Setelah menandatangani Perjanjian Paris dan mengirimkan dokumen Nationally Determined Contribution (NDC), peluang pendanaan Indonesia untuk aksi mitigasi dan adaptasi perubahan iklim semakin terbuka.
Kementerian Keuangan sudah membuat mekanisme penandaan anggaran atau Climate Budget Tagging. Dengan mekanisme ini pemerintah mengalokasikan 3,9% dari APBN per tahun sejak 2016-2020 untuk aksi perubahan iklim. Anggaran ini memenuhi sekitar 34% pendanaan yang dibutuhkan untuk mencapat target NDC.
Dana ini tentu tak cukup. Sisanya, akan dipenuhi dengan berbagai peluang pendanaan lain dari bilateral maupun multilateral baik berupa hibah, pinjaman maupun green sukuk. Untuk mengelola dana ini, pemerintah Indonesia juga telah mendirikan Badan Pengelolaan Dana Lingkungan Hidup (BDPLH) yang bisa menampung, menyalurkan bahkan mencari pendapatan tambahan dari dana yang ada, misal dengan investasi.
BACA JUGA: Menyokong Peran BPDLH untuk Mencapai Target NDC Indonesia
Lantas, bagaimana masyarakat bisa mengakses dana BPDLH? Secara langsung masyarakat bisa mengakses dana ini dengan menjadi pelaksana program pengurangan emisi melalui deforestasi dan degradasi hutan dan lahan. Masyarakat yang punya program bisa mengajukan pembayaran berbasis kinerja atau mengajukan permohonan pendanaan melalui lembaga perantara.
Secara tak langsung masyarakat juga bisa mendapat manfaat dari kegiatan pendukung atau lewat benefit sharing.
Namun Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan nomor 70 tahun 2017 tentang tata cara pelaksanaan pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan (REDD+) hanya mengacu pada masyarakat yang memiliki hak legal formal terhadap hutan dan lahan. Dengan kata lain, hanya masyarakat yang punya izin pengelolaan hutan yang bisa akses dana ini. Mereka yang tak punya alas hak legal formal meski sudah mengelola dan melindungi hutan, tak bisa dikover.
Padahal menurut studi World Research Institute pada 2018, proses legalisasi hak atas lahan di banyak negara berkembang termasuk Indonesia, sangat rumit, mahal dan lambat. Di Indonesia proses legalisasi ini melibatkan hingga 21 badan pemerintah. Di sisi lain perusahaan dapat mengantongi hak lahan jangka panjang dalam waktu lebih singkat. Sementara masyarakat harus berjuang melindungi lahan mereka dari proyek pembangunan atau eksploitasi.
Selain pengesahan kepemilikan lahan yang rumit dan tak jelas, menurut kajian ini masyarakat adat dan masyarakat lokal seringkali terpaksa menyerahkan wilayahnya. Tak jarang juga masyarakat kehilangan akses terhadap sumber daya alam seperti air bersih dan tanaman obat. Praktis ini berdampak pada kehidupan mereka.
Menurut kajian ini, masyarakat adat di Indonesia sudah mencoba melegalkan hak-hak mereka selama puluhan tahun. Namun komunitas dan luas lahan yang berhasil disahkan masih sedikit. Bandingkan dengan perusahaan sawit, misal, yang bisa mendapat 14 juta hektar konsensi dengan proses perizinan hanya dalam tiga tahun.
Perlu juga dicatat bahwa sebagian besar negara memberikan lahan ke perusahaan tanpa mendapatkan restu dari masyarakat sekitar yang terdampak. Regulasi hanya mewajbkan proses konsultas sebagai formalitas. Namun masyarakat tak pernah mendapat informasi yang layak dan pendapat masyarakat tak benar-benar dipertimbangkan. Proses free, prior and informed consent (FPIC) tak pernah betul-betul dijalankan dengan utuh. Ini juga yang kemudian memicu berbagi konflik lahan terjadi.
Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) mencatat pada 2019 saja terjadi 279 konflik di area seluas 734.239 hektar. Konflik ini berdampak pada 109.042 keluarga. Jika ditarik selama lima tahun terakhir, ada 2.047 konflik agraria di sektor perkebunan, kehutanan, pertambangan, pesisir pulau-pulau kecil, pertanian, infrastruktur dan properti.
Ini pula yang menyebabkan ketimpangan penguasaan tanah mencapai 0,68. Artinya, 1% penduduk menguasai 68% tanah di Indonesia.
Jika merujuk program Perhutanan Sosial (PS) sebagai salah satu program legalisasi hutan untuk masyarakat termasuk masyarakat adat, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) mencatat hingga September 2019 baru 3,3 juta hektar hutan dan lahan yang disahkan, dari target 12,7 juta hektar.
Yayasan Madani Berkelanjutan mencatat realisasi terhadap hutan adat justru yang terkecil, hanya 24 ribu hektar. Dengan kata lain akses legal masyarakat memang masih sangat terbatas dibanding perusahaan pemegang izin besar.
Analisis Madani pada 2019 menunjukkan total tutupan hutan alam dalam konsesi sawit dan izin usaha yang tidak tumpang tindih mencapai 30,3 juta hektar. Sementara tutupan hutan di dalam wilayah yang dialokasi untuk peta indikatif perhutanan sosial hanya 6,1 juta hektar.
BACA JUGA: Hibah Dana Iklim Hijau Harus Berfokus Cegah Deforestasi
Disinilah mestinya BPDLH berperan. Menurut Madani, dana yang dihimpun BPDLH mestinya bisa digunakan untuk invetarisasi masyarakat adat dan lokal, memfasilitasi penyelesaian konflik tenurial dan penyelarasan peraturan perundang-undangan dengan proses FPIC penuh dalam penetapan izin pemanfaatan sumber daya alam.
Madani sepakat jika perhutanan sosial adalah kunci. Pemerataan ekonomi dan peningkatan kesejahteraan masyarakat sekaligus target NDC bisa dicapai jika ada percepatan realisasi program perhutanan sosial dan penguatan pendampingan pasca izin diberikan.
Masukan masyarakat sipil yang dihimpun Madani mengusulkan agar peta indikatif perhutanan sosial berbasis usulan masyarakat harus difasilitasi dengan maksimal. Perlu pendampingan yang sistematis bagi masyarakat untuk mendapatkan izin atau hak perhutanan sosial. Tak hanya itu biaya pendampingan setelah izin diperoleh juga harus diperhatikan.
Selain itu masyarakat sipil juga mengusulkan agar tetap ada kewenangan pemerintah provinsi misal dengan penambahan unit perhutanan sosial di tiap provinsi. Perlu juga peningkatan kapasitas lembaga pengelola perhutanan sosial dan peraturan pemerintah desa yang memprioritaskan program ini.
Penguatan perhutanan sosial berkelanjutan juga perlu didukung dengan produk hukum daerah.
Terakhir, tak kalah penting, perlu ada penyatuan persepsi pusat dan daerah dalam mendukung implementasi perhutanan sosial dan hutan adat khususnya di Papua.