Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) telah mengeluarkan Strategi Jangka Panjang Penurunan Emisi Karbon dan Ketahanan Iklim 2050. Dokumen yang juga disebut LTS-LCCR 2050 ini menargetkan Indonesia akan netral karbon pada, 2070! 

2070? Apakah tidak terlambat? Atau tidak realistis? 

Indonesia memang punya kepentingan untuk menjaga suhu bumi tetap di bawah 1,5 derajat celcius.  Sebagai negara kepulauan yang sebagian besar terdiri dari perairan, dampak dan risiko bencana di Indonesia akan terus meningkat jika kita tak berjuang untuk 1,5 derajat celcius ini. 

Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat lebih dari 90% bencana yang terjadi tahun lalu adalah bencana hidrometeorologi yang disebabkan krisis iklim. Angka ini akan terus meningkat jika tak ada intervensi untuk menjaga suhu bumi dari sekarang. 

BACA JUGA: 5 Bank di Indonesia Ini Peduli Terhadap Krisis Iklim

Dokumen dekarbonisasi Indonesia ini memaparkan 5 sektor penyumbang emisi yang menjadi fokus Nationally Determined Contribution (NDC). Target penurunan emisi paling banyak dari sektor energi serta kehutanan dan lahan. 

Masalahnya, hanya sektor kehutanan dan lahan (FOLU) yang akan mencapai net sink pada 2030. Sektor energi sendiri baru akan mengalami puncak emisi tertinggi pada 2030. Mengapa bukan sektor energi juga tak ditekan lebih besar untuk mengurangi emisinya? 

Catatan Institute for Essential Services Reform (IESR), penggunaan batu bara untuk pembangkit listrik tenaga uap menyumbang sekitar 70% untuk emisi Indonesia. Namun, belum ada langkah yang betul-betul serius untuk phase out atau meninggalkan energi fosil ini secara bertahap. Berbagai kebijakan masih memberi karpet merah agar industri ini terus langgeng. 

Sebut saja kebijakan gasifikasi batu bara dan pengeluaran fly ash bottom ash (FABA) dari daftar limbah bahan berbahaya dan beracun (B3) yang akan terus menguntungkan industri ini. 

Padahal, analisis IESR menunjukkan bahwa Indonesia mampu mencapai netral karbon sebelum 2050, di antaranya dengan menekan emisi gas rumah kaca di sektor pembangkit listrik, transportasi, dan industri yang berkontribusi total 406,8 juta ton CO2e atau sekitar 93% dari total emisi gas rumah kaca sektor energi tahun 2015. 

Indonesia mampu meningkatkan bauran energi primer dari energi terbarukan menjadi 69% pada 2050 dengan meningkatkan kapasitas pembangkit energi terbarukan menjadi minimal 24 giga watt pada 2025 jika mau menghentikan pembangunan PLTU batubara baru sejak 2025, serta mempensiunkan PLTGU lebih awal. 

Syarat lainnya, di sektor transportasi, perlu ada akselerasi penetrasi kendaraan listrik baik motor maupun mobil penumpang, dan penyusunan strategi jangka panjang untuk dekarbonisasi sektor kendaraan darat, laut dan udara. 

Sementara sektor industri juga harus menyusun strategi dekarbonisasi per jenis industri, dan kombinasi dari efisiensi energi, material dan elektrifikasi. Gedung-gedung juga bisa melakukan kombinasi dari efisiensi dan elektrifikasi. 

BACA JUGA: Jadi, Kapan Indonesia Akan Netral Karbon?

Catatan World Research Institute (WRI) efisiensi energi dari sektor bangunan menyumbang 69% pengurangan emisi di perkotaan. Sementara transportasi 14%.

Namun masih saja, dalam dokumen LTS-LCCR 2050 menargetkan bahwa dengan skenario ambisius sekalipun, bauran energi primer akan tetap diisi oleh batubara 34%, gas 25%, minyak 8% dan energi terbarukan hanya 33% pada 2050. Pantas saja kemudian targetnya berada di angka 2070. 

Bagaimana dengan sektor kehutanan? Skenario paling ambisius menargetkan laju deforestasi hutan alam tahun 2010-2030 sebesar 241 ribu hektare per tahun dan 2031-2050 sebesar 99 ribu hektare per tahun. Dengan kata lain, Indonesia masih bisa membabat hutannya hingga  7 juta hektare sebelum 2050. 

Indonesia juga masih ‘boleh’ mendeforestasi hutan alam selama 30 tahun ke depan sekitar 2 juta hektare atau 71 ribu hektare per tahun. Padahal, studi Yayasan Madani Berkelanjutan mencatat Indonesia sudah kehilangan sekitar 4,9 juta hektare hutan alam pada 2010-2020. 

Untuk mencapai netral karbon sebelum 2070, Indonesia harus mengadopsi skenario paling ambisius dan menargetkan kuota deforestasi yang lebih rendah dalam updated NDC. 

Perhitungan awal Madani, ada sekitar 9,4 juta hektare hutan alam di luar konsesi, wilayah alokasi perhutanan sosial, dan peta indikatif penghentian pemberian izin baru, yang harus segera dilindungi dari pemberian izin baru agar tak terdeforestasi. 

Selain itu, melindungi hutan alam yang terlanjur berada di dalam izin dan konsesi juga akan membantu memastikan pencapaian komitmen iklim Indonesia di sektor kehutanan. 

Hal lain yang dapat membantu sektor hutan dan lahan menjadi net sink, setidaknya pada 2030 adalah melindungi ekosistem gambut secara menyeluruh, mendorong realisasi target restorasi gambut yang ada, dan memperluas pelaksanaan restorasi gambut ke area yang terbakar hebat pada 2019. 

Catatan Madani, hampir setengah juta hektare (498.500 hektare), ekosistem gambut yang terbakar pada 2019 belum masuk sebagai target restorasi gambut 2016-2020.  Karena itu, seluruh ekosistem gambut yang terbakar pada 2019, baik di dalam maupun luar konsesi, harus masuk ke dalam target restorasi gambut 2021-2024 agar kebakaran di area tersebut tidak berulang. 

BACA JUGA: 3 Hobi Kaum Rebahan Ini Terancam Krisis Iklim, Masih Mau Rebahan?

Sebetulnya catatan-catatan ini sejalan dengan kajian Bappenas yang juga telah menerbitkan empat skenario target pembangunan rendah karbon, yakni pada 2045, 2050, 2060 atau 2070. 

Angka Bappenas lebih ambisius daripada KLHK

Menurut Bappenas, target paling ambisius, tahun 2045, bisa dicapai dengan syarat ada penambahan reforestasi gambut dan mangrove 300-350 ribu hektare, dan peningkatan reforestasi lahan terlantar menjadi hutan sekunder seluas 250 hektare dari kebijakan yang sudah berjalan saat ini.

Syarat lain menurut Bappenas yakni dengan peningkatan energi baru dan terbarukan 100% dari primary energy mix setiap tahun dan penetapan pajak karbon secara bertahap. 

Kini bola berada di tangan Presiden Joko Widodo. Target manakah yang hendak Indonesia capai? Tahun 2070, di mana Indonesia ketinggalan 20 tahun dari target negara lain dalam Kesepakatan Paris, atau menjadi pemimpin bagi negara lain dengan berani mengambil angka 2045? 

Presiden Jokowi, bumi seperti apa yang akan kita tinggalkan untuk anak cucu kita kelak?