Sudah nonton film dokumenter “Seaspiracy”?
Film besutan Ali dan Lucy Tabrizi, filmmaker asal Inggris yang dirilis Netflix Maret lalu ini belakang cukup ramai diperbincangkan. Selain karena menimbulkan pro kontra, juga terang-terangan ‘mengajak’ penontonnya untuk, berhenti makan ikan!
Kenapa? Mungkinkah kita berhenti makan ikan?
Ini mungkin mengingatkan kita akan kelakar mantan Menteri Kelautan dan Perikanan, Susi Pudjiastuti. Meskipun hampir setiap kesempatan mantan menteri ‘nyentrik’ ini kampanye ‘Ayo makan ikan’, suatu saat ketika masih menjabat, “Bu Susi” pernah bercanda.
Bagaimana jika pemerintah melarang semua nelayan menangkap ikan, lantas menjual nilai karbon yang diserap oleh lautan Indonesia ke negara lain? Uangnya lalu dibagikan ke seluruh nelayan yang ada di Indonesia.
“Nelayan akan sejahtera,” begitu kira-kira kelakarnya.
Ini merupakan canda serius Susi Pudjiastuti. Candaan, karena mustahil melarang nelayan, apalagi pelaku industri perikanan, untuk menangkap ikan. Namun candaan ini punya benang merah dengan poin yang ingin disampaikan “Seaspiracy”, bahwa nilai karbon dari perairan di dunia, tentu saja termasuk Indonesia, sangatlah besar.
BACA JUGA: Laporan Sintesis tentang NDC Pertimbangkan 48 NDC Baru atau Yang Diperbarui
Menurut Environmental Justice Foundation, lautan menyerap sepertiga karbondioksida yang kita keluarkan. Hamparan rumput laut menyerap hingga 20 gigaton karbon. Hutan mangrove bahkan bisa menyimpan karbon empat kali lebih banyak dari satu hektare hutan hujan tropis. Satu ekor ikan paus bisa menyerap 30 ribu kilo CO2 selama hidupnya. Dan setiap tahun alga terkecil, phytoplankton bisa menyerap CO2 sama dengan empat kali hutan Amazon.
Bisa dikatakan lebih dari setengah emisi karbon yang dihasilkan makhluk hidup diserap oleh biota laut. Inilah yang disebut blue carbon atau karbon biru.
Karbon biru ada dalam setiap bagian ekosistem, dari pesisir dengan rumput lautnya hingga lautan lepas. Sayangnya ekosistem dalam karbon biru belum mendapat perlindungan yang layak. Perlindungan paus, mangrove dan rumput laut juga masih minim.
Dalam update-an Nationally Determined Contribution (NDC) Indonesia membebankan penurunan emisi pada lima sektor, energi, limbah, perindustrian, pertanian dan kehutanan. Kelautan dan perikanan tidak termasuk.
Sektor kehutanan punya tugas paling berat menurunkan emisi nasional sebesar hampir 60%. Yayasan Madani Berkelanjutan mencatat emisi sektor kehutanan tahun 2030 hanya sekitar 217 MTon CO2e dari total emisi 2.034 MTon Co2e atau hanya 10,67%. Sedangkan emisi sektor energi pada tahun yang sama diperkirakan menyumbang emisi sebesar 1.355 MTon CO2e atau sekitar 66,62%.
Menurut Madani, selama ini penurunan emisi sektor kehutanan belum memiliki manfaat yang bersifat ekonomi. Mengapa karbon biru tak masuk dalam sektor yang bisa diberdayakan dalam menurunkan emisiemisis Indonesia? Padahal, ‘turunan’nya, ekonomi biru, sebagai nilai ekonomi yang bisa didapat dari pemanfaatan sumber daya laut dan pesisir, juga tak kalah bersaing.
Pada 2015 WWF pernah melansir potensi ekonomi biru mencapai USD24 triliun atau setara Rp319 triliun. Potensi ekonomi sektor kelautan Indonesia diperkirakan mampu mencapai USD1,2 triliun per tahun dengan penyerapan tenaga kerja mencapai 40 juta orang.
Ekonomi biru mula-mula dikenalkan oleh Gunter Pauli pada 2010. Sederhananya, ia konsep mensejahterakan manusia dari lautan dan langit nan biru yang selalu mengelilingi manusia.
Lebih lanjut seperti disebut Wulfram I. Ervianto dalam studinya untuk Universitas Atma Jaya Yogyakarta, ekonomi biru mesti nir limbah, ada kepedulian sosial dengan peningkatan pendapatan, lebih banyak menyerap tenaga kerja, lebih banyak peluang usaha dan inovasi serta kreativitas usaha yang tidak merusak lingkungan.
Contoh paling dekat adalah Raja Ampat. Tanpa perikanan skala besar dan pertambangan, Raja Ampat punya orientasi mempertahankan kondisi laut alami menjadi area tujuan wisata bahari.
Contoh lainnya Maroko yang memanfaatkan energi gelombang, arus laut, angin, matahari dan potensi tradisional setempat sebagai bahan bakar motor dan perahu penangkap ikan.
BACA JUGA: Jadi, Kapan Indonesia Akan Netral Karbon?
Di Maroko, penggunaaan energi terbarukan untuk usaha perikanan diotengarai dapat mengendalikan degradasi lingkungan dan perusakan laut serta meningkatkan pendapatan nelayan dari USD2000 per bulan menjadi USD10 ribu per bulan. Praktis ia juga meningkatkan devisa negara. Dengan catatan, ada aturan ketat untuk menjamin prinsip inklusi tetap berlangsung. Tak ada dominasi penguasaan aset ekonomi kelautan.
Dalam sebuah wawancara dengan Kabar Hutan, Direktur Senior Konservasi Internasional Indonesia Victor Nikijuluw mengatakan prinsip ekonomi biru adalah tentang kegiatan yang menghasilkan laba yang dimiliki atau dilakukan penduduk setempat. Tak terbatas pada perikanan dan budidaya air namun juga pariwisata, tambang dan transportasi.
Penekanannya adalah, usaha ini harus bersifat lokal sehingga bisa langsung dirasakan masyarakat. Ia tak harus tradisional, bisa jadi berorientasi ekspor, berbasis teknologi namun harus berkelanjutan dan diarahkan pada masyarakat setempat.
Dengan kondisi terpuruknya ekonomi global karena pandemi Covid-19, saatnya pemerintah serius menggarap potensi karbon biru dan ekonomi biru untuk pemulihan ekonomi nasional. Kita telah belajar dari kondisi sulit ini bahwa pertahanan, baik pangan maupun ekonomi, mesti dilakukan secara mandiri, berdaulat dan skala kecil sesuai dengan potensi di daerah masing-masing.
Pemerintah pusat bisa menstimulasi dengan payung hukum perlindungan ekosistem laut mulai dari mangrove hingga laut dalam. Pemerintah daerah bisa menyokong dengan stimulasi pendanaan usaha kecil dan menengah berbasis potensi daerah, dengan petunjuk jelas, tanpa mengubah apalagi merusak alam.