“Tiada awan di langit yang tetap selamanya. Tiada mungkin akan terus-menerus terang cuaca. Sehabis malam gelap gulita lahir pagi membawa keindahan. Kehidupan manusia serupa alam.”
Raden Adjeng Kartini
Tiap 21 April tiba, kita pasti merayakan Hari Kartini. Hari Kartini diperingati atas kelahiran Pahlawan Nasional Indonesia yang lahir pada 21 April 1879 di Jepara, Jawa Tengah. Semangat Kartini tetap hidup dan membara di kalangan anak-anak muda hingga kini. Kata-kata mutiaranya ‘Habis gelap terbitlah terang’ atau ‘Adakah yang lebih hina, daripada bergantung kepada orang lain?’ telah menjadi narasi penyemangat untuk gadis-gadis muda dalam menggapai mimpi-mimpinya.
Saat aksi di jalan ‘Climate Strike’ di Jakarta tahun lalu, ada yang membawa poster berwajah seorang Greta Thunberg berkonde dan berkebaya layaknya Ibu Kartini. Tak lupa dengan kata-kata, ‘Greta is new Kartini’ atau ‘Habis iklim berubah terbitlah penderitaan selanjutnya’.
Benarkah demikian? Mari kita berbicara PPI. Tapi kita tidak sedang membincangkan Pengendalian Perubahan Iklim, yang merupakan Direktorat di salah satu kementerian, melainkan Perempuan dan Perubahan Iklim.
Sumber Foto: Tempo
Ada apa dengan perubahan iklim dan perempuan?
Tanpa perlu menjadi seorang Greta Thunberg atau secerdas Ibu Sri Mulyani, kita bisa memahami bahwa isu perubahan iklim ini tidak hanya berkutat soal lingkungan semata. Tetapi juga terhubung dengan isu sosial lainnya, seperti gender. Sebelum mengaitkannya dengan gender, maka tak ada salahnya kita pahami secara singkat apa itu perubahan iklim. Perubahan iklim adalah perubahan pola cuaca yang berlangsung lama. Seperti terjadinya perubahan pada suhu bumi, curah hujan, pola angin, naiknya permukaan air laut, dan lainnya. Sebagian besar kerusakan lingkungan seperti hutan gundul, air laut naik, gunung es mencair, hingga kekeringan, yang memicu pemanasan global tersebut merupakan ulah manusia. Sudah dapat gambaran hal di atas? Mari, kita lanjutkan ke tahap berikutnya.
Perubahan iklim juga berelasi dengan kesetaraan gender. Mengapa? Karena perempuan, anak dan kelompok marginal sering mendapatkan dampak yang merugikan. Data PBB menyebutkan bahwa 80% perempuan menjadi kelompok terdampak adanya perubahan iklim, karena perempuan berperan sebagai perawat dan penyedia makanan. Sehingga akan memberi dampak pada pangan, lingkungan, kesehatan, energi, sosial budaya hingga perekonomian.
Contohnya, air bersih. Perempuan akan mudah terkena dampaknya, karena perempuan sangat berkaitan dalam penyediaan air bersih dalam rumah tangga. Sehingga jika air terkontaminasi bahan berbahaya, perempuan adalah yang pertama yang akan terkena dampaknya.
Kegagalan panen karena kekeringan juga akan mempengaruhi ketersediaan pangan keluarga. Begitu juga dengan meningkatnya penyakit, karena berkaitan dengan akses terhadap pelayanan kesehatan, meningkatnya beban merawat anak, orang sakit dan orang tua.
Lantas, bagaimana peran perempuan dalam meminimalkan dampak serta beradaptasi untuk perubahan iklim ini?
Kita harus sadari perempuan merupakan agen perubahan bagi keluarga dan komunitasnya. Perempuan juga memiliki potensi, pengetahuan, pengalaman dalam pengelolaan sumber daya alam untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarganya, bukan hanya untuk dirinya sendiri. Maka, kondisi ini juga dapat menempatkan perempuan sebagai pihak yang memiliki kemampuan dan dapat berbuat sesuatu untuk mengantisipasi perubahan iklim.
Nur Masripatin, Penasihat Senior Menteri KLHK pernah berujar bahwa peran perempuan sangat relevan dalam perubahan iklim. Aksi mitigasi dan adaptasi mendesak dilakukan semua pihak, termasuk perempuan. Bahkan, peran perempuan dalam penanganan perubahan iklim tercantum dalam Paris Agreement.
Pemberian akses peran lebih kepada perempuan untuk bersuara juga penting untuk dilakukan. Karena selain terkena dampak, perempuan juga terampil dan kuat dalam mengelola sumber daya alam. Tidak perlu harus menjadi Greta Thunberg untuk memulai dalam menghadapi perubahan iklim. Kita bisa menjadi diri sendiri yang melek akan kondisi lingkungan di sekitar kita. Berpikir bagaimana nasib planet ini pada tahun 2030 nanti jika kita sebagai manusia yang memiliki akal budi ini, kerap serakah dan tak pernah puas oleh alam yang juga memiliki keterbatasannya.
Semangat Kartini perlu kita teladani dan mengambil langkah berani dan bijak untuk menjaga bumi dan seisinya ini. Karena bumi hanya ada satu. Jika kita melakukan hal baik terhadap alam, maka alam pun akan melakukan hal yang sama. Alam sudah banyak memberikanmu segalanya. Maka, apa yang sudah kamu berikan untuk alam, setidaknya dalam menjaganya?