Krisis iklim merupakan salah satu tantangan paling besar yang dihadapi umat manusia, saat ini dan juga di masa depan. Dampak krisis iklim pun semakin dirasakan saat ini. Menurut Bidang Klimatologi Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG), dalam ikhtisar kondisi iklim tahun 2020 (state of climate in 2020) yang dikeluarkan oleh beberapa institusi internasional seperti NOAA, Met Office dan WMO, dinyatakan bahwa suhu global pada 2020 menempati peringkat kedua teratas sebagai tahun terpanas sejak zaman pra industri, sedikit lebih rendah dari suhu global pada 2016, yang saat itu juga dipengaruhi oleh fenomena El Nino ekstrem yang terjadi sejak 2015.
Hal ini merupakan fakta yang mengkhawatirkan, mengingat pada 2020 terdapat kejadian global yang seharusnya memiliki efek perlambatan pada peningkatan suhu global, seperti pengurangan aktivitas manusia yang disebabkan oleh pandemi global dan fenomena La Nina di akhir 2020. Hal ini menunjukkan cepatnya laju pemanasan global yang terjadi selama beberapa tahun terakhir.
Dari pantauan BMKG, melalui data stasiun Global Atmospheric Watch BMKG di Kototabang Sumatera Barat, menunjukkan tren peningkatan konsentrasi Gas Rumah Kaca (GRK), tercatat karbondioksida (CO2) 406 ppm. Begitu pula dengan suhu yang setiap tahun rata-rata mengalami kenaikan, selain itu secara fisik dapat dilihat dari berkurangnya secara drastis ketebalan dan luasan tutupan es di puncak Gunung Jayawijaya. Penelitian yang dilakukan Peneliti BMKG pada November 2015 menunjukkan tebal es berkurang sekitar 5.26 meter selama periode 2010-2016, dengan rata-rata penyusutan sekitar 1.05 m per tahun.
BACA JUGA: 3 Hobi Kaum Rebahan Ini Terancam Krisis Iklim, Masih Mau Rebahan?
Untuk itu perlu upaya bersama termasuk generasi muda untuk mengkampanyekan dan ikut mengendalikan krisis iklim. Generasi muda bisa berkontribusi dalam pengendalian krisis iklim. Sebagai individu, bisa berkontribusi hampir di semua sektor meski dalam porsi kecil namun bila diakumulasi dapat berdampak terhadap pengendalian krisis iklim.
Namun belum semua orang punya kesadaran yang sama untuk mengatasi dampak krisis iklim karena ada tantangan dalam mengkomunikasikan krisis iklim itu sendiri. Antara lain, penyebab GRK tidak terlihat sehingga dianggap tidak berbahaya dan dampak yang terjadi seolah-olah jauh dari kehidupan sehari-hari. Maka untuk mengkomunikasikan krisis iklim harus disesuaikan dengan audiens terutama generasi muda (milenial) yang tidak bisa disamakan dengan generasi sebelumnya sehingga perlu perlakuan khusus.
Ternyata hasil survei terbaru Yayasan Indonesia Cerah dan Change.org pada 2020 menunjukkan bahwa 90 persen dari responden muda mengkhawatirkan dampak krisis iklim. Krisis air, krisis pangan dan penyebaran penyakit adalah dampak yang paling dikhawatirkan dari krisis iklim.
Yayasan Indonesia Cerah sudah melihat bagaimana Covid-19 mengubah segalanya dalam beberapa minggu dan ini juga berpengaruh pada terbukanya kekhawatiran terhadap dampak krisis iklim. Dampak krisis iklim dinilai akan menyerang lebih kuat dalam waktu yang dekat. Banyak yang berpendapat bahwa dampak krisis iklim sebenarnya sudah hadir hari ini, dan harus segera kita tangani.
Maka Yayasan Indonesia Cerah dan Change.org melakukan survei ini untuk mengetahui bagaimana persepsi publik, terutama anak muda, tentang krisis iklim sebagai bahan pertimbangan untuk merancang strategi penanganan dampak krisis iklim ke depannya. Survei pandangan anak muda tentang krisis iklim tersebut dilakukan secara daring selama hampir dua bulan yakni 23 Juli – 8 September 2020. Adapun responden survei diikuti oleh sekitar 8.374 anak muda di rentang usia 20-30 tahun yang tersebar di 34 provinsi di Indonesia.
Hasil survei Badan Pembangunan PBB akhir 2020 juga menunjukkan, sebanyak 70% remaja di bawah 18 tahun mengatakan krisis iklim sudah darurat dibandingkan responden usia 18-25 tahun [65%], usia 36-59 [60%], dan di atas 60 tahun [58%]. Ini bukti bahwa anak muda sebenarnya sudah sadar akan bahayanya krisis iklim.
Selain itu, banyak anak muda yang sudah melahirkan berbagai inovasi untuk menyelamatkan Indonesia dari krisis iklim. Misalnya, sebuah komunitas gerakan anak muda yang memasang panel surya di beberapa desa. Atau juga yang membuat bahan bakar untuk nelayan di Makassar dan sebagainya. Maka anak muda itu punya daya dan solusi untuk ikut menyelesaikan permasalahan krisis iklim.
Aksi dari Anak Muda untuk Iklim
Bermula dari keprihatinan melihat kerusakan lingkungan sekitar, Gea bersama rekan-rekannya tergerak membentuk komunitas Koprol Iklim. Komunitas ini diharapkan bisa menjadi jembatan anak muda Indonesia untuk menyuarakan aspirasinya terkait isu lingkungan hidup dan krisis iklim.
BACA JUGA: Krisis Iklim dan Dampaknya Bagi Generasi Muda
Koprol Iklim melihat bahwa pemberdayaan untuk masyarakat lokal di pedesaan seperti sektor pertanian, nelayan, dan juga ekonomi kreatif sangat penting. Tujuannya untuk mendorong Indonesia keluar dari krisis iklim. Misalnya jika Pemerintah Indonesia akhirnya menutup PLTU batubara, untuk mencegah kelumpuhan ekonomi dari warga lokal dan buruh yang terdampak maka harus mempersiapkan masyarakat yang kuat.
Beberapa anak muda baik siswa atau mahasiswa ternyata ikut terlibat aksi global, seperti anak muda di Yogyakarta. Setidaknya 100 kalangan muda berkumpul untuk menyuarakan bahaya krisis iklim di Titik Nol Yogyakarta pada 2019 lalu. Kalangan muda ini membentangkan beragam poster yang memprotes kerusakan lingkungan dan mengajak orang peduli.
Aksi mereka diramaikan poster bertuliskan “planet bumi di atas profit atau uang, bumi mung siji ojo dipateni (bumi hanya satu, jangan dibunuh)”. Mereka juga mengumpulkan donasi untuk darurat kabut asap dan kebakaran hutan dan lahan di Riau dan menggunakan panel surya milik Wahana Lingkungan Hidup yang menyokong energi untuk pengeras suara dan pentas musik.(Dari Berbagai Sumber)