Foto utama: Pembersihan lahan menggunakan alat berat untuk dijadikan perkebunan sawit dan eukaliptus. Sumber: dokumentasi pribadi penulis.
Aku tidak akan pernah melupakan pengalaman pahit ketika peristiwa sengkarut konflik konsesi perkebunan sawit merenggut hak hidup masyarakat dan habitat satwa. Tepatnya pada 2015, kebakaran hutan dan lahan (Karhutla) menghanguskan 174 ribu hektar kawasan hutan dan lahan Pekanbaru, Riau. Kabut asap tebal menyelimuti langit Sumatera bahkan sampai ke negara tetangga yakni Malaysia dan Singapura. Keadaan mencekam selama beberapa pekan dengan asap semakin tebal membuat kami yang tinggal di perbatasan antara provinsi Sumatera Utara dan Riau harus menghirup udara yang terkontaminasi. Sejumlah warga mengalami gangguan penglihatan hingga Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA).
Kegiatan sekolah terpaksa diliburkan, segala aktivitas di sektor pertanian, perdagangan, pariwisata dan bisnis ikut terdampak. Akibatnya perekonomian kian melemah sedangkan hutan tak lagi mampu menjalankan fungsinya dalam menyerap emisi karbon, sumber air tawar, dan rumah bagi ribuan satwa.
Praktik kegiatan ekspansi perkebunan sawit di lapangan justru merusak ekologi akibat alih fungsi lahan hutan dan gambut tanpa aturan yang jelas. Padahal lahan gambut memiliki peranan penting dalam menyimpan cadangan karbon dunia yang harus selalu dijaga kelembabannya terutama saat musim kemarau karena lebih rentan menimbulkan sumber titik api (hot spot). Ironinya, pembukaan lahan sengaja dilakukan dengan cara dibakar karena dianggap lebih praktis dan ekonomis namun sangat beresiko membakar kawasan hutan. Para oknum yang tidak bertanggung jawab menjadi dalang atas tindakan deforestasi dan degradasi hutan patut dijatuhi sanksi hukuman.
BACA JUGA: Bisakah Indonesia Merdeka dari Krisis Iklim? Bisa, Pasti Bisa!
Seringkali pemberian izin Hak Guna Usaha (HGU) kepada perusahaan berpotensi menimbulkan konflik agraria dengan masyarakat lokal. Pengalaman pilu juga kami rasakan pada tahun 2010, ketika terjadi sengketa perebutan lahan antara perusahaan sawit dengan melakukan penggusuran sepihak terhadap rumah-rumah warga.
Peristiwa itu telah memakan korban jiwa, kerugian ekonomi dan menyisakan trauma hingga saat ini. Adanya kebijakan moratorium sawit pada tahun 2018 membawa angin segar dalam upaya pengurangan laju deforestasi. Namun, upaya tersebut dinilai masih belum cukup apalagi masa berlakunya akan segera selesai bulan depan pada tanggal 19 September. Sementara itu, kami sebagai masyarakat yang termarginalkan harus siap menanggung dampak kerusakan lingkungan serta hidup berdampingan dengan satwa liar yang sudah kehilangan tempat tinggalnya.
Terjadinya dua tragedi tersebut menjadi titik balik dalam perjalanan hidup saya. Pergolakan batin selama beberapa bulan berujung pada sebuah keputusan untuk belajar mendalami isu-isu lingkungan meskipun latar belakang pendidikan sebagai civil engineer.
Saya kembali ke kota di mana saya menempuh pendidikan sarjana untuk menemukan teman-teman seperjuangan yang memiliki visi dan misi yang sama. Kemudian saya bergabung dengan beberapa komunitas dan Non-Government Organization (NGO) bidang lingkungan yaitu WWF Indonesia, Orangutan Information Centre (OIC), Komunitas Peduli Anak dan Sungai Deli (KOPASUDE).
Meskipun posisi saya hanya sebagai aktivis lingkungan sukarela, tidak menyurutkan semangat saya untuk terus terlibat dalam berbagai kegiatan mengkampanyekan hak hidup satwa, keanekaragaman hayati dan krisis iklim di kalangan anak-anak dan pemuda. Hal ini bertujuan untuk meningkatkan rasa kepedulian dan penyadartahuan terkait krisis iklim yang sudah kita alami dan semakin diperparah akibat aktivitas manusia yang merusak lingkungan. Jika tidak dilakukan upaya mitigasi dan adaptasi maka bumi tak dapat ditinggali oleh generasi anak cucu kita nantinya. Adapun program maupun aksi-aksi yang kami laksanakan seperti Eco-brick, Pangan Lokal Nusantara, Gaya Hidup Ramah Lingkungan, Clean-up Day di pantai mangrove, Earth Hour, InternationaI Orangutan Day, World River Day dan Edukasi Konservasi.
Ket: Foto penulis bersama siswa SMK Swasta di kota Medan dalam aksi kampanye Earth Hour 2019. Sumber: dokumentasi pribadi penulis.
