Berdasarkan hasil penandaan anggaran alokasi untuk kegiatan pengendalian perubahan iklim terlihat meningkat, namun nilai tersebut masih jauh di bawah kebutuhan pendanaan yang diperlukan. Untuk kegiatan mitigasi misalnya, alokasi anggaran tahun 2018 masih sekitar 25 persen dari estimasi kebutuhan pendanaan mitigasi rata-rata per tahun BUR 2018.
Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan Republik Indonesia, 2019 menyebutkan bahwa untuk memenuhi kebutuhan pendanaan perubahan iklim per tahun, pemerintah perlu menyusun langkah strategis untuk memobilisasi dana tambahan dari pihak lain yang potensial seperti dengan menstimulus keterlibatan pihak swasta. Diperlukan koherensi oleh rencana aksi pengendalian perubahan iklim dan rencana pembangunan yang dapat dipertajam oleh suatu kerangka pendanaan publik untuk pengendalian perubahan iklim.
Pengendalian perubahan iklim di Indonesia telah masuk dalam prioritas nasional keenam di Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024. Program prioritasnya adalah peningkatan kualitas lingkungan, peningkatan ketahanan bencana dan perubahan iklim, serta pembangunan rendah karbon. Untuk memenuhi komitmen dan target itu, peran APBN menjadi sangat vital sebagai instrumen fiskal dalam mendorong proses transformasi ekonomi hijau tersebut.
Berdasarkan Second Biennial Update Report (2nd BUR) tahun 2018, Indonesia membutuhkan pendanaan untuk pengendalian perubahan iklim sebesar Rp 3.461 triliun hingga tahun 2030 atau setiap tahun memerlukan Rp 266,2 triliun. Dari kebutuhan anggaran ini, APBN hanya dapat memenuhi sekitar 34 persennya atau Rp 86,7 triliun per tahunnya. Ini telah direalisasikan ke dalam penandaan anggaran perubahan iklim atau Climate Budget Tagging (CBT) sejak 2016 sampai 2020.
BACA JUGA: Laporan Sintesis tentang NDC Pertimbangkan 48 NDC Baru atau Yang Diperbarui
Anggaran perubahan iklim rata-rata mencapai 4,1 persen dari APBN. Selama lima tahun terakhir, 88,1 % dari total anggaran perubahan iklim dibelanjakan dalam bentuk green infrastructure yang berfungsi sebagai roda penggerak perekonomian sekaligus modal utama transformasi ekonomi hijau di Indonesia.
Indonesia masih memiliki kesenjangan keuangan (financial gap) yang besar untuk memenuhi target kebutuhan pendanaan terkait perubahan iklim. Untuk itu diperlukan dukungan pendanaan yang sangat besar untuk meningkatkan ketahanan iklim di Indonesia.
Sri Mulyani, Menteri Keuangan Republik Indonesia mengakui, masih dibutuhkan sumber pendanaan lain untuk menutupi kesenjangan 66 persen dari kebutuhan anggaran untuk pengendalian perubahan iklim. Khususnya untuk mencapai target penurunan emisi 29 persen pada 2030, sesuai dengan Nationally Determined Contribution (NDC) yang sudah ditetapkan Indonesia (Republika, 27 Aug 2020).
“Pengendalian perubahan iklim membutuhkan dukungan dan komitmen yang kuat. Kesungguhan dan keyakinan bersama untuk mampu melakukan mitigasi dan adaptasi perubahan iklim menjadi kunci utama keberhasilan upaya global ini,” ungkap Sri Mulyani.
Kebutuhan anggaran untuk pengendalian perubahan iklim itu semakin tinggi seiring dengan penurunan alokasi pendanaan iklim pada 2020 dikarenakan kebijakan realokasi dan refocusing APBN untuk penanganan pandemi Covid-19.
Untuk membantu pendanaan perubahan iklim, pemerintah menerbitkan Green Sukuk pertama kali di pasar global tahun 2018 dengan total sebesar USD 1,25 milyar dengan underlying berupa proyek-proyek hijau di kementerian/lembaga.
