Dana internasional perubahan iklim yang diterima Indonesia sebesar US$103,78 juta atau sekitar Rp1,52 triliun dari Green Climate Fund (GCF) dapat dinilai sebagai stimulus bagi Indonesia untuk terus meningkatkan komitmennya dalam memerangi krisis iklim dunia yang semakin mengkhawatirkan.

Green Climate Fund (GCF) sendiri merupakan sumber pendanaan khusus terbesar di dunia yang ditujukan untuk membantu negara-negara berkembang dalam upaya mengurangi emisi gas rumah kaca (mitigasi) dan meningkatkan kemampuan untuk menanggapi perubahan iklim (adaptasi). GCF sendiri didirikan oleh United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) pada 2010. 

Dalam tupoksinya, GCF memiliki peran penting dalam mendukung tujuan menjaga kenaikan suhu global rata-rata jauh di bawah 2 derajat Celcius yang termanifestasi dalam Perjanjian Paris (Paris Agreement). Kemudian, terkait dengan agenda perlawan terhadap krisis iklim dunia, Indonesia telah menetapkan target yang terbilang cukup baik. Target yang termanifestasi dalam Nationally Determined Contribution (NDC) yakni dengan target penurunan emisi gas rumah kaca sebanyak 29% dengan upaya sendiri, dan 41% dengan bantuan internasional. NDC sendiri merupakan bagian penting dari Persetujuan Paris (Paris Agreement) yang berisi pernyataan komitmen banyak negara dalam menghadapi perubahan iklim.

BACA JUGA: Jurus Bangkit yang Ramah Lingkungan

Sebagai bentuk komitmen Indonesia dalam memerangi krisis iklim dunia, dana kompensasi GCF pun layak didapatkan bahkan dan yang diterima Indonesia tersebut jauh lebih besar daripada yang diterima Brasil, yakni senilai US$96,5 juta atau sekitar Rp1,3 triliun. Dana kompensasi GCF yang didapatkan Indonesia adalah karena Indonesia telah berhasil mengurangi gas rumah kaca dari kegiatan mengurangi deforestasi dan degradasi hutan. Laju deforestasi di Indonesia yang diklaim mengalami penurunan tercatat dari periode 2014- 2020 yakni dari level 3,51 juta CO2e ke level 0,40 juta CO2e. Bukan hanya itu, dana ini juga diberikan sebagai pembayaran atas keberhasilan Indonesia dalam menurunkan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan pada periode tahun 2014-2016 sebesar 20,3 juta CO2e.

Pembuktian Indonesia dalam upaya memerangi krisis iklim tidak hanya terealisasi dari dana internasional GCF, tapi juga sebelumnya Indonesia telah menerima dana perubahan iklim yang berasal dari pemerintah Norwegia sebesar sebesar Rp 840 miliar sebagai hasil  kerja penurunan emisi karbon dioksida yang berhasil dilakukan oleh Indonesia. Di laman resmi pemerintah Norwegia, Regheringen.no (3/7/2020), disebutkan bahwa Norwegia akan melakukan pembayaran berbasis hasil (Result Based Payment) sebagai hasil kerja sama REDD+ (Reduction of Emissions from Deforestation and Forest Degradation). Tercatat, jumlah penurunan emisi yang berhasil dicapai Indonesia pada 2016-2017 adalah 11,2 juta ton CO2e. Sementara harga pasar karbon dunia saat itu sebesar US$ 5 atau sekitar Rp 72.617 per ton. Dengan demikian, nilai yang dibayarkan atas penurunan emisi yakni sebesar Rp 813,3 miliar (kurs Rp 14.500).

Tentu aliran dana segar yang didapat Indonesia tersebut adalah prestasi negara di tingkat internasional yang patut untuk diapresiasi. Apalagi di tengah covid-19 yang masih melanda, Indonesia keluar dengan prestasi yang membanggakan dan tentunya semakin meningkatkan reputasi di mata dunia. 

Sudah seharusnya pula prestasi tersebut dijadikan pedoman bagi banyak pihak untuk terus menambahkan komitmen dalam memerangi dampak perubahan iklim dengan cara berpihak kepada lingkungan bukan malah semakin kehilangan kesadaran akan pentingnya menjaga lingkungan, hutan, dan alam. 

Sekarang, dana yang besar sudah didapatkan, publik tentu mulai menyoroti manfaat dari dana tersebut secara riil bukan hanya bertengger di level pemerintah pusat tapi juga harus mengalir sampai ke level tapak.

BACA JUGA: Merdeka dari Krisis Iklim 

Dalam proposal pendanaan REDD+ untuk GCF, dana yang didapatkan akan digunakan untuk mendukung arsitektur REDD+ yang lebih kuat dan tata kelola hutan yang terdesentralisasi, terutama untuk meningkatkan peran masyarakat dalam pengelolaan hutan yang berakar pada pendekatan hak asasi manusia.

Pengelolaan dana yang tepat dan efektif sehingga dapat dirasakan manfaatnya sebesar mungkin oleh masyarakat adalah ujian besar bagi pengelola agar kepercayaan masyarakat semakin meningkatkan yang juga berarti upaya untuk memerangi krisis iklim semakin kuat karena datang dari inisiatif masyarakat. 

Mau dibawa kemana dana perubahan iklim, menjadi pertanyaan besar yang harus segera dijawab para pemangku kepentingan agar menghindari kecurigaan dan juga semaki memperjelas komitmen di tengah krisis multidimensi yang kian menakutkan.