Sebuah survei global terbaru memperlihatkan kecemasan tinggi yang dialami kaum muda tentang perubahan iklim. Dalam survei berbeda, 89% peserta survei di Indonesia mengaku sangat khawatir akan nasib generasi mendatang.

Nyaris 60% anak muda yang disurvei berkata mereka merasa khawatir atau sangat khawatir.

Lebih dari 45% dari responden juga mengatakan perasaan tentang keadaan iklim ini mempengaruhi kehidupan sehari-hari mereka.

Tiga perempat dari seluruh responden mengaku masa depan tampak menakutkan. Lebih dari separuh (56%) mengatakan umat manusia tengah menghadapi kehancuran.

Dua per tiga dilaporkan merasa sedih, takut, dan cemas. Banyak yang merasa khawatir, marah, putus asa, sedih, dan malu — namun juga penuh harap.

Survei yang melibatkan 10 negara ini dipimpin oleh Universitas Bath dan bekerjasama dengan lima universitas lain. Penelitian didanai oleh kelompok kampanye dan riset Avaaz. Survei ini disebut-sebut sebagai yang terbesar, dengan responden sebanyak 10.000 orang di usia antara 16-25 tahun (https://www.bbc.com; 15 September 2021).

Anak muda di 10 negara di Eropa, Nigeria, India, Filipina dan AS turut serta dalam survei, dan 75% berkata masa depan menakutkan; 65% berkata cara pemerintah mengatasi perubahan iklim mengecewakan mereka; 83% berkata manusia gagal merawat Bumi; 55% berkata anak muda punya kesempatan lebih kecil dibandingkan orang tua mereka; dan 39% berkata mereka ragu untuk memiliki anak.

BACA JUGA: Ternyata Ini Penyebab Suhu Udara Jadi Dingin Banget!

Sebagian besar responden mangaku mereka merasa tak punya masa depan, umat manusia di ambang kehancuran, dan pemerintah gagal merespon ancaman iklim dengan baik.

Banyak pula yang merasa dikhianati, diabaikan, dan tidak dipedulikan oleh para politisi dan orang dewasa.

Sepertinya kecemasan anak-anak muda itu pun beralasan. Satu penelitian lain menunjukkan anak-anak menghadapi lebih banyak bencana iklim daripada kakek-nenek mereka. Krisis iklim membawa ketidakadilan antar-generasi yang mencolok. Tetapi pengurangan emisi yang cepat dapat membatasi kerusakan.

Studi ini yang pertama untuk menilai pengalaman kontras iklim ekstrim oleh kelompok usia yang berbeda dan secara gamblang menyoroti ketidakadilan antar-generasi yang ditimbulkan oleh krisis iklim (https://www.beritasatu.com; 28 September 2021).

“Hasil kami menyoroti ancaman parah terhadap keselamatan generasi muda dan menyerukan pengurangan emisi drastis untuk menjaga masa depan mereka,” kata Prof Wim Thiery, dari Vrije Universiteit Brussel di Belgia dan yang memimpin penelitian.

Thierry mengatakan orang-orang di bawah 40 hari ini akan menjalani kehidupan yang “belum pernah terjadi sebelumnya”, yaitu menderita gelombang panas, kekeringan, banjir dan gagal panen. Peluang mereka hanya 0,01% tanpa pemanasan global. 

Katja Frieler, di Institut Potsdam untuk Penelitian Dampak Iklim di Jerman dan bagian dari tim studi, menyerukan bahaya perubahan iklim. “Kabar baiknya adalah kita dapat mengambil banyak beban iklim dari pundak anak-anak kita jika kita membatasi pemanasan hingga 1,5 Celcius dengan menghapus secara bertahap penggunaan bahan bakar fosil. Ini adalah peluang besar,” tambahnya.

Analisis menunjukkan bahwa seorang anak yang lahir pada tahun 2020 akan menanggung rata-rata 30 gelombang panas ekstrem dalam hidup mereka. Bahkan risiko itu ditanggung jika negara-negara memenuhi janji saat ini untuk mengurangi emisi karbon di masa depan. Risiko itu tujuh kali lebih banyak gelombang panas daripada seseorang yang lahir pada tahun 1960.