Menurut Sri, pemerintah juga mendorong mobilisasi sumber pendanaan iklim di luar APBN untuk mencapai target NDC. Salah satunya, kerja sama dengan Bank Dunia melalui Forest Carbon Partnership Facility (FCPF). Dengan skema ini, Indonesia berpotensi mendapatkan 110 juta dolar AS atau sekitar Rp 1,6 triliun untuk mencegah kerusakan hutan dan deforestasi, terutama di Kalimantan Timur.
Selain itu, pendanaan lainnya bersumber dari Bio Carbon Fund yang merupakan fasilitas pendanaan multilateral. Indonesia mendapatkan insentif dari sisi pengurangan emisi terkait REDD+ di provinsi Jambi dalam periode 2020-2025. Indonesia berpotensi mendapatkan dana hingga 77 juta berdasarkan kinerja penurunan emisinya.
Terbaru, Indonesia baru saja menerima kucuran dana dari Global Climate Fund (GCF) sebesar 103,78 juta dolar AS atau sekitar Rp 1,5 triliun (kurs Rp 14.700 per dolar AS). Pendanaan didapatkan karena Indonesia mampu mengurangi emisi 20,25 juta ton CO2 equivalent selama periode 2014 hingga 2016.
Pendanaan didapatkan dengan skema Result Based Payment (RBP) atau pembayaran berbasis hasil kinerja terhadap program Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation+ (REDD+). Indonesia merupakan negara non Amerika Latin pertama yang mengakses skema ini, serta menjadi penerima dana hibah terbesar di atas Brasil yang menerima 96,5 juta dolar AS.
Dana itu nantinya akan dikelola oleh Badan Pengelola Dana Lingkungan Hidup (BPDLH) dengan durasi penggunaan selama empat tahun. Dana akan dialokasikan untuk memperkuat koordinasi dan implementasi REDD+ dan mekanismenya di Indonesia serta mendukung desentralisasi tata kelola hutan di provinsi.
Menurut Siti Nurbaya, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Indonesia, penurunan emisi yang menjadi basis pendanaan GCF bukan klaim Indonesia sepihak. “Tapi, klaim yang sudah diverifikasi atas kebenaran data dan konsistensi metodologi oleh tim teknis independen yang ditunjuk oleh UNFCCC,” ujarnya.
Selanjutnya, pembiayaan dari GCF akan dikembalikan untuk program-program pemulihan lingkungan, terutama kehutanan dan penanganan deforestasi, sesuai arahan Presiden Jokowi. “Jadi, pasti dikaitkan dengan kebakaran hutan dan lahan dan agenda-agenda dari REDD+, termasuk untuk gambut dan dukungan kepada masyarakat lokal, dalam hal ini masyarakat adat,” tuturnya.
BACA JUGA: Para Pihak Perbarui Target Komitmen Iklim NDC Menuju Emisi Nol Bersih
Pembuktian Indonesia dalam upaya memerangi dampak perubahan iklim atau yang lebih tepat disebut krisis iklim bukan hanya telah terealisasi dari dana internasional GCF, tapi juga sebelumnya Indonesia telah menerima dana perubahan iklim yang berasal dari pemerintah Norwegia sebesar sebesar Rp 840 miliar.
Dalam kondisi tekanan dari pandemi Covid 19 saat ini, Indonesia telah berhasil memanfaatkan anggaran yang terbatas untuk menekan dampak perubahan iklim dan mendapatkan dana dari pihak luar negeri sebagai bentuk pengakuan keberhasilan itu juga. Madani Berkelanjutan pun berharap pencapaian tersebut tidak lantas membuat cepat berpuas hati, karena agenda memerangi krisis iklim masih harus melalui jalan terjal yang panjang. Indonesia harus mampu mengoptimalkan dana yang ada setidaknya untuk mencapai target yang termanifestasikan dalam Nationally Determined Contribution (NDC), yakni dengan target penurunan emisi gas rumah kaca sebanyak 29% dari business as usual (BAU) 2030 dengan upaya sendiri, dan 41% dengan bantuan internasional.
Sebagai lembaga yang memiliki kewenangan dalam pengelolaan dana yang berkaitan dengan kepentingan lingkungan seperti halnya dana internasional perubahan iklim, Badan Pengelola Dana Lingkungan Hidup (BPDLH) juga harus memiliki grand design yang sesuai dengan ambisi dan tantangan Indonesia di masa yang akan datang.(Dari Berbagai Sumber)