Dilansir dari Katadata.co.id, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) akan segera menyelenggarakan konferensi iklim, Climate Chage Conference of The Parties ke-26 atau COP26 di Inggris akhir tahun ini. Sebagai tuan rumah, Inggris meminta Indonesia untuk menyiapkan rencana iklim 2030 yang lebih baik dan peta jalan untuk mencapai bebas karbon pada 2050.
President COP26, Alok Sharma mengatakan bahwa setiap negara G7 telah menyetujui target pengurangan emisi 2030 yang ambisius, dan net zero emission pada 2050. “Kami ingin seluruh negara G7 dan G20, termasuk Indonesia menyiapkan strategi jangka panjang mereka, untuk benar-benar mencapai titik nol pada pertengahan abad ini,” ujar Sharma dalam diskusi dengan Foreign Policy Community of Indonesia (FPCI).
BACA JUGA: Optimis Sektor Kehutanan Mampu Capai Netral Karbon di 2030, Ini Kata Pemerintah
Diskusi tersebut merupakan bagian dari kunjuangan Sharma ke Indonesia selama tiga hari. Kunjungan ini merupakan bagian dari tur Sharma ke Asia Tenggara, untuk membahas bagaimana Indonesia dapat mencapai bebas karbon dan transisi dari tenaga batu bara ke energi terbarukan.
Indonesia merupakan pengekspor batu bara terbesar di dunia, dan akan mengambil alih kepresidenan bergilir kelompok ekonomi utama G20 pada tahun 2022. Diskusi untuk mencapai emisi nol bersih telah menjadi agenda politik dalam beberapa bulan terakhir. Pada Maret misalnya, pemerintah mengumumkan tujuan untuk mencapai emisi nol bersih pada tahun 2070. Tapi Presiden Joko Widodo menangguhkan persetujuan target tersebut karena kritikan bahwa target 2070 terlambat.
Adapun FPCI mengkampanyekan Indonesia untuk mengurangi emisinya 50% pada tahun 2030 dan mencapai nol bersih pada tahun 2050. Selama kunjungannya, Sharma bertemu dengan sejumlah menteri di Jakarta. Di antaranya Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Menteri Keuangan, serta Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Panjaitan.
Analis kebijakan luar negeri FPCI Esther Tamara mengatakan kepada Climate Home News, Menteri Luhut telah memperjuangkan target nol bersih dalam pemerintahan Jokowi, dan membuka kemungkinan mencapai bebas karbon lebih cepat dari 2070.
Bulan lalu Luhut mengatakan Indonesia akan terus berusaha untuk meningkatkan pangsa energi terbarukan dalam bauran energi dan memenuhi netralitas karbon pada tahun 2060 atau lebih cepat. Namun juga tergantung pada dukungan internasional. “Dari seberapa seringnya Luhut menyebut net zero pada tahun 2060 atau lebih cepat, tampaknya masuk akal untuk mengharapkan target net zero baru akan diumumkan segera atau setidaknya sebelum COP26,” kata Tamara.
Tidak Semua Kementerian Setuju Dengan Batas Waktu Dekarbonisasi
Pada April, dalam KTT Net Zero yang diselenggarakan oleh FPCI, Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional Suharso Monoarfa mempresentasikan skenario pemerintah untuk mencapai nol bersih pada tahun 2045, 2050, 2060 dan 2070.
BACA JUGA: Perkembangan NDC dan Strategi Mengendalikan Perubahan Iklim
Dokumen tersebut menunjukkan bahwa untuk mencapai nol bersih pada tahun 2045 akan mengarah pada pertumbuhan ekonomi yang lebih besar selama 10 tahun ke depan. Dibandingkan jika Indonesia mencapai netralitas karbon lebih lambat dari tahun 2045. Di bawah masing-masing skenario, batu bara akan mencapai puncaknya pada tahun 2025 sebelum turun dengan cepat hingga 2030 kemudian digantikan dengan energi angin, matahari dan panas bumi serta nuklir.
Pada saat itu, Suharso mengatakan mencapai titik bebas karbon pada 2045, akan menunjukkan komitmen kuat untuk pemulihan hijau dan pembangunan rendah karbon. Hal ini pun akan membantu Indonesia keluar dari jebakan pendapatan menengah untuk menjadi negara maju.
Tetapi ketidaksepakatan tentang kapan mencapai bebas karbon Indonesia terlihat jelas ketika PLN meluncurkan peta jalan untuk menghentikan pembangkit listrik batu bara sejalan dengan target bebas karbon pada 2060. Langkah ini mundur dari pengumuman sebelumnya yang menjadi netral karbon pada tahun 2050. “Indonesia dapat mencapai target lebih cepat, tetapi ini adalah pertanyaan tentang kemauan politik dan ketersediaan dukungan internasional pada saat ini,” kata Tamara.