Baru-baru ini Indonesia mengungkap keberhasilannya menurunkan angka deforestasi 75,03% di periode tahun 2019-2020, hingga berada pada angka 115,46 ribu ha. Angka ini jauh menurun dari deforestasi atau penebangan hutan tahun 2018-2019 sebesar 462,46 ribu ha. Melalui Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (Ditjen PKTL KLHK), menyebutkan bahwa tren deforestasi tahun ini relatif rendah dan cenderung stabil.
Penurunan angka deforestasi ini menunjukan adanya hasil signifikan dari berbagai upaya yang dilakukan pemerintah akhir-akhir ini. Di antaranya penerapan Inpres Penghentian Pemberian Izin Baru dan Penyempurnaan Tata Kelola Hutan Alam Primer dan Lahan Gambut, Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan, Pengendalian Kerusakan Gambut, Pengendalian Perubahan Iklim, Pembatasan perubahan Alokasi Kawasan Hutan untuk sektor non kehutanan (HPK), Penyelesaian Penguasaan Tanah dalam Kawasan Hutan (PPTKH/TORA), Pengelolaan Hutan lestari, Perhutanan Sosial, serta Rehabilitasi Hutan dan Lahan.
BACA JUGA: Bagaimana Jika Indonesia Tidak Ambil ‘Jatah’ Deforestasi?
Keberhasilan itu layak mendapat apresiasi dan sepatutnya ditingkatkan. Terlebih Indonesia telah berkomitmen akan menurunkan tingkat emisi gas rumah kaca melalui komitmen NDC (Nationally Determined Contribution), sebuah amanat dari Perjanjian Paris 2015. Sektor kehutanan merupakan penyumbang terbesar emisi karbon Indonesia akibat deforestasi dan degradasi hutan.
Yayasan Madani Berkelanjutan berharap penurunan deforestasi menjadi titik awal yang baik bagi Indonesia untuk membangun ekonomi Indonesia tanpa merusak hutan dan lingkungan. Selayaknya Indonesia dapat mempertahankan penurunan deforestasi ke depan agar menjadi rujukan keberhasilan negara-negara pemilik hutan tropis lainnya. Sehingga mendesak bagi pemerintah untuk memastikan agar semua kebijakan pembangunan terkini, mulai dari Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN), Proyek Strategis Nasional (PSN), hingga Program Ketahanan Pangan dan Energi – sejalan dan koheren dengan upaya pencapaian komitmen iklim.
Selain itu pemerintah, melalui Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) juga harus memperkuat perlindungan hutan alam sekunder, baik yang terlanjur berada dalam konsesi maupun yang belum terlindungi oleh PIPPIB (Peta Indikatif Penghentian Izin Baru). Salah satunya adalah melalui implementasi REDD+ dengan penerapan safeguards lingkungan dan sosial yang kuat didukung oleh transparansi data. Safeguards bagi REDD+ merupakan kerangka pengaman berdasarkan hasil identifikasi mencakup berbagai isu, termasuk transparansi struktur tata kelola kehutanan nasional, partisipasi efektif dari para pihak, penghormatan pada pengetahuan dan hak-hak masyarakat adat serta masyarakat lokal, konservasi hutan alam dan keanekaragaman hayati, dan menghindari baik “kebocoran” dan “pengalihan” dari penurunan emisi.
Namun ternyata, di saat bersamaan pemerintah Indonesia juga berhasil menyusun kebijakan yang berpotensi mengancam dan meningkatkan laju deforestasi pada beberapa tahun ke depan. Tanpa pengetatan safeguards lingkungan hidup, dikhawatirkan berbagai kebijakan program pembangunan tersebut dapat menggagalkan pencapaian komitmen iklim dan pembangunan rendah karbon Indonesia dan justru meningkatkan konflik dengan masyarakat adat dan lokal.
Kebijakan yang berpotensi meningkatkan angka deforestasi ke depan adalah program Food Estate, sebuah konsep “Kawasan Pangan Modern Terintegrasi dan Berkelanjutan” yang nantinya akan menjadi cadangan logistik strategis ketahanan pangan, baik untuk pertahanan negara maupun sebagai pusat. Hutan alam yang masuk dalam area of Interest (AOI) Food estate di 4 Provinsi yaitu Papua, Kalimantan Tengah (Kalteng), Sumatera Utara (Sumut), dan Sumatera Selatan (Sumsel) berpotensi mengancam terjadinya deforestasi dan komitmen iklim NDC Indonesia.
Nilai luasan hutan alam tersebut sekitar 1,5 juta hektare atau hampir setara dengan 3 kali luas Pulau Bali. Hutan alam dalam AOI Food Estate terluas berada di Papua yaitu 1,38 juta hektare, disusul Kalimantan Tengah dengan luas 147 ribu hektare, Sumatera Utara dengan luas 42 ribu hektare, dan terkecil di Sumatera Selatan dengan luas 529 hektare. Area alokasi Food Estate yang berhutan alam mencapai 43% dari total luas AOI Food Estate secara keseluruhan.
BACA JUGA: Karpet Merah untuk Proyek Food Estate
Dari 1,57 juta hektare hutan alam yang tercakup dalam AOI Food Estate, hampir 41% atau 642.319 hektare merupakan hutan alam primer yang secara tegas dicantumkan di RPJMN 2020-2024 sebagai development constraints yang harus dijaga. Hampir keseluruhan (99%) hutan alam primer yang tercakup dalam AOI Food Estate berada di Papua.
Sementara itu, estimasi nilai rupiah dari potensi kayu bulat pada hutan alam di area alokasi (AOI) Food Estate sangat tinggi, mencapai lebih dari 209 triliun rupiah dan hampir setara dengan 9,3% Pendapatan Negara dari APBN 2020 atau 57% Penerimaan Negara Bukan Pajak di 2020 sehingga sangat besar kemungkinan bahwa Food Estate menjadi alasan untuk mengeruk keuntungan besar-besaran dari penjualan kayu dari hutan alam Indonesia.
Melihat sebagian besar (92%) AOI Food Estate di 4 provinsi berada di kawasan hutan, karenanya peran Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) sangat signifikan untuk mengatur pelepasan kawasan hutan atau menetapkan kawasan hutan untuk ketahanan pangan (KHKP). (*)