Krisis iklim makin nyata! Untuk mengatasinya, negara-negara di dunia wajib berkolaborasi. Terkait dengan kolaborasi dalam menanggulangi dampak krisis iklim, Indonesia menyatakan diri sebagai negara yang berada di garis terdepan dalam berkontribusi mengatasi krisis iklim.
Dikutip dari laman setneg.go.id, saat berbicara pada KTT Pemimpin Dunia tentang Perubahan Iklim atau COP26, Presiden Joko Widodo atau Jokowi menjelaskan bahwa dengan potensi alam yang begitu besar, Indonesia terus berkontribusi dalam penanganan krisis iklim.
“Laju deforestasi turun signifikan, terendah dalam 20 tahun terakhir. Kebakaran hutan turun 82 persen pada 2020,” ujar Presiden Jokowi di Scottish Event Campus, Glasgow, Skotlandia, Senin, 1 November 2021.
BACA JUGA: Manfaat Mangrove dalam Memerangi Krisis iklim
Tak hanya itu, Indonesia juga telah memulai rehabilitasi hutan mangrove seluas 600.000 hektare sampai 2024, terluas di dunia. Indonesia juga telah merehabilitasi 3 juta lahan kritis antara 2010-2019.
“Sektor yang semula menyumbang 60 persen emisi Indonesia, akan mencapai carbon net sink selambatnya tahun 2030,” imbuhnya.
Presiden Jokowi juga memastikan bahwa Indonesia akan terus memobilisasi pembiayaan iklim dan pembiayaan inovatif seperti pembiayaanpembiyaan campuran, obligasi hijau, dan sukuk hijau. Menurut Presiden Jokowi, penyediaan pendanaan iklim dengan mitra negara maju, merupakan game changer dalam aksi mitigasi dan adaptasi perubahan iklim di negara-negara berkembang.
“Indonesia akan dapat berkontribusi lebih cepat bagi net-zero emission dunia. Pertanyaannya, seberapa besar kontribusi negara maju untuk kami? Transfer teknologi apa yang bisa diberikan? Program apa yang didukung untuk pencapaian target SDGs yang terhambat akibat pandemi?” tegasnya.
Ajakan untuk Berkomitmen Atasi Krisis Iklim
Seolah gayung bersambut, Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Puan Maharani mengatakan, Indonesia harus mengajak negara-negara maju untuk berkomitmen dalam mengatasi perubahan iklim.
“Indonesia harus mengajak negara-negara maju untuk terus berkomitmen mengatasi perubahan iklim. Perlu ada kesadaran bersama bahwa green economy adalah strategi investasi untuk masa depan,” kata Puan, dikutip dari Antara, Kamis (2/12/2021).
Puan menilai diperlukan upaya global untuk mengatasi perubahan iklim melalui pembangunan yang lebih inklusif dan hijau. Ia mengatakan, dibutuhkan kemauan politik negara secara global untuk meningkatkan ambisi penurunan emisi dan melakukan langkah adaptasi lewat strategi pembangunan hijau, yang bisa menjadi terobosan dalam forum G20.
BACA JUGA: Jadi, Kapan Indonesia Akan Netral Karbon?
“Negara-negara besar harus bersatu menanggulangi emisi. Maka kerja sama internasional harus ditekankan pada investasi ekonomi hijau, dan sistem ketahanan bencana,” ujarnya.
Puan sepakat dengan misi pemerintah yang ingin menjadikan kepemimpinan Indonesia di G20 untuk memperjuangkan aspirasi dan kepentingan negara-negara berkembang. Ia menegaskan, negara maju harus menjadi pemimpin dalam pengurangan emisi dan harus memberi bantuan kepada negara berkembang dalam upaya menghijaukan bumi.
“Baik itu dari sisi keuangan, hingga teknis untuk mendukung upaya mitigasi dan adaptasi negara berkembang,” katanya.
Kolaborasi Indonesia
Terkait dengan kolaborasi Pemerintah Indonesia dalam menangani krisis iklim, di sela-sela COP26, Presiden Jokowi telah melakukan pertemuan bilateral dengan Perdana Menteri Inggris Boris Johnson yang hasilnya adalah kesepakatan untuk meningkatkan kerja sama bilateral kedua negara, terutama di bidang ekonomi.
Dikutip dari laman presidenri.go.id, Presiden Jokowi menyatakan bahwa Indonesia akan fokus pada kerja sama di bidang ekonomi hijau.
“Saya ingin memfokuskan hubungan kita pada kerja sama ekonomi hijau. Investasi hijau dan teknologi yang terjangkau adalah kunci transisi ekonomi,” ujar Presiden.
Sementara itu, PM Johnson menyampaikan ketertarikan Inggris untuk melakukan investasi di Indonesia dengan prioritas untuk mendukung transisi ekonomi Indonesia. Kepada Presiden Jokowi, PM Johnson bahkan menyatakan pentingnya dukungan berupa investasi hijau, dukungan multilateral development banks, dan teknologi hijau yang terjangkau.
Oleh karena itu, Inggris, lanjut PM Johnson, akan mempersiapkan kredit ekspor yang dapat digunakan untuk mendukung kerja sama transisi ekonomi dengan Indonesia. Pertemuan bilateral kedua pemimpin negara tersebut akan ditindaklanjuti dengan pertemuan teknis guna membuat daftar kerja sama yang diprioritaskan serta model pendanaannya.
BACA JUGA: Ternyata Ini Penyebab Suhu Udara Jadi Dingin Banget!
Sejalan dengan itu, Parlemen Indonesia dan Vietnam menjajaki kerja sama untuk mencegah perubahan iklim. Kedua negara memiliki latar belakang yang hampir sama di bidang industri dan lingkungan hidup.
Dikutip dari merdeka.com, Wakil Ketua Badan Kerja Sama Antar Parlemen (BKSAP) DPR RI, Mardani Ali Sera didampingi Andi Achmad Dara, mengadakan pertemuan bilateral dengan Anggota Komisi Ekonomi Parlemen Vietnam Pham Thi Hong Yen.
Kedua delegasi bertemu di sela pertemuan parlemen internasional yang digagas oleh Inter-Parliamentary Union (IPU) dan British Group Inter-Parliamentary Union dalam rangkaian COP26 di Glasgow, Skotlandia, Minggu (7/11).
“Mereka melihat kita memiliki banyak kesamaan. Kedua negara bisa sama-sama belajar,” kata Mardani.
Menurutnya, Vietnam tertarik melihat langkah Indonesia untuk mewujudkan target emisi nol karbon. Salah satunya dengan rencana penerapan pajak karbon yang akan diterapkan tahun depan. Saat ini industri di Vietnam tengah tumbuh. Langkah-langkah cepat perlu diambil guna mewujudkan ekonomi hijau.