BACA JUGA: Manfaat Mangrove dalam Memerangi Krisis iklim

Bayi hari ini juga akan tumbuh dua kali lebih banyak mengalami kekeringan dan kebakaran hutan dan tiga kali lebih banyak banjir sungai dan gagal panen daripada seseorang yang berusia 60 tahun saat ini.

Kaum Muda Aktif Atasi Krisis Iklim

Walau di satu sisi dianggap sebagai fenomena alam, perubahan iklim yang berdampak pada bencana tersebut di atas diperparah oleh kegiatan antropogenik, atau aktivitas pencemaran yang dilakukan manusia. Penyebabnya manusia, tapi yang kena dampaknya adalah manusia juga. Itu sebabnya Bella dan Putri sebagai kaum muda bersama teman-teman mereka membentuk suatu kelompok bernama Pratisara Bumi, yang dalam bahasa sansekerta berarti penjaga atau pelindung bumi (https://www.bbc.com; 9 Oktober 2021).

Mereka aktif mengkampanyekan ancaman perubahan iklim dan bagaimana mengatasinya dengan membuat video-video edukatif yang diunggah ke media sosial. “Mengingat sekarang semua orang bisa mengakses dan membuat konten media, maka menurut saya cara paling efektif adalah lewat media sosial, misalnya lewat Instagram, TikTok, Twitter dan lain-lain. Pesan yang disampaikan bisa sampai ke kaum muda,” ujar Bella.

Salah satu video yang dibuat Bella dan Putri adalah merincikan bagaimana sampah di lautan membahayakan kehidupan alam dan juga rantai makanan. Ini tak lepas dari bahaya penggunaan mikroplastik – yaitu plastik dengan partikel sangat kecil yang hanya dapat dilihat menggunakan mikroskop, namun plastik ini dapat ditemukan di benda-benda seperti sabun mandi, deterjen, hingga pakaian.

Video yang mereka buat pun menyarankan bagaimana cara kita dapat mengurangi, menggunakan kembali dan juga mengolah kembali untuk tujuan meminimalkan sampah yang ada. Karya itu mereka ikutkan dalam lomba video bertema perubahan iklim yang diadakan Foreign Policy Community Indonesia (FPCI) bersama Kedutaan Besar Inggris, Italia dan Swedia di Jakarta September lalu. Hasilnya, video itu menjadi pemenang pertama.

Bagi Bella dan Putri, menjadi pemenang bukan hal utama yang mereka cari. “Kami melihat ajang ini sebagai platform dimana kami bisa menyampaikan keresahan kami ke publik yang lebih luas.

Perubahan iklim akibat kegiatan yang mencemari lingkungan juga disorot oleh Alwi Johan Yogatama (20). Melalui video dokumenter yang dia garap dan produksi sendiri, mahasiswa semester 5 jurusan televisi dan film di Universitas Padjadjaran Bandung itu menunjukkan bahwa sampah yang dihasilkan warga sudah bertumpuk-tumpuk dan baru sedikit yang dapat diolah.

Lewat videonya, dia menunjukkan setiap hari 72 pekerja dan pemilah sampah di TPA Temanggung menyelamatkan 6 ton sampah yang dapat didaur ulang dari 100 ton sampah. Sampah-sampah yang dipilah itu bisa dijual ke pengepul untuk diolah kembali.

Dari video dan reportase yang dibuatnya secara langsung itu, Johan mengagumi martabat, kepahlawanan, dan semangat ceria dari mereka yang memilah sampah kita walau dalam kondisi yang sulit.

