Harapan saya kepada pengambil kebijakan khususnya di tingkat nasional maupun daerah wajib mendukung aktivitas atau ritual (dalam) pengembangan ekonomi khususnya di bidang perempuan, meningkatkan kapasitas masyarakat adat khususnya di Kajang.” (Ramlah, perempuan pemimpin komunitas adat Ammatoa Kajang, Sulawesi Selatan). 

Harapan itu disampaikan Ramlah saat mata dunia menyoroti gelaran COP26 Glasgow, Skotlandia pada 31 Oktober – 12 November 2021. Sebagai perempuan adat Ammatoa Ramlah  mengajak sesamanya tak berpangku tangan. Lewat kelompok Kalea, Ramlah mengembangkan produksi tenun sebagai identitas perempuan Kajang (menenun syarat utama perempuan Kajang bisa menikah). Berkat pendampingan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara/AMAN dan Pemda setempat kini Kalea mampu memproduksi cinderamata berbahan baku tenun (tas, baju, syal). 

Tahun 2016 (melalui Surat Keputusan Nomor: SK.6746/MENLHK-PSKL/KUM.1/12/2016) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan menetapkan hutan seluas 313,99 hektar yang terletak di Kecamatan Kajang, Kabupaten Bulukumba, Sulawesi Selatan sebagai hutan adat Ammatoa. Ini berarti masyarakat adat Ammatoa berhak mengelola dan memanfaatkan hutan sesuai aturan adat dan perundang-undangan yang berlaku. 

BACA JUGA: Krisis Iklim dan Pudarnya Visi Indonesia 2045

Hutan, kata Ramlah, adalah selimut dunia.  Saat hutan dirusak, hilanglah sumber penghidupan masyarakat adat Ammatoa.  “Hutan meningkatkan hujan dan menyimpan mata air,” kata Ramlah. Ucapan Ramlah bukan bualan semata. Ucapan Ramlah merujuk pada aturan ketat adat komunitas Ammatoa yang jadi pedoman seluruh penghuni. Lihat saja, komunitas adat Ammatoa Kajang membagi tiga zonasi hutan sebagai cara mempertahankan adat sekaligus ruang hidupnya. Tiga zonasi itu antara lain:

1. Borong Karamaka (hutan keramat). 

Adalah kawasan hutan terlarang. Pantangan di kawasan hutan Borong Karamaka mencakup tiga hal: Ta’ba Kaju (menebang kayu), Raodoang (mengambil isi hutan, ikan, sekalipun untuk keperluan ritual adat), Talakulaki (dilarang mengambil dan menjual madu kecuali untuk ritual adat sebab lebah mengatur keseimbangan dan kesuburan hutan). 

2. Borong Batasayya (hutan perbatasan).

Di sini masyarakat bisa menebang kayu dengan izin Ammatoa selaku pemimpin adat. Aturan ini tidak serta merta boleh dilakukan sebab aturan lain mensyaratkan kewajiban menanam tanaman kayu sebelum menebang.

3. Borong Luara’ (hutan rakyat).

Yaitu hutan yang dikelola masyarakat. Meski begitu aturan adat masih diberlakukan agar masyarakat tidak semena-mena menebang kayu. 

Aturan adat ini jelas mengatur masyarakat adat Ammatoa agar tak sembrono mengelola dan memanfaatkan hutan. Aturan adat pula yang mengatur perilaku masyarakatnya untuk bersetia kepada leluhur, demi keberlangsungan generasi selanjutnya. Sebagai perempuan adat Ammatoa Ramlah mengamanatkan kepada anak muda agar menjaga komunitas adat demi keberlanjutan generasi adat yang tersebar di segala penjuru Indonesia.

Ini menjadi wajib jika pemerintah betul-betul berkomitmen terhadap pengurangan seperti emisi gas rumah kaca. Karena pada dasarnya dengan eksistensinya melalui ritual kami, kearifan lokal kami, dan hukum adat yang kami masih dijalankan sampai saat ini atau pengetahuan-pengetahuan tradisional dalam menjaga hutan untuk tetap lestari serta keanekaragaman hayati,” ungkap Ramlah dalam Talkshow bertajuk “Inclusive and Collaboration Climate Actions Under the Next Generation Leadership,” Rabu (10/11).

Suara Kisnanda, Anak Muda Dayak Seberuang

Hasintus Restu Kisnanda, anak muda yang lahir dan tumbuh besar di wilayah adat Dayak Seberuang, Kalimantan Barat. Bersama rekan satu generasi dan masyarakat adat setempat Kisnanda menghendaki hutan dan alam di Kampung Silit tetap lestari. Langkah ini dilakukan jauh sebelum Bupati Sintang menerbitkan Surat Keputusan Nomor: 660/83/KEP DLH/2020 sebagai pengakuan dan perlindungan kepada masyarakat adat Dayak Seberuang Kampung Silit, Dusun Silit, Desa Nanga Pari, Kecamatan Sepauk, Kabupaten Sintang. 