Tidak hanya sampai disitu, berbekal rasa penasaran sekaligus keresahan terhadap kondisi laut yang semakin dipenuhi sampah plastik, saya dan seorang teman melakukan mini riset pada November tahun lalu. Kami mengunjungi daerah yang kaya akan hasil lautnya sekaligus menjadi pelabuhan tempat singgah kapal-kapal berdagang. Kota Tanjung Balai menjadi tujuan riset kami yang terletak di perairan selat Malaka.
Kedatangan kami disambut hangat oleh penduduk setempat meskipun baru pertama kalinya menginjakkan kaki di kampung tersebut. Di sana kami bertemu dengan beberapa nelayan yang setiap harinya mengadu nasib di atas kapal kecil. Kami menumpangi kapal yang bermuatan 5-8 orang untuk menyusuri hamparan selat Malaka dan kawasan mangrove. Sembari melihat indahnya pemandangan yang disuguhkan semesta, kami mewawancarai seorang nelayan yang sudah lebih dari 30 tahun mengarungi lautan. Terlihat jelas perawakan seorang bapak yang nampak lebih tua dari usianya lantaran sering terpanggang terik matahari. Beliau bersedia membagikan pengalamannya baik suka maupun duka sebagai seorang pelaut. Sesekali ia menyeimbangkan kapal yang diterpa ombak, akhirnya obrolan kami tertuju pada kalimat bapak: “Hasil tangkapan nelayan disini makin berkurang, kami harus ke tengah laut supaya dapat ikan…kadang ikan besar sering keduluan ditangkap kapal tongkang/besar” tuturnya.
Ketika kami hampir ke tengah laut memang terdapat beberapa kapal besar yang menangkap ikan dengan jaring cukup lebar bahkan terkadang masih ada oknum yang memakai pukat harimau. Aktivitas tersebut sangat merusak ekosistem laut dan terumbu karang. Selain itu, sampah plastik hilir mudik di perairan sampai di bibir pantai tertimbun bersama lumpur. Tak jarang kapal-kapal kecil cukup kesulitan menepi ketika laut mulai surut.
Ket: Menelusuri kawasan mangrove dengan kapal kecil Kapal tongkang sedang menangkap ikan. Sumber: dokumentasi pribadi penulis.
Perjalanan kami berlanjut ke permukiman warga yang tidak jauh dari daratan selat Malaka. Mayoritas penduduknya adalah suku Melayu yang sudah menetap sejak zaman nenek moyang. Kami menjelajahi setiap sudut melalui lorong sempit karena memang permukiman cukup padat ditambah lagi dengan kurangnya tata kelola sanitasi dan saluran pembuangan limbah rumah tangga. Fenomena yang cukup mengalihkan perhatian saya adalah ketika anak-anak di sana lebih senang mencari ikan ketimbang belajar di sekolahan. Sebagian besar tingkat pendidikan mereka hanya sampai jenjang Sekolah Dasar.
Setelah hampir seminggu melakukan survei, kami mengumpulkan hasil temuan dan saling berdiskusi terkait nasib masyarakat pinggiran yang kurang teredukasi ditengah kondisi laut yang semakin tercemar sekaligus lebih beresiko terdampak bencana alam dan naiknya permukaan air laut akibat krisis iklim.
Tantangan krisis iklim nyatanya sudah terjadi di daratan maupun lautan akibat kegiatan manusia yang masih terus mengeksploitasi alam secara berlebihan demi keuntungan segelintir pihak. Tutupan hutan sudah tak lagi rindang, dibabat habis beralih fungsi dengan dalih meningkatkan perekonomian. Di Indonesia, sektor lahan dan hutan menjadi penyumbang terbesar emisi gas rumah kaca akibat karhutla. Begitu juga dengan laut kita sudah dipenuhi sampah plastik yang butuh ratusan tahun agar terurai.
BACA JUGA: Ternyata Gas Rumah Kaca Juga Ada di Sungai, Loh. Yuk, Kita Jaga Sungai Agar Tetap Bersih!
Partikel plastik yang sulit terurai berubah menjadi mikroplastik sehingga banyak hewan laut yang terkecoh dengan mikroplastik sebagai sumber makanannya. Kondisi tersebut sejalan dengan data dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menyatakan bahwa Indonesia sebagai penghasil sampah plastik ke laut terbesar kedua di dunia setelah Cina. Oleh karena itu, sudah saatnya bersama-sama merawat bumi kita yang belum merdeka dari krisis iklim.
Momentum kemerdekaan bangsa Indonesia sudah sepatutnya kita jadikan sebagai semangat melawan krisis iklim. Rasa nasionalisme kita tunjukkan lewat aksi-aksi melindungi bumi dan berkolaborasi dengan berbagai pihak di tingkat pemerintah, perusahaan, NGO, masyarakat, dan pemuda. Saat ini planet kita sedang tidak baik-baik saja, ketika kita menyelamatkan bumi sebenarnya kita sedang menyelamatkan keberlangsungan hidup kita. Marilah kita mulai dari aksi kecil dan menjadi bagian demi menuju perubahan.
Penulis: Siska Elvi Yunita
Fasilitator Pendidikan Lingkungan Hidup: Keanekaragaman Hayati, Pangan, dan Kebanggaan Bangsa di Earth Hour Medan