Apa kabar target Nationally Determined Contribution (NDC) Indonesia 29% dengan usaha sendiri dan skenario business as usual atau 41% dengan bantuan internasional sampai 2030?
Ada lima sektor yang menjadi sasaran target ini yakni energi, limbah, perindustrian, pertanian dan kehutanan. Yang terakhir dapat porsi paling besar, 17,2%.
Menurut Climate Action Tracker hingga awal tahun ini baru 34 negara menyerahkan target NDC yang baru, tidak termasuk Indonesia. Tak heran kemudian banyak pihak kecewa karena Indonesia tak lebih ambisius untuk ikut berjuang menjaga suhu bumi di bawah 1,5 derajat Celcius.
Padahal, angka pengurangan emisi Indonesia cukup stabil dan konsisten pada 2017. Ia menumbuhkan optimisme bahwa ada peluang untuk mencapai target NDC 2030. Namun dengan berbagai kebijakan baru dan siklus kebakaran hutan yang besar dan cenderung berulang bisa menjadi hambatan bagi Indonesia mencapai target NDC.
BACA JUGA: NDC dan Pemulihan Ekonomi Nasional
Menurut kajian Yayasan Madani Berkelanjutan ada sejumlah regulasi dan aksi mitigasi yang perlu diperkuat agar dapat mencapai target sektor kehutanan pada 2030. Tak hanya penguatan regulasi, juga perlu dukungan berbagai instansi terkait, yang solid dan terintegrasi.
Integrasi yang dimaksud adalah tantangan pemulihan ekonomi nasional akibat pandemi Covid-19 tanpa meninggalkan pembangunan rendah karbon untuk mengatasi krisis iklim. Jika salah satu ditinggalkan tak ada tujuan yang tercapai. Ekonomi lambat pulih, dan krisis iklim terus memburuk.
Bappenas sudah memberi petunjuk bahwa pembangunan rendah karbon, selain bisa mengurangi emisi hingga 43%, juga berpotensi memicu pertumbuhan ekonomi hingga 6% pada 2019-2045. Tak hanya itu, kajian ini juga menyimpulkan akan ada penambahan PDB, USD 5,4 triliun pada 2045, penciptaan lapangan kerja baru yang lebih ramah lingkungan bagi 15,3 juta orang, mengurangi kemiskinan menjadi 4,2%, dan mengurangi tingkat kematian 40 ribu jiwa karena membaiknya kualitas udara.
Saat ini, NDC Indonesia dinilai belum inklusif dan tidak memuat ambisi pengurangan emisi yang in-line dengan target yang telah ditetapkan. Dua sektor pengemisi terbesar, energi dan kehutanan, menjadi kunci pencapaian target ini.
Di sektor kehutanan, Indonesia mestinya bisa lebih berambisi menekan kuat deforestasi dan kebakaran hutan dan lahan, serta meningkatkan target restorasi gambut dengan inisiatif aksi di tingkat tapak.
Aksi yang sudah terbukti berpengaruh signifikan menurut Yayasan Madani Berkelanjutan dan Yayasan Climate Society yakni Perhutanan Sosial seluas 12,7 juta hektare mampu mendukung pencapaian target NDC.. Selain mengurangi deforestasi dan degradasi, program ini juga meningkatkan cadangan karbon hutan melalui upaya rehabilitasi lahan atau revegetasi.
Tak tanggung-tanggung, akselerasi Perhutanan Sosial yang diperkuat dengan pendampingan di area dengan risiko deforestasi tinggi, berpotensi menyumbang 34,6% target pencapaian NDC Indonesia sektor kehutanan.
BACA JUGA: Capai Target NDC Indonesia dengan Mengurangi Emisi
Di sektor energi, tentu dengan mengurangi PLTU, beralih ke energi bersih terbarukan, dan meningkatkan efisiensi energi.
Namun dua kunci sederhana ini belum jadi highlight untuk pemulihan ekonomi nasional hingga tahun kedua pandemi.
Pemerintah masih fokus mengembangkan biodiesel dari sawit yang dikhawatirkan banyak pihak justru akan memicu ekspansi lahan lagi. Perusahaan Listrik Negara (PLN) juga berencana baru akan setop membangun PLTU pada 2023, setelah mega proyek 35 gigawatt rampung. Sebuah rencana yang sangat rentan, karena pembangunan PLTU, meski dengan teknologi termutakhir pun, tetap mengunci Indonesia menjadi negara pengemisi hingga 25-30 tahun ke depan.
Belum lagi soal kuncian ekonomi yang menjadi risiko sistem take or pay PLTU, yang jika dananya dialihkan ke program energi bersih, secara tidak langsung berdampak akan pertahanan hutan-hutan terakhir di Indonesia, karena tak perlu terus membongkar batu bara yang sejatinya berada di kawasan hutan.
Karena itu, jika ditanya bagaimana analisis capaian NDC Indonesia saat ini, jawabannya, “Kita tunggu saja”.
Pertama, kita menunggu skenario mana yang akan dipilih Presiden Joko Widodo untuk target net zero Indonesia mengingat Bappenas sudah mengajukan tiga opsi, 2045, 2050 dan 2070. Semakin awal pilihan yang dijatuhkan, semakin besar peluang target NDC tercapai.
Kedua, kita menunggu bagaimana skenario pembangunan rendah karbon diimplementasikan pada sektor utama penghasil gas rumah kaca, terutama jika dihadapkan dengan Omnibus Law UU Cipta Kerja yang diprediksi akan menghilangkan hutan 6,8 juta hektare pada 2030.
Beberapa kebijakan baru—Omnibus Law, Food Estate, Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN), Program Strategis Nasional (PSN)–menjadi bukti bagaimana skenario pembangunan rendah karbon dan penanggulangan perubahan iklim masih punya gap besar.
Omnibus Law memisahkan logika ekonomi dan keberlanjutan dalam pembangunan. Program Food Estate masih menyasar hutan alam di Papua, yang mestinya jadi benteng terakhir hutan hujan tropis Indonesia. Dana PEN masih diberikan untuk program dengan karbon tinggi seperti biodiesel dari sawit. PSN, program infrastruktur yang punya ‘keistimewaan prosedur’ juga ditengarai menyasar hutan-hutan yang tersisa.
Tak ada salahnya jika ingin menarik investasi lebih banyak masuk ke Indonesia. Namun investasi seperti apa? Harus investasi yang punya value menjaga aspek lingkungan.
Begitu banyak pendanaan hijau dari luar Indonesia yang justru mensyaratkan keberlanjutan sebagai ketentuan utama. Baru-baru ini negara-negara G7 juga sudah sepakat untuk setop mendanai proyek batu bara. Indonesia mesti peka dengan peluang ini.