Pengakuan tersebut bukan final. Kisnanda bersama masyarakat adat Dayak Seberuang masih terus mengupayakan pengakuan hutan adat diterbitkan oleh pemerintah pusat. Meski begitu Kisnanda tetap mengajak masyarakat setempat (termasuk generasi sebaya) untuk memperhatikan keberlanjutannya, bukan sekedar status belaka.    

Harapan terbesar kami ke depannya bukanlah SK hutan adatnya nanti sudah ada di kami, namun orang-orang yang ada di kampung kami juga bebas terlalu bebas dalam memanfaatkan hutan, mengambil sumber daya alam, dan sebagainya tanpa memperhatikan keberlangsungan hutan. Artinya di dalam pun nanti ketika hutan adat sudah kami dapatkan SKnya kami masih tetap ingin bahwa hutan di kampung kami masih tetap terjaga,” ujarnya.  

BACA JUGA: Pentingnya Pendanaan Iklim untuk Atasi Krisis Iklim 

Hasil pemetaan partisipatif masyarakat adat Dayak Seberuang Kampung Silit didampingi WALHI Kabupaten Sintang mencatat luas wilayah adat Dayak Seberuang Kampung Silit 5.308,81 hektar terdiri dari hutan lindung/HL 4.526,43 hektar dan Area penggunaan Lain/APL 782,38 hektar. Bagi Kisnanda, hutan adalah halaman kedua rumahnya. Tempat dia dan teman seusianya menikmati masa muda. Hutan adalah alasan Kisnanda untuk tak surut mempertahankan keberadaannya.

Pertama kali saya lahir dan sampai waktu saya pertama kali bisa mengingat yang terlihat dari saya adalah pohon yang rindang. Pohon-pohon ini sampai sekarang saya pikir sudah menghidupi saya dan kami semua yang ada di kampung silit. Hutan di Kampung Silit sudah memberi kehidupan bagi kami,” ungkapnya.

Kepada para pengambil kebijakan Kisnanda berharap agar aparatur negara membangun kesadaran tentang pentingnya hutan. Ini juga yang mendasari Kisnanda dan pemuda lain di Kampung Silit berkomitmen menjaga hutan.  

Kita engga sadar selama ini bahwa hutan sudah memberikan oksigennya untuk kita. Bagaimana kalau kita tebang pohon-pohonnya? Menurut saya itu sama saja dengan bunuh diri,” ucap Kisnanda. 

Sebagai anak muda, Kisnanda mengakui kerja-kerja kolektif adalah bahan bakar perjuangan. Sama halnya yang dia lakukan bersama pemuda Dayak Seberuang, berkelompok dengan komunitas pecinta alam dan lingkungan. “Kami giat menanam di Dusun Silit, terlebih lagi kampung Silit sudah dicanangkan sebagai kampung pelestari kayu dan buah lokal. Itu menjadi hal yang sangat baik kami pikir untuk ke depannya,” kata Kisnanda. Sehingga upaya pelestarian hutan senantiasa ada di setiap generasi demi keberlanjutan hutan dan alam. 

Kolaborasi Jalan Capai Target Iklim

Komitmen pemerintah dalam penegakan hukum terhadap pencemar lingkungan, perusak hutan sudah sepatutnya jadi prioritas dalam penanganan krisis iklim. Direktur Eksekutif Kemitraan Laode Muhammad Sarif mengatakan jika pemerintah dan DPR tidak berkomitmen terhadap perusak lingkungan dan hutan, maka janji pencapaian target iklim hanya cita-cita dan wacana. Padahal persetujuan yang disampaikan dalam kesepakatan internasional bersifat mengikat. “Implementasi untuk komitmen internasional, kalau kita sudah meratifikasi sebuah peraturan perjanjian internasional maka kita wajib melaksanakannya,” kata pria berkacamata yang akrab disapa Bang Sarif. 

BACA JUGA: 4 Langkah Penting Agar Upaya Hutan Bebas Emisi Pada 2030 Tak Cuma Sekadar Target

Sarif menambahkan masyarakat juga bisa terlibat sebagai dukungan terhadap kebijakan pemerintah. Partisipasi masyarakat potensial  memunculkan inisiatif-inisiatif perlindungan terhadap lingkungan dan hutan. 

Direktur Eksekutif  Yayasan Madani Berkelanjutan Nadia Hadad mengunci kata kolaborasi sebagai jalan menuju tercapainya target iklim. “Setiap aktor dalam pembangunan baik masyarakat, NGO, petani, privat sektor, pemerintah daerah, pemerintah nasional punya peran masing-masing dan semuanya bisa berkontribusi terhadap pencapaian target iklim di Indonesia.” 

Semoga pemerintah membuka jalan kolaborasi dalam negeri sendiri ya, mengimbangi pidato Pak Jokowi  di hadapan peserta KTT PBB Perubahan Iklim (COP26), “Solidaritas, kemitraan, kerjasama, kolaborasi global merupakan kunci.”