Selain di TPA Temanggung, Johan sebelumnya membuat video dokumenter mengenai masalah sampah di sungai. Dia yakin, bila sampah makin menumpuk, tidak saja merusak lingkungan, namun akan menghasilkan gas rumah kaca yang berbahaya dan berpengaruh pada perubahan iklim. Padahal, lanjutnya, dampak perubahan iklim sebenarnya sudah dirasakan penduduk Temanggung, yang sebagian berprofesi sebagai petani tembakau, yang sangat mengandalkan cuaca cerah untuk menjemur hasil panen mereka. Hujan sedikit saja, tembakau jadi rusak.

Video mengenai peran pemilah sampah di TPA Temanggung itu dinobatkan sebagai juara ketiga dalam lomba video kaum muda bertema solusi atas perubahan iklim yang diselenggarakan FPCI bersama Kedubes Inggris, Italia, dan Swedia bulan lalu.

Bagi Johan, videonya termasuk dalam deretan pemenang lomba adalah “bonus”. Namun, yang terpenting bagi dia karyanya itu bisa dilihat dan diapresiasi banyak orang.

Hendra Wijaya pun terkejut dengan data bahwa industri fesyen ternyata berkontribusi pada sepuluh persen emisi karbon di seluruh dunia ketika dia mencoba mendalami dampak lingkungan dari industri fashion. Bahkan sepuluh persen ini melebihi emisi karbon yang dihasilkan oleh industri penerbangan atau pelayaran. Contoh lainnya, industri fesyen juga berkontribusi terhadap 20 persen limbah air di seluruh dunia yang ternyata berasal dari pewarnaan bahan pakaian.

BACA JUGA: Ancaman Krisis Iklim Bagi Masyarakat Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil

Nah, hal-hal seperti ini memicu saya sebagai content creator di bidang fashion untuk segera ambil bagian dalam aksi untuk meningkatkan kesadaran masyarakat Indonesia tentang kelestarian (sustainability) serta untuk menyelamatkan bumi kita dari perubahan iklim,” lanjut Hendra.

Apalagi akunnya di Instagram, iamhendraw, memiliki 100 ribu pengikut, sehingga apa yang dia sebarkan cukup banyak menjangkau banyak warganet. Melalui akunnya, dia menekankan bagaimana kita sebagai pembeli dapat memiliki peran dalam membuat fesyen menjadi lebih berkelanjutan dengan cara berinvestasi dalam membeli pakaian-pakaian yang dapat digunakan dalam jangka waktu lama dan membeli kualitas, bukan kuantitas.

Kaum muda Indonesia tidak hanya giat di media sosial dan terjun ke tengah masyarakat mengkampanyekan dampak perubahan iklim. Ada pula yang aktif menyuarakan masalah ini di forum internasional, seperti yang dilakukan oleh Steven Setiawan, 21 tahun.

Pemuda asal Kota Cimahi itu terpilih mewakili Indonesia di pertemuan internasional “Youth4Climate: Driving Ambition” yang diselenggarakan oleh Pemerintah Italia di Kota Milan 28-30 September 2021. Selain Steven, delegasi kaum muda Indonesia juga diwakili oleh Damayanti Prabasari.

Dalam pertemuan di Milan, saya terlibat dalam pembahasan masyarakat sadar iklim. Bagaimana kita dari berbagai kalangan meningkatkan kesadaran masyarakat tentang isu krisis iklim,” ujar Steven, yang menjadi juru bicara delegasi Indonesia.

Pertemuan di Milan ini memberi kesempatan kepada sekitar 400 anak muda dari 197 negara – termasuk aktivis iklim muda Greta Thunberg – untuk berkumpul dan membahas tindakan mendesak yang diperlukan untuk mengatasi perubahan iklim. Mereka memberi pesan yang singkat dan tegas kepada para pemimpin dunia: kita sudah dilanda krisis iklim, jangan hanya umbar janji, tapi langsung bertindak untuk mengatasinya.(*)

Sumber:

https://www.bbc.com/indonesia/majalah-58717170; 9 Oktober 2021

https://www.bbc.com/indonesia/majalah-58545546; 15 September 2021

https://www.beritasatu.com/dunia/833803/kelak-anakanak-hadapi-lebih-banyak-bencana-iklim-daripada-kakekneneknya; 28 September 2021