat, KLHK Nunu Anugrah mengatakan potret tersebut merupakan lahan konsesi sawit PT Dongin Prabhawa di Kabupaten Merauke, Papua pada 2009. Konsesi ini diberikan pada era Presiden ke-6 RI Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).
“Pelepasan kawasan hutan untuk pembangunan sawitnya diberikan oleh Menteri Kehutanan MS. Kaban di era Presiden SBY, pada 5 Oktober 2009 seluas 34.057 hektare, atau lebih dari setengah luas DKI Jakarta,” kata Nunu dalam keterangan tertulisnya, Minggu (14/11).
Nunu berpendapat dua foto satelit NASA itu tidak cukup untuk menggambarkan laju pergerakan deforestasi di konsesi sawit tersebut dari tahun ke tahun. Apalagi, tudingan deforestasi diarahkan kepada pemerintah Joko Widodo (Jokowi).
Nunu lantas menunjukan foto liputan satelit secara series mulai 2009, terhitung sejak pelepasan kawasan hutan untuk izin sawit tersebut diberikan.
Dalam foto yang Nunu tunjukan, pada 2009 tutupan hutan di Papua masih hijau. Namun, tutupan hutan tersebut mulai berkurang sejak 2011 dan semakin berkurang setiap tahunnya. Dia menuturkan deforestasi terjadi pada 2011-2016.
BACA JUGA: UU Iklim – Bisakah Indonesia Seperti Denmark?
“Data liputan satelit tahunan tersebut sangat penting untuk disajikan agar informasi data satelit tidak terputus jika hanya menyajikan foto satelit 2001 dan 2019 saja. Dan gambaran itu jelas membuat persepsi publik yang tidak tepat,” ujarnya.
Dengan data itu, Nunu menilai tak relevan jika menyimpulkan wajah hutan Papua gundul akibat deforestasi dengan melihat dua foto satelit 2001 dan 2019 lantaran luas izin konsesi yang diberikan era SBY tersebut adalah seluas setengah DKI Jakarta.
“Sehingga tidak benar bahwa kesalahan deforestasi dimaksud seperti direkayasa data seolah di era Presiden Jokowi,” katanya.
Sebelumnya, hasil dari perbandingan foto satelit NASA yang diambil pada 2001 dan 2019 menunjukan kawasan hutan Papua selama dua dekade terakhir mengalami deforestasi hingga 750 ribu hektare dalam 18 tahun terakhir.
Peneliti penginderaan jauh NASA David Gaveau menyebut angka tersebut merupakan 2 persen dari keseluruhan wilayah hutan di Papua.
Dari studi Gaveau, hampir 750 hektar hutan papua dibuka antara 2001 – 2019, atau sekitar 2% dari pulau itu. Dari jumlah itu 28% diantaranya dibuka untuk perkebunan industri sawit dan kayu pulp. 23% untuk ladang berpindah, 16% tebang pilih, dan 11% untuk sungai dan danau aliran perkotaan. Lalu 5% untuk kebakaran, dan 2 % untuk pertambangan.
Dari studi ini, banyak pihak menyampaikan pesan pada Pemerintah Indonesia. Salah satu pesan yang disorot media adalah dari Ketua DPD RI, AA La Nyalla Mahmud Mattalitti. Dikutip dari detik.com, La Nyalla menegaskan pemerintah Indonesia berkomitmen untuk menekan laju deforestasi. Sekaligus berkontribusi nyata dalam penanganan perubahan iklim.
BACA JUGA: Kunci Capaian Implementasi NDC di Sektor Kehutanan
“Pemerintah Indonesia tidak main-main dalam melakukan penanganan perubahan iklim. Karena hal tersebut bisa berdampak secara global. Indonesia pun terus berusaha menekan laju deforestasi untuk mewujudkan hal tersebut,” ujar La Nyalla dalam keterangan tertulis, Sabtu (13/11/2021).
Kritik Terhadap Deforestasi dan Pembangunan
Terkait dengan deforestasi yang terjadi di Indonesia, Pengkampanye Walhi Nasional, Uli Artha Siagian, klaim pemerintah yang menyatakan telah melakukan intervensi untuk menurunkan deforestasi tidak cukup sesuai dengan realita di lapangan.
“Tidak cukup hanya membandingkan deforestasi yang terjadi beberapa waktu terakhir. Kenyataannya masih terjadi deforestasi,” katanya dikutip dari Agro Indonesia.
Menurut Uli, salah satu pendorong deforestasi adalah dikuasainya 61% wilayah daratan Indonesia oleh konsesi perusahaan ekstraktif. “Sebanyak 2.000 perusahaan terdata melakukan aktivitas di hutan, fakta ini mengakibatkan deforestasi masih terjadi,” katanya.
Sementara itu pembangunan di Papua yang begitu masif dengan salah satunya mengorbankan hutan untuk membangun jalan, menuai kritik dari masyarakat. Dikutip dari Merdeka.com, Tokoh Papua, Thaha Alhamid mengkritik pembangunan di Papua yang dianggapnya salah sasaran.
Thaha menilai, pembangunan Papua belum mencukupi kebutuhan dasar warga lokal. Salah satunya mengenai pembangunan jalan yang menurutnya tidak perlu.
“Dibikin jalan di tengah hutan, 20 tahun lagi orang tidak akan jalan, ada sapi ada babi di situ, biar sudah, sapi dan babi yang melihat aspal itu,” ujarnya dalam diskusi Setelah Otonomi Khusus, ‘Apa Lagi Jurus Untuk Papua?’ Sabtu (5/12).
Menurutnya, membangun jalan-jalan di tengah hutan Papua seperti merampok negara dengan cara legal. Dia khawatir tak ada lembaga pengawas negara yang berani mengontrol.
“Bangun jalan-jalan di tengah hutan saya punya bahasa itu ini merampok negara dengan cara legal, bangun jalan di tengah hutan Papua, siapa mau kontrol? BPK? BPK tidak berani ke sana, KPK? Apalagi,” katanya.